Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Mukjam Ramadan

SIYAHA; Nama Lain Puasa dan 8 Ciri Pengembara SupraSpiritual

SELALU mengartikan shaum sebagai narasi menahan lapar, dahaga, amarah, dan birahi belaka.

Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Edi Sumardi
THAMZIL THAHIR
Ilustrasi 

Thamzil Thahir

Editor In Chief Tribun Timur

SELALU mengartikan shaum sebagai narasi menahan lapar, dahaga, amarah, dan birahi belaka.

Cobalah sesekali pakai frasa Siyahaa.

Secara letterlijk, Alquran telah menggunakannya untuk konteks pengembaraan jiwa, wisata spiritual, dan pengalaman supraspiritual.

Puasa level Siyaah bukan menuntut melainkan memberi dan merelakan.

Pertanyaannya bukan lagi apa menu buka puasa Ramadan hari ini?

Mereka bertanya; apakah kita masih bisa bertemu dan berbagi di puasa Ramadan tahun depan?

Asyik, kan!

Narasi puasa dalam Al Quran diperkenalkan dengan frasa Shaum (صوم); yang di-Indonesia-kan dengan menahan.

Total fiil tsulasi (verbatin) shaum digunakan 14 kali termasuk 4 kali di 5 ayat perintah puasa/Ramadan di Surah Albaqarah, yang diulas di 20 seri Mukjam Ramadan sebelumnya.

*

Namun tahukah Anda, ternyata Alquran punya istilah lain untuk ibadah rukun Islam ke-4 ini.

Istilah itu adalah siyaha (سيح).

Kata bermakna pergi, meninggalkan, atau mengembara ini, hanya dipakai 3 kali.

Sekali dalam bentuk perintah, fiil amr (فسيح) di QS Attaubah:2.

Ada 2 kali dalam bentuk ism fiil (pelaku) perempuan jamak (سئحت) QS Tahrim;5 serta bentuk jamak (السئحون) QS Attaubah;112.

Pada surat Attaubah ayat 2 dan 112 Konteks penggunaan Saihuu sebagai pengembaraan dan wisata spiritual ini usai kemenangan perang tanpa pertumpahan darah Fathu Makka (فتح مكة), pembebasan Hijaz, Kota 'kelahiran' Nabi di sekitar Bakkah, Baitullah.

Momennya 10 Ramadan 8 Hijriyah (630 M), atau 6 tahun usai turunnya perintah puasa dan puasa Ramadan (622 M).

Puasa Ramadan kaum Muslim di Madinah, juga kian berkualitas.

Detail syarii puasa sudah tuntas.

Uang tebusan (fidyah) sudah mekanis dan dilembagakan.

Pepuasa tak lagi direcoki keinginan "rafasa" istri-istri saat i'tikaf di masjid.

Shaum mulai dinikmati sebagai kesyukuran insan beriman, bukan ketakutan sanksi hukum ilahi semata.

Saihun di kontek Fathu Makkah, digunakan untuk kaum musyrik Mekkah. Mereka "diingatkan" Allah untuk mengembarakan jiwa-jiwa tertawan mereka dengan batas waktu empat bulan.

Empat bulan "mengembara" untuk memilih jadi mukmin taat dan menerima Islam sebagai agama, atau tetap musyrik, namun dilucuti senjatanya, dipapas hartanya, diminta meninggalkan tradisi jahiliyah thawaf haji dengan telanjang bulat tanpa kain ihran, atau dihukum usir dari Hijaz, Mekkah.

Penggunaan frasa Shaun kedua sebagai ciri-ciri pengembara jiwa hakiki ada di ayat 112 surat Attaubah, dalam konteks "cara balas dendam" kaum Muslimin usai meraih kemenangan bermartabat tanpa pertumpahan darah di Fathu Makkah:

Mereka yang bisa menahan lapar, dahaga, nafsu amarah (di bulan Ramadan) diminta lagi untuk tidak membalas kekejian kaum Musyrik dan mereka disederajatkan dengan setidaknya 8 ciri;
‎ٱلتَّٰٓئِبُونَ ٱلۡعَٰبِدُونَ ٱلۡحَٰمِدُونَ ٱلسَّٰٓئِحُونَ ٱلرَّٰكِعُونَ ٱلسَّٰجِدُونَ ٱلۡءَامِرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱلنَّاهُونَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡحَٰفِظُونَ لِحُدُودِ ٱللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

Pengembaraan spiritual itu hanya bisa terlaksana dengan 8 syarat;

1. bertobat,

2. beribadah (zakat, sadaqah, haji)

3. memuji (zikrullAllah),

4. mengembara (puasa),

5. rukuk, sujud (shalat)

6. menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar

7. memelihara hukum-hukum Allah.

8. Dan gembirakanlah orang-orang beriman.

Konteks penggunaan Siyaha pada ayat 112 Attaubah sifatnya lebih kolektif, keumatan, setelah penalukan Mekkah.

Konteks yang lebih SupraSpritual dan personal termaktub di ayat ke-5 surah Attahrim.
‎عَسَىٰ رَبُّهُۥٓ إِن طَلَّقَكُنَّ أَن يُبۡدِلَهُۥٓ أَزۡوَٰجًا خَيۡرًا مِّنكُنَّ مُسۡلِمَٰتٍ مُّؤۡمِنَٰتٍ قَٰنِتَٰتٍ تَٰٓئِبَٰتٍ عَٰبِدَٰتٍ سَٰٓئِحَٰتٍ ثَيِّبَٰتٍ وَأَبۡكَارًا

"Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan mengganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh, beriman, taat, bertobat, beribadah, dan berpuasa, baik yang janda dan yang perawan."

Konteks penggunaan Siyaha dalam bentuk pepuasa jamak muannats salim ini, karena Nabi di periode Madinah, punya setidaknya 9 istri, sebagian besar adalah janda, termasuk almarhumah Khadijah RAnha.

Itulah kenapa setelah kata para pepuasa wanita (سَٰٓئِحَٰتٍ) dipakai kata (ثَيِّبَٰتٍ)yang bermakna janda-janda.

Lalu diikuti kata perawan hanya kalimat tunggal ( أَبۡكَارًا) Ya, karena yang dinikahi Rasulullah saat masih perawan hanya Sitti Aisyah RAnha.

Bagi Rasulullah, konteks turunnya ayat-ayat awal di surah Attahrim ini, memang saat Muhammad galau secara personal sebagai suami dan laki-laki.

Rasulullah dikisahkan, karena begitu tertarik dengan "madu putih" di rumah istrinya Zainab dan Maria Qubtiyya, istri Rasulullah keturunan Mesir, yang merupakan hadiah dari Raja Alexander.

Maria diriwayatkan jadi obyek cemburu para ummul mukminin lain, sebab selain berparas berbeda dari istri-istri lain, nabi juga punya putra dari istri yang hanya dirumahi sekitar 3,7 tahun.

Ibrahim bin Muhammad (630-632) hanya berusia 2,5 tahun, dan meninggal sebelum wafatnya Rasulullah SAW.

Sementara di rumah utamannya dimana Sitti Aisyah binti Abubakar Asshiddiq dan Sitti Hafsah binti Umar Khattab, bermukim senantiasa merasa iri.

Di sinilah, Allah menyapa Muhammad dengan panggilan kesanyangan;
‎يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكَ ۖ تَبۡتَغِى مَرۡضَاتَ أَزۡوَٰجِكَ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

"Yaa Nabi para manusia, kenapa kamu mengharamkan apa yang dihalalkan bagimu. Apakah kamu ingin menyenangkan hati para istrimu? Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang." (Attahrim:1).

Sebelum Allah SWT menggunakan frasa Siyahu (pengembaraan jiwa) untuk para istri yang taat, patuh, dan rajin beribadah di ayat 5 Attahrim, Allah setidaknya menggunakan 5 sifat/nama (asmaul husna) utamanya yang Maha; Alim (tahu), Habir (teliti), hakim (adil dan bijaksana), gafur( pengampun), dan rahim (penyayang), untuk meyakinkan Rasul-NYA bahwa, pengembaraan jiwa dan raga Muhammad, sudah benar, etik, berhikmah dan sudah diketahui Allah SWT dengan detail, sebelum, saat itu, dan (dampak) sesudahnya.

Pengembaraan spiritual itu hanya bisa dinikmati hanya dari mereka yang berpuasa (menahan) dengan iman, ilmu, ketaatan, untuk mendapatkan hidayah, ketaqwaan, kesyukuran, dan irsyad.

Wallahu a'lam bi shawab.(*)

Mariso, 26 Ramadan 1442 H/ 7 Mei 2021

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved