Refleksi Ramadan 1442
Ma Ana bi Qaari, Kontekstualisasi Iqra Dalam Peradaban Islam Bugis Makassar
Lontara punya konsep ilmu pengetahuan yang sesuai situasi dan kondisi, berupa; budaya, psikologi,lingkungan,teknologi,sistem sosial-politik-ekonomi
Oleh: Supratman Supa Athana
Dosen FIB Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Iqraa (bacalah) adalah ayat, kata dan perintah pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW pada malam ke-17 Ramadan.
Tahunnya banyak versi.
Umumnya memperkirakan sekitar antara tahun 609 atau 610 M.
Ayat ini turun sekaligus sebagai petanda pelantikan Muhammad Bin Abdullah Bin Abdul Muthalib Bin Hasyim sebagai nabi dan rasul Allah untuk mengajar dan menuntun manusia tentang risalah Tuhan agar manusia dapat menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat dengan baik dan benar.
Supaya manusia mampu menjalankan tugas utamanya sebagai hamba Tuhan dan khalifah di muka bumi.
Diriwayatkan, dialog Nabi Muhammad dengan Malaikat Jibril.
"Iqraa (Bacalah) (اقرأ )!, ujar Malaikat Jibril.
Nabi menjawab, "Ma ana bi qaari" بقارئ أنا ما)?’
Jawaban Nabi Muhammad dengan kalimat Ma ana bi qaari punya interpretasi yang tidak tunggal.
Saya lebih setuju interpretasi dari Ibnu Hajar yang bertentangan dengan pemahaman banyak orang.
Mereka memahami kalimat Nabi SAW dengan makna "’Aku tidak bisa membaca."
Ibnu Hajar memaknai Ma ana bi qaari sebagai sebuah sebagai pertanyaan balik kepada Jibril, “Apa yang aku baca?” atau “Bagaimana aku membaca?”.
Walau ada perbedaan tafsir dari pernyataan Rasulullah tersebut, tetapi yang boleh dipastikan dalam konteks gerakan sosial bahwa gerakan literasi atau gerakan membaca adalah langkah pertama dan mendasar untuk dilaksanakan.
Oleh karena itu manifestasi replikasi Iqra dalam konteks peradaban Islam Bugis Makassar sekaitan dengan sebuah gerakan perubahan sosial yang menyeluruh.