Refleksi Ramadan 1442
Puasa dalam Filsafat Sulapa Eppa, Manifestasi Manusia Bugis-Makassar yang Sempurna dan Seutuhnya
Di alam budaya dan pemikiran manusia Bugis-Makassar, mulut adalah bagian untuk mengekspresikan segala sesuatu, yang ◊ = sadda (bunyi).
Oleh:
Supratman Supa Athana
Dosen Sastra Asia Barat FIB Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Hikmah puncak dari puasa adalah takwa.
Takwa adalah kualitas iman yang sempurna pada diri seseorang.
Singkatnya, manusia bertakwa adalah manusia sempurna.
Bentuk ril manusia bertakwa adalah manusia yang selalu berbuat baik tanpa kelalaian. Manusia melindungi dirinya dari apa yang dikenal sebagai kesalahan, dosa, kotoran dan keburukan dan selalu menjauhkan dirinya dari lingkungan dosa, pada saat yang sama ia selalu menciptakan keadaan dan kekuatan dalam jiwanya yang memberinya kekebalan spiritual dan moral.
Hal paling sederhana untuk bisa menakar kualitas takwa, intelektual, dan moral adalah lisan. Lisan adalah cerminan hati, jiwa dan pikiran seseorang.
Orang bertakwa sangat menjaga lisannya.
Bagi orang bertakwa setiap perkataan punya efek hukum yang harus ditaati dan dijalankan.
Sakralitas lisan juga mendapat perhatian khusus dalam konsep filsafat Sulapa Eppa.
Filsafat Sulapa Eppa berdasarkan kepercayaan dan mitos Bugis-Makassar bahwa alam semesta ini sebagai satu kesatuan yang diungkapkan oleh ◊ simbol = sa, itu berarti ◊ = seua (satu).
Simbol ‘sa’ (◊) ini juga merupakan mikrokosmos atau eppa sulapa 'na taue (empat bagian tubuh manusia).
Bagian atas adalah kepala; sisi kiri dan kanan adalah tangan; dan bagian bawah adalah kaki. Sa (◊) ini simbol untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara konkret pada bagian kepala manusia, itu disebut "saung" ◊, berarti mulut atau jalan keluar.
Di alam budaya dan pemikiran manusia Bugis-Makassar, mulut adalah bagian untuk mengekspresikan segala sesuatu, yang ◊ = sadda (bunyi).
Suara dikonstruk sehingga memiliki makna ◊ (Simbol), hal itu disebut = ada (kata ilahi atau perintah). Dari kata ◊ ada (kata) keluar segala sesuatu yang mencakup seluruh alam semesta teratur (Sarwa Alam) diatur oleh ◊ ada (kata atau logos).
Jika kata-kata yang ditambahkan artikel ◊ = E, ia menjadi ◊ adae (kata). Ini adalah sumber ◊ kata = ade '(hukum adat), yaitu kata ilahi atau mengatur dengan benar, membuat teratur, mengontrol,mendisiplinkan yang mencakup ◊ Sarwa alam = sa.
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa dalam budaya filsafat Sulapa Eppa ‘lisan atau perkataan’ menjadi fondasi dasar untuk bisa memahami kosmologi dan seluruh sistem yang melingkupi yang terdapat dalam lingkungan dan kehidupan manusia Bugis-Makassar.
Konsep filsafat Sulapa Eppa adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain yang berarti bahwa konsep kosmologi, hukum adat dan konsep diri (kata) berasal dari sumber yang sama yaitu sadda (bunyi) yang merupakan bagian dari mulut.
Keberhasilan seseorang dalam menjalankan ibadah puasa akan disebut sebagai orang bertakwa dengan kriteria akhlak yang dimiliknya adalah jujur, cerdas-berani, adil, sabar (konsisten).
Figur sedemikian itu dalam budaya Bugis-Makkassar disebut sebagai panrita yang harus pula memiliki karakter dasar seperti; Malampu (Kejujuran dan Integritas), Acca dan Warani (Kepandaian dan Keberanian), Temmapasilengeng (Keadilan), Reso (Etos Kerja).
1. Malempu (Kejujuran dan Integritas). Ini merupakan nilai universal yang sangat penting dan strategis baik bagi individu dan pemerintah dalam budaya Bugis-Makassar. 'Ia ritu decengge kui mompo ri lempu-e.Naiya to malempu-e ripujiwi ri AllahTaala, narieloriwi ri to linoe. Apaq nakko malempukiq, mangkauq madengngiq ri padatta rupa tau. Naiya gauk madecennge ripogauq, nakko tettallei decenna ri aleta kupasi ri anatta, ri wija-wijatta talle decenna. De pura-pura tennapakkecappakiwi eceng Allah Taala tau mangkauq madecennge, enrenge to malempue. Naia gauk bawannge, enrenge cekoe, narekko ettallei jana ridiq, kupasi ri anaqta, riwija-wijatta talle jana. Apaq de pura-pura nakkulle tennacappakeng ja gauk bawannge, enrenge cekoe. Terjemahan;’Adapun kebaikan itu, kejujuranlah menjadi sebabnya. Adapun orang jujur, ia dikasihani oleh Allah Taala, serta disukai oleh sesamanya manusia. Sebab jika kita jujur dan berbuat baik terhadap sesama manusia. Adalah perbuatan yang baik itu. Jika bukan kepada kita Nampak kebaikannya. Tidak mungkin tidak diberi berakhir kebaikan kepada Allah Taala orang yang berbuat serta orang yang berbuat jujur. Mengenai kesewenang-wenangan serta keculasan, jika tidak tampak kejelekannya kepada kita, niscaya pada anak kita, turunan kita akan tampak kejelekannya. Sebab tidak mungkin tidak berakhir dengan kejelekan, perbuatankesewenang-wenangan and keculasan.’
2. Acca na Warani (Kepintaran dan Keberanian). Individu maupun pemerintah harus pintar dan berani supaya bisa mengambil keputusan yang tepat untuk menghadapi masalah maupun merancang agenda masa depan.
3. Temmapasilengeng (Keadilan) adalah sebuah nilai yang harus diterapkan oleh inndividu dan seluruh aparatur pemerintah guna memberikan layanan kepada masyarakat tanpa membedakan satu dengan yang lainnya. Masyarakat akan simpati dan secara tulus memberikan dukungan kepada individu, pemimpin dan pemerintah sehingga tujuan pembangunan dan pengelolaan pemerintah akan tercapai dengan mudah.
4. Reso (Etos Kerja). Nilai ini terungkap dalam ungkapan tradisional "resopa namatinulu naletei pammase dewata" yang artinya hanya dengan kerja keras, kerajinan dan ketekunan akan mendapatkan rahmat dan dari yang Maha Kuasa. Dalam kehidupan sosial yang penuh dengan kompetisi, kita perlu meningkatkan nilai etos kerja sebagai motivasi dan semangat rakyat untuk meningkatkan daya saing mereka.
Berpuasa kurang lebih sama dengan ide filsafat Sulapa Eppa.
Menjaga puasa di bulan Ramadan dengan sempurna adalah manifestasi dari manusia Bugis-Makassar yang sempurna dan seutuhnya.(*)