Inspirasi Ramadan Hamdan Juhannis
Bumi Kebermaknaan (8): The Power of Tradition, Ragulah Jika Engkau Peduli
tradisi bekerja dalam kehidupan, the power of tradition, yang diturunkan dan diadopsi secara masif
Oleh:
Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Satu cerita lagi dari teman baik.
Ada pasangan suami-isteri yang baru menikah.
Si suami meyakinkan isterinya bahwa beruntung mendapatkan dirinya karena dia berbeda dengan laki-laki lain.
Dia pintar sekali memasak. Si suami selalu mengambil peran pada aktivitas dapur.
Suatu waktu si suami memasak ayam panggang dengan menggunakan oven.
Namun isterinya bertanya kenapa dia memotong bagian sebelah ayam sebelum dimasukkan ke dalam oven.
Si suami menjawab, dia mengikuti cara ibunya saat memanggang ayam.
Si isteri jadi penasaran. Dia menemui ibu mertuanya.
Dia tanya kenapa memotong bagian sebelah ayam saat dipanggang di dalam oven.
Ibu mertunya menjawab, dia mengikuti cara ibunya (nenek suaminya) saat memanggang ayam.
Si isteri mendatangi nenek mertuanya yang kebetulan masih hidup.
Dia menanyakan hal yang sama.
Kenapa memotong bagian sebelah ayam itu saat dipanggang ke dalam oven.
Nenek mertuanya menjawab karena oven yang dimilikinya kecil sekali, tidak bisa memuat untuk satu ayam utuh.
Cerita ini adalah tentang fenomena budaya turun temurun.
Si suami mengikuti kebiasaan ibunya dan ibu itu mengikuti kebiasaan ibunya juga tanpa pernah tahu tujuannya.
Mungkin begitu banyak kebiasaan yang dilakukan hanya karena mengikuti kebiasaan nenek moyang kita yang kita tidak tahu untuk apa itu dilakukan.
Mungkin ada yang kita lakukan karena kebiasaan masyarakat kita yang tidak tahu asal usulnya.
Atau mungkin dalam keluarga kita, ada kebiasaan yang sering dilakukan karena kita sekadar mengawetkan saja tanpa pernah sadar apa maknanya bagi keluarga kita.
Begitulah mungkin tradisi bekerja dalam kehidupan, the power of tradition, yang diturunkan dan diadopsi secara masif, dan pertanyaan tentang untuk apa tradisi dipertahankan itu menjadi nomor kesekian.
Namun pemerolehan sebuah kebiasaan tanpa memahami maksudnya dalam era perubahan sekarang ini bisa disebut sebagai ketidakcerdasan.
Generasi sejatinya dibangun dengan sikap kritisisme.
Ciri generasi ilmiah yang harus diciptakan oleh dunia modern saat ini adalah tersedianya perangkat pada dirinya berupa "prinsip keraguan," atau kita istilahkan "skeptisisme" pada bangunan tradisi yang ada di depan matanya.
Prinsip keraguan inilah yang dijadikan senjata untuk menguliti pemahaman baru terhadap sebuah tradisi; untuk apa itu ada, apa manfaatnya bagi kehidupan, atau apakah masih relevan dengan kekinian.
Prinsip keraguan ini bukan untuk menghapus tradisi lama, tapi membuat sebuah tradisi itu bisa semakin bertahan jika memang masih diperlukan.
Jadi keraguan pada tradisi adalah kepedulian.
Bukan justeru yang terjadi bagi banyak kasus saat ini, munculnya sikap acuh tak acuh terhadap tradisi, dan akhirnya tradisi positif-pun menjadi punah dihempas oleh zaman.
Sudah acuh tak acuh, suka bertaklid buta pada tradisi, dan tidak pula bisa memasak. Tena harapang, kata orang Makassar.(*)
DISCLAIMER:
Dalam Ramadan 1442 H/2021 M ini, Prof Dr Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin, berbagi tulisan Inspirasi Ramadan 2021 dengan tema Bumi Kebermaknaan dan dimuat di Tribun Timur cetak dan di Tribun-Timur.com