Tribun Bone
Bola Soba yang Membakar Nurani dan Heroisme Bone
bagi mereka yang betul-betul memahami sejarah, tentu saja visinya berbeda. Sebab, Bola Soba telah membakar nurani dan heroisme Bone.
Opini Andi Muhammad Sadat PhD ini dimuat di Rubrik Opini Tribun Timur edisi Selasa, 23 Maret 2021, dengan judul Bola Soba dan Amnesia Sejarah. Tulisan alumnus Fakultas Ekonomi Unhas ini mencabik nurani dan heroisme Bone lewat Bola Soba yang terbakar. Bagi Andi Muhammad Sadat PhD, bukan api yang melahap Bola Bola, justeru Bola Soba yang telah melalap nurani seluruh kawula Bone.
Oleh
Andi Muhammad Sadat PhD,
Putra Bone/Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta-Research Assistant at Southern Taiwan University of Science and Technology-Taiwan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - "Bola Soba di Bone terbakar”, demikian kalimat singkat yang saya baca di grup WA alumni sekolah disertai beberapa gambar yang menunjukkan betapa si jago merah telah melalap habis ikon kerajaan Bone tersebut, dan hanya menyisakan tiang-tiangnya yang kokoh.
Bagi mereka yang dilahirkan di tanah Bone seperti penulis, Bola Soba yang berdiri sejak 1890 lebih dari sekedar bangunan kayu khas rumah Bugis dengan ratusan balok penyangga. Ia adalah monumen hebat dengan berjuta kisah.

Bola Soba dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-31 La Pawawoi Karaeng Segeri MatinroE ri Bandung (1895-1905).
Sempat menjadi kediaman resmi Raja Bone ke-32 La Mappanyukki, lalu putra Petta Ponggawae, dan setidaknya dalam satu abad terakhir telah mewakili eksistensi Kerajaan Bone yang pernah mengalami masa keemasannya di era Arung Palakka (1634-1696).
Tokoh yang patungnya tegap berdiri di alun-alun Kota Watampone, sangat disegani dimasanya dan terus menyimpan kontroversi hingga saat ini.
Meskipun hasil investigasi pihak berwenang mengklaim tidak ada pusaka kerajaan yang habis terbakar, karena hanya diisi oleh replika yang jumlahnya tidak banyak.
Namun Bola Soba tetaplah sebuah simbol bagi perjalanan masyarakat Bone yang harus dijaga eksistensinya.
Pertanyaannya, sudahkah kita menjaga aset peradaban tersebut secara layak?
Memelihara Ingatan
Marcus Tullius Cicero, seorang filosof hebat yang lahir tahun 106 SM, pernah berkata “to remain ignorant of history is to remain forever a child”.
Secara sederhana kalimat ini berarti bahwa, mereka yang mengabaikan sejarah akan tetap menjadi anak-anak selamanya.
Ungkapan itu merefleksikan betapa pentingnya sejarah—dan pelestariannya—bagi sebuah bangsa.
Kehilangan sejarah berarti kehilangan catatan penting yang bisa membuat seseorang tercerabut jati dirinya.
Dan, mereka yang hilang jati dirinya tidak pernah menjadi bangsa yang unggul.
Mereka selamanya akan menjadi kanak-kanak yang tidak bisa optimal dalam berpikir dan bertindak.
Apa yang disampaikan Cicero itu dipahami betul oleh kaum penjajah, yang selalu menjaga jarak antara sejarah sebuah bangsa dan bangsa itu sendiri agar mereka dapat melanggengkan kekuasaannya, melegalkan eksploitasi sehingga membuatnya terus terpuruk.
Atas argumen itu pula, peninggalan berharga negara-negara jajahan selalu dijarah para penjajah ke negerinya dan sulit untuk kembali—termasuk artefak-artefak tak ternilai peninggalan Kerajaan Bone.
Lihat saja faktanya, para cendekiawan nusantara yang ingin mengulik sejarah bangsa kita akan berbondong-bondong ke Belanda.
Mereka menjadikan Universitas Leiden sebagai kiblatnya, sebab di sanalah bongkahan sejarah masa lalu kita dipendam dan di “jaga”.
Lalu bagaimana kita sebagai bangsa?
Bone sesaat lagi akan memperingati hari jadi yang ke 691.
Usia yang nyaris 7 abad tersebut belum menunjukkan tanda-tanda penghargaan tinggi terhadap peninggalan sejarahnya.
Bahkan, Bola Soba yang wujud fisiknya sangat besar hingga akhirnya ludes terbakar, belum dioptimalkan sebagai aset budaya yang harus dijaga dengan standar tinggi.
Cara kita mengelola artefak budaya sangat jadul, jauh dari sistem keamanan dan manajemen layaknya menjaga pusaka berharga.
Peninggalan sejarah kita hanya seperti seonggok benda tanpa hasrat nyata untuk menjaga dan mendalaminya untuk mendukung pembangunan karakter bangsa.
Sangat wajar jika banyak masyarakat Bone tidak tahu sejarah Bola Soba.
Meski setiap hari berlalu lalang di depan Bola Soba, mereka bahkan tidak pernah menyempatkan diri menengok apa isinya.
Nah, jika secara fisik saja masyarakat tidak bisa terlibat, lalu bagaimana bisa mengajak mereka terlibat intens secara psikologis?
Seperti memiliki rasa bangga untuk menjaga, menceritakan kepada anak-cucu kisah-kisah heroik yang ada dibaliknya, atau menjadikannya muatan lokal pelajaran sejarah di sekolah-sekolah agar generasi muda tahu bahwa dulu ada sebuah kerajaan besar di timur yang sanggup menantang hegemoni Kerajaan Gowa dan sekutunya bernama Kerajaan Bone.
Dan Bola Soba adalah simbol nyata yang bisa memediasi hal tersebut.
Memelihara ingatan kita antara masa lalu dan saat ini.

Amnesia Sejarah
Kini setelah Bola Soba terlanjur menjadi puing-puing.
Sontak semua menangis, adapula yang kerasukan untuk menunjukkan penyesalan yang mendalam.
Bupati Bone bahkan berjanji akan segera menggantinya dengan bangunan yang lebih baik.
Tapi, sesederhana itukah?
Ya, di mata sebagian orang, Bola Soba bisa diganti dengan menghitung anggaran, menyiapkan pimpro lalu membangunnya kembali. Selesai!
Namun, bagi mereka yang betul-betul memahami sejarah, tentu saja visinya berbeda. Sebab, Bola Soba telah membakar nurani dan heroisme Bone.
Ludesnya Bola Soba harus menjadi refleksi bersama, menjadi momen untuk membangun kesadaran kolektif—warga Bone—untuk menempatkan sejarahnya pada aras yang tinggi, sehingga menjadi spirit yang terus mengispirasi.
Artinya, sebuah artefak sejarah bukan sekadar seonggok bangunan fisik.
Melainkan memiliki semacam “ruh”, memiliki aura yang dapat memancarkan banyak hal untuk kemajuan masyarakat.
Pengalaman penulis yang berkesempatan hidup merantau ke Taiwan dan Inggris Raya.
Mereka adalah bangsa yang pandai betul merawat peninggalan sejarahnya.
Dengan visi dan manajemen modern, setiap peninggalan sejarah dibuat seolah-olah bercerita.
Museum-museum selalu ramai bukan saja oleh para turis melainkan juga generasi mudanya.
Bagi mereka sejarah yang terawat akan membebaskan mereka dari amnesia kolektif yang dapat menyebabkan sebuah bangsa kehilangan rasa percaya dirinya.
Di Kota Norwich, sekitar 3 jam dari London, bangunan benteng berusia ratusan tahun yang nyaris tidak utuh lagi, alih-alih dihancurkan dengan buldoser, justru dibuat seolah-oleh menyelimuti mal, beberapa bagian dinding benteng sengaja diberi etalase dengan keterangan lengkap agar pengunjung mal tidak lupa bahwa di tempat mereka berdiri, para pejuang terdahulu mempertaruhkan segalanya demi mempertahankan kota tersebut.
Bagi mereka yang ingin tahu lebih jauh, dapat memasuki area museum yang dibuat satu bangunan dengan mal tersebut.
Intinya, masyarakat diberi akses seluas-luasnya agar sadar dengan sejarahnya!
Di pusat Kota Tainan, ibu kota lama Taiwan, sebuah “pesantren” Kunfusius yang berusia ratusan tahun tetap terjaga keasliannya, meskipun telah beberapa kali direnovasi. Lokasinya sengaja dibuat terbuka dengan halaman luas yang dipenuhi tanaman, menyatu dengan Kota Tainan yang bersahabat.
Masyarakat dari berbagai kalangan dapat mengakses peninggalan bersejarah ini setiap saat.
Dengan sentuhan modern pengunjung akan mendapatkan informasi bagaimana kearifan Konfusius telah terhembus lama dan menjadi bagian dari karakter bangsa Taiwan yang jujur, terbuka dan menghargai kerja keras.
Spirit sejarah ini tidak hanya terhenti sebatas bangunan artefak atau museum tersebut, tetapi juga secara simultan menjadi bagian dari sistem pengajaran mereka sehari-hari.
Alasannya sederhana, agar setiap generasi tidak lupa siapa dan buat apa mereka hidup.
Sangat wajar jika saat ini bangsa Taiwan telah tumbuh menjadi kekuatan ekonomi dunia—menjadi negara produsen semi kondukter terbesar di dunia—meskipun terus dibayang-bayangi hegemoni China daratan.
Ya, bagi negara-negara maju peninggalan sejarah bukan sekedar seonggok barang purbakala yang tergeletak di atas tanah.
Sebaliknya, harus bisa diselami, menjadi objek riset yang tak pernah kering, dapat menjadi fondasi dalam membangun karakter masyarakatnya untuk terus berjuang, menegakkan keagungan seperti yang diperjuangkan oleh para leluhurnya dulu.
Di Tanah Bone, negeri yang dikenal dengan adatnya yang tinggi, artefak sejarah seharusnya juga terjaga dengan baik.
Dirawat secara pantas sehingga menjadi bagian napas warganya.
Saatnya semua pihak harus duduk bersama dan memberi solusi, agar kejadian hilangnya aset sejarah paling berharga tidak terulang lagi dimasa depan.
Bukankah sejarah hadir untuk dipelajari agar identitas, kearifan dan kebajikan menjadi senjata dalam membangun peradaban yang lebih baik?
Tidak terjebak dengan amnesia berkepanjangan.
Seperti kata Theodore Roosevelt, semakin paham sejarah masa lalu, maka semakin baik pula sebuah bangsa menghadapi masa depan. Semoga!(*)