Demokrat Sulsel
Agus Harimurti Yudhoyono Kumpul ‘Punggawa’ Demokrat se-Sulsel, Begini Sindiran Moeldoko ke AHY
ARA juga menegaskan bahwa DPD dan DPC Demokrat se-Sulsel kompak mendukung putra mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Penulis: Muhammad Fadhly Ali | Editor: Abdul Azis Alimuddin
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mencium adanya gerakan politik yang ingin mengambil alih kepemimpinan partai Demokrat secara paksa atau kudeta.
AHY menyatakan gerakan tersebut terdiri dari kader secara fungsional, mantan kader, dan ada juga non-kader.
Pengamat Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Andi Lukman menilai manuver AHY itu tak sekadar gimmick politik.
AHY pun langsung memanggil seluruh ketua-ketua DPD dan DPC Demokrat se-Sulsel ke Jakarta untuk menguatkan barisan.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat Makassar Adi Rasyid Ali menbenarkan adanya pertemuan tersebut.
“Ia itu pertemuan di salah satu rumah makan di Jakarta hari ini,” kata ARA akronim namanya, Rabu (3/2) malam.

Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar tersebut, AHY adalah harga mati di Sulsel.
ARA juga menegaskan bahwa DPD dan DPC Demokrat se-Sulsel kompak mendukung putra mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono itu.
“Jadi memang sudah lama Demokrat ini mau diganggu. Posisi kami di Sulsel, apalagi Makassar, tetap harga mati untuk ketua AHY,” tegas ARA.
Ia mengaku ada pihak eksternal sedang bermain dan tidak senang dengan Demokrat.
“Apalagi survei Demokrat semakin melejit akhir-akhir ini membuat gundah oknum tersebut,” jelas Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPRD Makassar itu.
Sindiran Moeldoko
Sementara Kepala Staf Presiden Moeldoko menilai tudingan sejumlah pengurus Demokrat yang menyebut dirinya akan mengkudeta partai dari kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) merupakan dagelan.
Moeldoko mengaku tidak mungkin mau kudeta partai.

Sebagai Panglima TNI saat itu, ia mengumpamakan membawa pasukan dan senjata, menodong setiap Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat agar mendukungnya sebagai Ketua Umum Partai.
Hal itu tidak mungkin karena setiap partai memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai (AD/ART).
“Menurut saya sih kayaknya ini kayak dagelan aja gitu. lucu-lucuan,” katanya di kediamannya, Jl Lembang, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, (3/2).
“Moeldoko mau kudeta. Apaan yang dikudeta? Anggap lah begini."
"Saya punya angkatan bersenjata anggaplah Panglima TNI ingin jadi ketua Demokrat emangnya gw bisa itu todong senjata itu para DPC, DPD heh datang ke sini gw todongin senjata," katanya menambahkan.
Lebih lucu lagi menurut Moeldoko, ia disebut akan mengkudeta partai Demokrat untuk dijadikan kendaraan politik pada Pilpres 2024.
“Terus dibilangin jadi presiden lah ya, gak ada itu. Kerjaan gue setumpuk gini ngurusin yang nggak-nggak saja. Jangan lah apa itu membuat sesuatu,” jelasnya.
Moeldoko mengatakan bahwa permasalahan ditubuh Demokrat merupakan dinamika partai biasa.
Pengurus partai seharusnya tidak perlu takut karena di Demokrat ada Susilo Bambang Yudhoyono dan Agus Harimurti Yudhoyono.
“Saya ini siapa sih. Saya ini apa biasa biasa aja. Di Demokrat ada pak SBY ada putranya mas AHY, apalagi dipilih secara aklamasi kenapa mesti takut ya,” katanya.
“Kenapa mesti menanggapi seperti itu? Wong saya biasa biasa saja. Dinamika dalam sebuah parpol ya biasa ya seperti itu,” jelasnya.
Sebelumnya Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono mengungkapkan ada gerakan politik yang ingin mengambil alih kepemimpinan partai secara paksa.

AHY menyebut hal itu didapatkan setelah ada laporan dari pimpinan dan kader Demokrat, baik tingkat pusat maupun cabang.
“Adanya gerakan politik yang mengarah pada upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat secara paksa, yang tentu mengancam kedaulatan dan eksistensi Partai Demokrat,” kata AHY dalam konferensi pers secara virtual, Senin (1/2) lalu.
AHY menyatakan, menurut kesaksian dan testimoni banyak pihak yang didapatkan, gerakan itu melibatkan pejabat penting pemerintahan yang secara fungsional berada di dalam lingkar kekuasaan terdekat dengan Presiden Joko Widodo.
AHY menyebut gerakan tersebut terdiri dari kader secara fungsional, mantan kader dan non-kader.
Gabungan dari pelaku gerakan itu ada lima orang, terdiri dari satu kader Demokrat aktif, satu kader yang sudah enam tahun tidak aktif.
Satu mantan kader yang sudah sembilan tahun diberhentikan dengan tidak hormat dari partai, karena menjalani hukuman akibat korupsi dan satu mantan kader yang telah keluar dari partai tiga tahun lalu.
Sedangkan yang non-kader partai adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan.
“Tentunya kami tidak mudah percaya dan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam permasalahan ini,” kata AHY.(*)