Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Prof Kishore Mahbubani Paparkan Geopolitik, Tata Kelola Pemerintah Hingga Global di Golkar Institute

Prof. Kishore Mahbubani mengatakan persaingan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok tidak terhindarkan.

Penulis: Ari Maryadi | Editor: Imam Wahyudi
Golkar
Presiden Jokowi hadir memberikan sambutan dalam peluncuran Golkar Institute secara virtual, Selasa (222021) 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Guru besar terkemuka dari National University of Singapore, Prof Kishore Mahbubani menjadi pembicara dalan peluncuran Golkar Institute, Selasa (2/2/2021). 

Prof. Kishore Mahbubani memaparkan 3G yaitu Geopolitik, Good Governance (tata kelola pemerintahan yang baik), dan Global Governance (tata kelola global).

Point pertama tentang geopolitik.

Prof. Kishore Mahbubani mengatakan persaingan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok tidak terhindarkan.

Ini tidak ada kaitannya apakah AS dipimpin oleh Donald Trump atau Joe Biden.

Karena persaingan ini didorong oleh kekuatan struktural, yaitu kapanpun kekuatan nomor satu dunia (AS) sedang disalip oleh kekuatan nomor satu yang sedang berkembang atau "emerging" (Tiongkok), maka kekuatan nomor satu dunia akan menahan kekuatan yang sedang naik. 

Mengapa demikian? Dalam konteks persaingan AS-Tiongkok, ada beberapa alasan. 

Pertama, secara kultural orang kulit putih punya trauma terhadap orang kulit kuning sejak bangsa Mongol menjajah Eropa 800 tahun lalu. 

Kedua, AS percaya bahwa hanya kalau Tiongkok berubah menjadi demokrasi, maka baru mereka bisa berdiri sejajar.

Baik AS maupun Tiongkok membuat kesalahan dalam persaingan ini. Tiongkok mengalienasi komunitas bisnis AS di Tiongkok. 

Akibatnya, saat Presiden Trump menghukum Tiongkok dengan perang dagangnya, komunikas bisnis AS diam saja. 

Sementara, AS menjalankan kontes geopolitik melawan Tiongkok tanpa strategi yang jelas. 

Mereka menerapkan tarif dan sanksi perdagangan, tapi dampaknya sangat minim bagi Tiongkok. 

Siapa yang akan menang? Mahbubani tidak dapat menjawabnya. AS masih ekonomi terbesar. 

Mereka terbiasa menang. AS sudah pernah mengalahkan Jerman, Jepang, dan Uni Soviet, tapi AS tidak sadar, kompetisi dengan Tiongkok jauh lebih besar. 

Penduduk Tiongkok empat kali lipat penduduk AS. AS baru berumur 250 tahun, sedangkan Tiongkok berumur lebih dari 2000 tahun. 

Masyarakat AS juga percaya bahwa dalam persaingan demokrasi melawan komunisme, demokrasi akan menang, karena mereka percaya demokrasi lebih fleksibel, sedangkan komunisme kaku. 

Tapi AS hari ini bukanlah demokrasi yang berlangsung baik (not a functioning democracy). 

Mestinya demokrasi ini berprinsip “dari, oleh, untuk rakyat”. 

Tapi saat ini AS menjadi plutokrasi. Pemerintahan dijalankan “dari, oleh, untuk kalangan kalangan kaya”. 

Selama 30 tahun terakhir, pendapatan 60% terbawah masyarakat AS stagnan atau bahkan menurun untuk sebagian. 

Dalam buku “Deaths of Despair and the Future of Capitalism”, Angus Deaton menggambarkan berbagai permasalahan yang dialami masyarakat AS sekarang ini. 

Sebaliknya, dalam 40 tahun terakhir ini masyarakat Tiongkok justru mengalami masa-masa yang sangat baik. 

Vitalitas spiritual dari masyarakat Tiongkok sedang tinggi-tingginya. 

Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan ASEAN? Mahbubani menyarankan negara-negara ASEAN kompak bicara dalam 1 suara dan menyatakan kepada AS dan Tiongkok: “Kalian jangan bersainglah. 

Kalau kalian ngotot bersaing, jangan libatkan kami. Lebih baik kita fokus mengalahkan COVID dulu.” Indonesia memiliki peran penting karena negara paling besar di ASEAN, dan sekretariat ASEAN berada di Jakarta.

Point kedua yang disampaikan Mahbubani adalah tentang good governance atau tata kelola pemerintahan.

Di sinilah ia mengharapkan Golkar Institute dapat mengambil peran penting untuk membangun good governance di Indonesia. 

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, dan bisa punya Pendapatan Domestik Bruto yang lebih besar daripada Jepang. 

Tapi untuk mewujudkan itu, Indonesia perlu memperkuat tata kelola yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. 

Golkar Institute perlu membantu Indonesia membangun prinsip-prinsip MPH, yaitu meritokrasi, pragmatisme, dan honesty (kejujuran). 

Dengan prinsip meritokrasi, Indonesia harus memilih putra-putrinya yang terbaik untuk bekerja di pemerintahan. AS selama ini mengecilkan peran pemerintah. 

Mereka mengatakan, “government is bad, we should have small government”. Sementara di Tiongkok, hanya yang terbaik yang bisa bekerja di pemerintahan. 

Dalam prinsip pragmatisme, Golkar Institute perlu mempelajari praktik-praktik baik dari seluruh dunia dan membangun “gudang ilmu” yang dapat diperbandingkan dan diterapkan. 

Karena di masa sekarang ini, kita sudah tahu bagaimana cara menyelesaikan persoalan, kita bisa pelajari bagaimana negara-negara lain menyelesaikan permasalahannya. Yang penting adalah niat politik. 

Dan prinsip kejujuran (honesty) tentu artinya tidak ada korupsi. Negara yang korupsinya banyak, cenderung gagal lebih banyak juga.

Point ketiga penyampaian Mahbubani adalah tentang global governance, atau tata kelola global. 

Indonesia perlu memanfaatkan lembaga-lembaga multilateral seperti PBB, G-20, dan lain-lain, untuk menyuarakan argumentasi berdasarkan logika dan rasionalitas. 

Pengalaman Mahbubani sebagai duta besar Singapura untuk PBB, bersama dengan Ali Alatas yang mewakili Indonesia, menunjukkan bahwa kebanyakan negara bersedia mendengarkan argument berdasarkan rasionalitas yang disampaikan dengan baik.

Indonesia selalu memiliki diplomat-diplomat yang baik. Untuk mencapai good global governance, Mahbubani berharap Golkar Institute bisa terus mendukung Indonesia untuk mempersiapkan lebih banyak lagi diplomat yang baik. 

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved