Tribun Makassar
Ombak Selat Makassar Resahkan Nelayan, Walhi Sulsel Singgung Aktivitas Tambang Pasir
Walhi Sulawesi Selatan (Sulsel) angkat bicara terkait fenomena alam yang berhubungan dengan aktivitas tambang pasir laut
Penulis: Andi Muhammad Ikhsan WR | Editor: Suryana Anas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel) angkat bicara terkait fenomena alam yang berhubungan dengan aktivitas tambang pasir laut, mulai akhir tahun 2017, sampai tahun 2020 di perairan Sulawesi Selatan.
Staf Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel, Slamet Riadi menyebut, saat angin musim barat seperti sekarang, perairan Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh angin yang berhembus dari barat laut, dan barat daya, dengan kecepatan angin sekitar 4-27 Knot dan tinggi gelombang mencapai 1,25-2,5 Meter.
"Dengan fenomena alam seperti itu, maka tiga ekosistem laut yang penting dan harus terjaga yaitu, hutan bakau, padang lamun, dan terumbu karang," ujar Slamet, Senin (1/2/2021).
Namun, kondisi eksisting morfologi dasar laut di barat daya Pulau Kodingareng, yang merupakan lokasi tambang pasir laut, mengakibatkan perubahan, yang membuat ekosistemnya mengalami krisis.
"Sebab, hal ini dapat memperlancar arus serta ombak yang berhembus dari barat laut," tambahnya.
Akibatnya, nelayan di pulau-pulau kecil, serta Pesisir Galesong, kini mulai was-was dengan tingginya arus dan ombak yang terjadi beberapa hari ini.
Selain itu, lanjut Slamet, pada bulan Januari ini, sudah ada dua kapal nelayan yang rusak parah dari Pulau Kodingareng, yang dihantam ombak saat sedang melaut.
Serta sejumlah desa di pesisir Galesong, tengah berjaga-jaga, akibat munculnya potensi abrasi dalam beberapa hari ini.
"Angin musim barat seperti saat ini, merupakan tantangan terberat bagi para nelayan di Pulau Kodingareng," terangnya.
Sebab, meskipun cuaca buruk, mereka tetap harus melaut untuk menafkahi keluarganya.
Resiko ini ditempuh karena, saat angin musim timur tahun lalu, nelayan dan perempuan di Pulau Kodingareng tidak bisa menabung untuk menghadapi angin musim barat.
"Hal ini dikarenakan, menurunnya hasil tangkapan, akibat aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkapan mereka," tuturnya.
Sumarti, salah seorang istri nelayan Pulau Kodingareng, yang kapal suaminya dihantam ombak saat melaut mengatakan, kapal suaminya dihantam ombak saat perjalanan pulang melaut, dan belum mendapatkan tambahan
"Dari tahun - ketahun, kalau melaut tidak beginiji ombaknya, dan ini dampak dari penambangan pasir laut Boskalis," kata Sumarti.
Slamet kembali menegaskan, agar pemerintah bertanggungjawab serta, memperhatikan nasib keluarga nelayan di pesisir, dan pulau-pulau kecil di Sulawesi Selatan.
"Segera cabut serta revisi RZWP3K yang melegalisasi wilayah tangkap nelayan sebagai lokasi tambang pasir laut," tutupnya.
Laporan tribuntimur.com, M Ikhsan
