Kalender Bugis Makassar:25 Januari 2021 Bertepatan dengan Bilang Taung? Disesuaikan Hari Jadi Sulsel
Kalender Bugis Makassar adalah sistem penanggalan masyarakat Sulawesi Selatan yang disusun berdasarkan lontara.Tahunnya disesuaikan Hari Jadi Sulsel
TRIBUN-TUMUR.COM, MAKASSAR – Inilah awal pekan ke-4 tahun 2021. Senin, 25 Januari 2021 M. Tanggal 25 Januari 2021 bertepatan dengan Hijriah 12 Jumadil Akhir 1442. Lalu, 25 Januari 2021 bertepatan dengan Bilang Taung ke berapa?
Kepada kaum Bugis Makassar di manapun berada, Salamakki tafada salama! Kurrusumangeta maneng!
Sesuai hitungan kalender Bugis Makassar, sistem penanggalan masyarakat Sulawesi Selatan, yang disusun budayawan Sulsel di Singapura, Nor Sidin Ambo Uphex, 25 Januari 2021 bertepatan dengan Bilang Taung 10 Nagai 351 B. Tapi tidak sesederhana itu.
Dalam hitungan kalender Bugis Makassar, sistem penanggalan masyarakat Sulawesi Selatan, nama hari bukan hanya satu. Ada nama hari untuk hitungan tujuh, bilang esso, ada nama hari khusus periode 20, siklus 20, atau Bilang Duappuloh.
Hadirnya kalender Bugis Makassar, sistem penanggalan masyarakat Sulawesi Selatan, atas inisiatif dan dorongan alumnus Fakultas Teknik Unhas Sapri Andi Pamulu.
Sesuai hitungan tujuh, Bilang Esso, Hari Senin disebut Lanra Katiwi, dalam hitungan 20, hari ini hari ke-16 dan disebut Dettia. Dalam setahun, Seddi Pariyama, tiga siklus 20 berulang empat kali, yakni Juruwata, Banawa, dan Bisaka.
Bulan Januari 2021 ini didominasi siklus Banawa. Dalam Bulan Januari 2021 ini terdapat 9 hari di siklus Juruwata, lalu 20 hari siklus Banawa dan sehari di siklus Bisaka.
Jadi Hari Senin, 25 Januari 2021 bertepatan dengan Bilang Taung Lanra Katiwi 10 Nagai 16 Dettia Banawa 531 B.
Cara penyebutannya atau cara pembacaannya adalah Esso Lanra Katiwi na 10 Nagai ri Seppulonaenneng Dettia Banawa Taung Limaratu Telluppulo Seddih.
Menurut Sapri Andi Pamulu, kalender Bugis Makassar sistem penanggalan masyarakat Sulawesi Selatan, yang disusun budayawan Sulsel di Singapura Nor Sidin Ambo Uphex, dihitung mulai di hari Jadi Sulawesi Selatan, 9 Oktober.
Sejarah Hari Jadi Sulawesi Selatan
Disebutkan, setelah melewati pembahasan amat ketat dan dinamis, setelah bersidang berkali-kali, baik siang maupun malam untuk mempertemukan perbedaan pandangan dan menyatukan persepsi, maka DPRD Tingkat 1 Sulawesi Selatan menyetujui dan menetapkan secara bulat, tanggal 19 Oktober 1669 sebagai Hari Jadi Sulawesi Selatan, melalui Peraturan Daerah Tingkat Sulawesi Selatan Nomor 10 Tahun 1995.
Hari Lahir Sulsel digagas Gubernur Sulsel 1993-2003 Zaenal Basri Palaguna.
Gagasan lahirnya Hari Jadi Sulawesi Selatan, berawal saat Zainal Basri Palaguna mengungkapkan keinginannya menemukan suatu wahana yang dapat menjadi salah satu pengikat, dalam upaya memperkuat wujud kebersamaan dan persatuan, yang selama ini sudah dirasakan mulai berkembang dengan baik di kalangan masyarakat.
Setelah mematangkan gagasan gubernur, maka ditetapkanlah suatu kepanitiaan dan penyusunan kerangka acuan untuk menyelenggarakan Seminar Hari Jadi Sulawesi Selatan. Seminar pun digelar pada tanggal 18 dan 19 Juli 1995 di Ruang Pola Kantor Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Peserta Seminar Hari Jadi Sulawesi Selatan dikuti lebih 200 orang dari kalangan cendekiawan, tokoh masyarakat, pinisepuh, Pimpinan Daerah Tingkat I dan Tingkat, serta sejumlah Tokoh Daerah, Pimpinan Organisasi Politik, dan Organisasi Pemuda se-Sulawesi Selatan.
Dalam Seminar Hari Jadi Sulawesi Selatan ditampilkan 19 makalah utama dari para pakar dengan berbagai disiplin ilmu dan makalah kunci dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, serta sejumlah makalah sumbangan serta tulisan lainnya dari bertbagai unsur secara spontan.
Pada forum Seminar Hari Jadi Sulawesi Selatan lalu menjaring sejumlah keinginan dari berbagai kalangan yang teruji dengan pembahasan dari sejumlah cendekiawan dari berbagai dinamis.
Forum Seminar Hari Jadi Sulawesi Selatan memberikan rekomendasi berupa rumusan usulan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Sebanyak 5 momentum puncak kejadian di Sulawesi Selatan direkomendasikan dalam Seminar Hari Jadi Sulawesi Selatan yang layak dan pantas untuk dipertimbangkan dalam proses selanjutnya.
Dengan berpegang pada usulan tersebut, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan bersama staf, membahas segala aspek yang berkaitan dengan pemaknaan untuk diajukan sebagai rumusan yang terbaik untuk diproses lebih lanjut.
Pembahasan secara mendalam yang dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah bersama staf, berkesimpulan bahwa, usulan momentum puncak kejadian di Sulawesi Selatan yang direkomendasikan oleh Forum Seminar Hari Jadi Sulawesi Selatan, memiliki bobot yang sama nilainya sehingga tepat apabila dipadukan dalam suatu rumusan gabungan simbolik.
Dalam rumusan gabungan inilah, lahir dan terwujud tanggal 19 Bulan Oktober Tahun 1669 kemudian oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat Sulawesi Selatan, menuangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah Tingkat I sulawesi Selatan, untuk selanjutnya dibahas dan dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat 1 Sulawesi Selatan.
Atas penyampaian Rancangan Peraturan Daerah oleh Gubernur Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan melakukan proses pembahasan sesuai Peraturan Tata Tertib DPRD Tingkat I Sulawesi Selatan.
Ringkasan Arti dan Pemaknaan Gabungan Simbolik tersebut sebagai berikut:
Tanggal 19 (Sembilan belas) mengambil rujukan dari fakta dan data sejarah, dari bulan Oktober bemakna penting, karena dua monentum yang merupakan simbol kebersamaan dan persatuan telah terjadi di wilayah ini.
Dua momen dimaksud adalah peristiwa Kesepakatan Raja-raja di kawasan Sulawesi Selatan dan sekitarnya untuk mendukung DR Ratulang manjadi Gubernur pertama Provinsi Sulawesi pada tanggal 15 Oktober 1945 dan Peristiwa Rekonsiiasi Raja-raja bersaudara yang terlibat dalam Perang Makassar. Rekonsiliasi ini berlangsung pada Bulan Oktober 1674.
Sedangkan Tahun 1669, merujuk pada fakta dan data sejarah berakhirnya Perang Makassar. Dalam tahun tersebut, telah terjadi peristiwa heroisme yang luar biasa, dimana para tubarani telah mempertaruhkan segala daya dan upaya dalam perang 40 hari 40 malam sebelum Benteng Somba Opu dihancurkan oleh pihak penjajah.
Semangat tak kenal menyerah telah direfleksikan para tubarani dengan melakukan gerakan hirah ke Pulau Jawa untuk bergabung bersama pejuang lainya untuk menentang penjajahan yang diwariskan hingga pertengahan Abad XX.
Bagi mereka, kekalahan dalam pertempuran bukanlah kehancuran semangat untuk melanjutkan perang yang dapat dilakukan dimana saja untuk melawan kelicikan, kesombongan dan keangkaramurkaan.
Tahun 1669 itu, dalam pemaknaannya, merupakan titik awal suasana munculnya kesadaran bagi seluruh masyarakat daerah ini yang terlibat dalam Perang Makassar, bahwa mereka telah dipecah belah oleh pihak pihak asing yang bermaksud mengambil keuntungan dari pertentangan yang terjadi antara kerajaan bersaudara dan masyarakat yang masih terikat dalam pertalian darah (genealogis) yang dekat.
Pilihan pada tahun yang amat bersejarah itu, dimaksudkan agar tetap menggugah hati nurani dan kesadaran masyarakat Sulawesi Selatan sampai kapanpun, untuk tetap mewaspadai bahaya perpecahan, dengan menggali potensi kebersamaan dan mengembangkan persatuan di kalangan warga masyarakat Sulawesi Selatan, untuk melanjutkan Pembangunan Nasional yang berlangsung di daerah ini.
“Tahun pertama Bilang Taung diambil 351 karena menyesuaikan dengan hari Jadi Sulawesi Selatan yang disepakati sejarawan dan budayawan. Tapi menurut ahli kalender lokal, kemungkinan Bilang Taung dalam lontara diadaptasi dari kalender saka Jawa karena nama-nama bulannya nyaris sama. Studi menunjukkan bahwa kalendar Jawa saka dimulai pada tahun 78 M. Jadi masih perlu dikaji lebih dalam tentang tahunnya,” jelas Sapri Andi Pamulu.(*)