Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Kajian Wali Wanua

FPI Jadi Partai? Akademisi Bugis-Makassar Ingatkan Islam Yes Partai Islam No: Eppa Sulapa Lebih Pas!

kombinasi karakter BJ Habibie, Quraish Shihab, Jenderal M Jusuf, dan Baharuddin Lopa bentuk untuh peradaban Islami yang tercerahkan, Eppa Sulapa

Penulis: AS Kambie | Editor: AS Kambie
dok.tribun
Taslim Arifin, pencetus Wali Wanua 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Diskursus FPI jadi partai mengemuka lagi. Wacana ini digerakkan anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin.

Politikus PDI Perjuangan TB Hasanuddin menyarankan FPI yang kini telah berganti menjadi Front Persatuan Islam besutan Habib Rizieq Shihab lebih baik terjun dalam politik praktis.

"Sejak reformasi Indonesia telah menjadi negara demokrasi. Tahun 2019, demokrasi di Indonesia menempati peringkat ke-4 di kawasan Asia Tenggara dan 67 di dunia dalam daftar indeks demokrasi global yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Dengan sistem demokrasi ini sangat mungkin bila FPI jadi partai," kata TB Hasanuddin kepada wartawan, Minggu (3/1/2021).

Hanya saja, tawaran dan kemungkinan FPI jadi partai itu ditolak tegas kuasa hukum FPI Aziz Yanuar. Dia menegaskan, FPI tak pernah terjun ke ranah politik secara langsung dan tidak tertarik berubah menjadi partai politik . Alasannya, jika FPI jadi partai,  FPI khawatir mereka masuk ke lingkaran penguasa dan menjadi zalim.

"Kami khawatir menjadi zalim. Apalagi sampai masuk ke lingkaran penguasa, ikut zalim. Kalau jadi parpol nanti zalim, bengis, serta kejam, tapi tidak menyadari kezaliman dan kekejamannya," tegas kuasa hukum FPI Aziz Yanuar.

Kemungkinan dan plus-minus FPI jadi partai dibahas dan diperdebaykan oleh tokoh Wali Wanua Sulsel dalam Group WhatsApp Senter-senter Bella, beberapa hari terakhi, hingga Senin (11/1/2021).

Kalau pilihan FPI jadi partai dinilai baik oleh Guru Besar UIN Alauddin Makassar Prof Qasim Mathar.

"Memang bagus kawan-kawan eks FPI lebih menegaskan diri berjuang pas di rel konstitusi. Jangan seperti sebelumnya saat akan memperpanjang izin operasional keormasannya, melahirkan polemik yang melelahkan para pihak dan berdampak kehebohan di tengah masyarakat. Terutama dengan kepulangan Rizieq Syihab,” jelas Prof Qasim Mathar.

Dengan menjadi partai politik, lanjut Prof Qasim Mathar, FPI akan teruji melalui proses politik yang konstitusional, seperti proses yang akan menguji semua parpol, khusus pada proses pileg dan pilpres.

Hanya saja, Prof Qasim Mathar juga ingatkan agar bejalar pada nasib partai Islam yang tidak pernah menjadi pemenang di negeri ini.

“Kalau mau jadi parpol Islam, belajarlah dari sejarah parpol Islam yang panjang di tanah air,” ujar Prof Qasim Mathar.

Dia mencontihkan PKS, yang sebelumnya bernama PK, hingga hari ini akhirnya memilih menjadi penjaga pos di posisi oposisi.

Kemudian Prof Qasim Mathar mencontohkan PAN. “PAN di awal reformasi dipimpin oleh Amien Rais, tokoh reformasi, akhirnya memilih berangsur-angsur bergabung ke pemerintah di bawah bayangan kemarahan tokoh reformasinya,” jelas Prof Qasim Mathar.

Bahkan, PPP, Parmusi, Partai Ka’bah, dan Masyumi pun dicontohkan Prof Qasim Mathar.

“Jauh ke belakang, ada PPP, Parmusi, Partai Ka'bah,  ‘Si Singa’ Masyumi di era demokrasi liberal lagi waktu itu, tak satu pun pernah mencetak sebagai sang pemenang pemilu.

Lalu, lanjut Prof Qasim Mathar, belajar jugalah dari Golkar dan kini Partai Golkar. Golongan yang kini menjadi partai politik ini sudah malang melintang dalam sejarah politik Indonesia.

“Dari parpol yang unggul mutlak di zaman Orba, lalu ‘tiarap’ di awal reformasi tanpa (tidak sudi) di posisi oposisi. Kini bangkit lagi menggeser posisi parpol tua sezaman, seera reformasi, dan yang muda yang kurang pengalaman,” kata Prof Qasim Mathar.

“Saya berpendapat, Golkar menikmati semua fragman dalam lintasan sejarah perpolitikan di Indonesia. Kini, Golkar tetap direken sebagai parpol ‘singa tua’. Mungkin juga seperti PDI-P yang sezaman Golkar ketika ia masih PDI,” jelas Prof Qasim Mathar menambahkan.

Berdasar fakta sejarah itu, Prof Qasim Mathar menduga mayoritas rakyat Indonesia lebih tertarik pada partai sekular. Kalau pun ke partai Islam, mereka lebih suka partai Islam yang moderat.

“Hemat saya, faktornya karena rakyat banyak, yang dalam pemilu menjadi sang mayoritas, lebih suka kepada parpol sekular. Dan, kalau parpol Islam, rakyat lebih suka kepada yang moderat.

Mengingatkan lagi, Prof Qasim Mathar, menilai kata kunci Cak Nur dalam konteks parpol Islam masih relevan tapi sudah diabaikan kebanyakan politisi muda Islam.

“Dalam konteks parpol Islam, Cak Nur sudah memberi kata kunci, Islam yes partai Islam No. Tesis itu dipakai oleh tokoh-tokoh HMI dulu untuk aktif di Golkar dan PDI-P, atau Demokrat. Tapi, sebagian anak-anak HMI milenial meninggalkan tesis Cak Nur. Akibatnya mereka selalu di pos oposisi, sementara rezim berjalan dan berganti secara reguler konstitusional,” jelas Prof Qasim Mathar.

“Tapi, maukah eks FPI mengikuti fatwa Cak Nur?” ujar Prof Qasim Mathar menambahkan.

Menanggapi uraian panjang Prof Qasim Mathar, pendetus Wali Wanua Taslim Arifin mengatakan, penting juga dicerna pada era ini seperti apa tafsir kita tentang tesis Cak Nur bahwa Islam yes partai Islam No.

“Bila tujuan sekelompok orang, atau sejumlah fikiran yang menyatu dalam keinginan untuk mengubah kehidupan atau karakter masyarakat, maka memang tidak cukup hanya melalui ajakan atau dakwah sebagaimana yang dihalalkan oleh Cak Nur dalam mengembangkan Islam,” jelas Taslim Arifin.

Menurut Taslim Arifin, Indonesia di-Islamkan bukan hanya melalui dakwah, melainkan juga dengan jalan lain yang sangat komplek yang menggambungkan seluruh kemungkinan yang membuat, baik para elite atau para bangsawan, kelompok menengah para cerdik cendikia dan para pelaku bisnis, dan juga rakyat jelata dalam menggantungkan harapanya ke arah yg lebih baik.

“Jadi saya menilai tafsiran ‘hitam putih’ terhadap tesis Cak Nur dapat menjadi jebakan idiologis yang dapat melemahkan perjuangan menuju peradaban yang diinginkan oleh Islam,” ujar Taslim Arifin.

Yang perlu diperhatikan oleh pemimpin Islam, menurut Taslim Arifin, adalah alat dan cakupan perjuangan.

“Sehingga yang perlu memperoleh perhatian bagi para pemimpin Islam adalah bahwa bukan berpolitik atau tidak berpolitik, melainkan metode perjuangan, alat perjuangan, dan cakupan perjuangan holistik dalam suatu sistem yang menetapkan negara sebagai alat pengendali, pengayom bagi bangsa menuju suatu tujuan peradaban yang lebih baik,” jelas Taslim Arifin.

“Partai partai politik yang diuraikan oleh Bung Qasim (Prof Qasim Mathar) memang mendatangkan perubahan dari sisi materi, jumlah nominal material yang diperoleh setiap individu, tetapi tidak melahirkan perubahan nilai-nilai kehidupan berbangsa,” kata Taslim Arifin menambahkan.

Kenyataannya, lanjut Taslim Arifin, “Kualitas akhlak dan daya juang bangsa dalam meraih peradaban yang lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang ditawarkan oleh peradaban materialistik, individualistik, dan rakus lingkungan hidup, tidak banyak berubah.”

Berdasar pada kenyataan tersebut, Taslim Arifin, menegaskan, hanya Islam yang sanggup melahirkan karakter suatu bangsa sanggup memberi alternatif budaya, dan suatu kualitas budaya yang lebih baik dalam mengurai berbagai kebuntuan budaya ultra sekuler yang menjebak tata kehidupan global dewasa ini.

“Berita dalam Al Quran juga banyak mengisahkan tentang perseteruan yang berkepanjangan antara budaya kerakusan material dengan segala ikutannya berhadapan dengan budaya kesantunan, kearifan, dan keadilan merupakan inti pedoman Islam dalam mewarnai kehidupan,” jelas Taslim Arifin.

Guru Besar Unhas di Fakultas MIPA, Prof Dr Tasrief Surungan, menilai, boleh jadi satu sisi pandangan Cak Nur, Islam Yes Partai Islam No, adalah untuk menghindarkan kelompok tertentu mengatasnamakan Islam.

“Boleh jadi ada kelompok yang memang Ikhlas, yang memang sungguh-sungguh memperjuangkan Islam, bukan mengatasnamakan. Kelompok yang terakhir ini layak mengusung tagline, Islam Yes Partai Islam Ye,” kata Prof Dr Tasrief Surungan.

Pernyataan Taslim Arifin segera ditimpal Prof Qasim Mathar. “Saya amat setuju dengan kalimat terakhir dari tulisan Bung TA (Taslim Arifin) di atas. Tapi adakah hal itu tampak pada para pejuang, jihadis, dai saat ini, khusus yang mengusung perjuangan politik?” ujar Prof Qasim Mathar.

“Saya hanya meminta melihat sejarah. Sejak sesudah Masyumi hingga saat ini, politisi Islam dan parpolnya hanya menjadi oposisi, yang hanya ‘menonton’ rezim-rezim dan presiden-presidennya berjalan bergantian secara reguler. Mustahil membangun pemerintahan langit di bumi,  pemerintahan itu mesti bernatural bumi,” jelas Prof Qasim Mathar menambahkan.

Atas tekad itu, lanjut Prof Qasim Mathar, Ruhollah Khomeini mungkin sudah berusaha mewujudkannya. Faktanya itulah Iran sekarang, yang menurut Prof Qasim Mathar, bersejajar dengan negara/bangsa lain yang duniawi.

“Maududi (Abu A’la Al Maududi) mungkin juga seperti itu. Tapi negara Maududi menjadi mimpi saja sampai beliau wafat. Banyak yang lain seperti itu, baik sebelum maupun sesudah Ruhollah Khomeini dan Maududi,” kata Prof Qasim Mathar.

“Tapi lebih realistik sultan dan khalifah Turki Usmani yang membranding diri dengan ‘Assulthan zhaliylullah fil ardhi’, Sultan adalah Bayangan Allah di dunia. Khilafah Usmani itu tetap berwatak bumi dan duniawi,” jelas Prof Qasim Mathar menambahkan.

Seiring dengan Islam yes partai Islam no dan turunannya, Prof Qasim Mathar menyebut Recep Tayyip Erdoğan mungkin juga sedang bermimpi untuk ‘back to Islam, setelah Mustafa Kemal Ataturk menggiring Khilafah Islam Turki ke watak negara dan politik yang sesungguhnya yaitu sekular

“Maka, yang baik yang tengah-tengah: negara dan politik yang sekular dan berkeadilan. Oke, Islam yes partai Islam no,” ujar Prof Qasim Mathar.

“Ringkasnya, kombinasi karakter antara Habibie dan Quraish Shihab ditambah Jenderal M Jusuf adalah bentuk untuh peradaban Islami yang tercerahkan. Kalau mau lebih lengkap Baharuddin Lopa, semua orang Bugis-Makassar. Eppa Sulapa,” tegas Taslim Arifin.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved