Klakson
Kesalehan
KESALEHAN seorang muslim dan muslimah tak diukur seberapa sering ia ke masjid beribadah. Sebab, seorang pencuri pun seringkali ke masjid, setidaknya
Abdul Karim
Anggota Majelis Demokrasi dan Humaniora (MDH) Sulsel
KESALEHAN seorang muslim dan muslimah tak diukur seberapa sering ia ke masjid beribadah.
Sebab, seorang pencuri pun seringkali ke masjid, setidaknya shalat Jumat.
Kesalehan pun tak ditimbang dari seberapa sering seseorang bolak-balik ke Tanah Suci untuk haji dan umrah.
Sebab tak sedikit koruptur sering menginjakkan kaki di kota suci itu.
Kesalehan seseorang barangkali tak diukur dari seberapa lama ia berkarat di sebuah ormas atau seproduktif bagaimana ia membentuk ormas.
Juga bukan dilihat dari seintensitas apa tubuhnya dibaluti busana muslim-muslimah.
Sebab nyatanya, pernah di suatu tempat seorang perempuan berbusana hijab jumbo dengan cadarnya berurusan dengan polisi lantaran ia kedapatan mencuri di sebuah toko grosir pangan.
Barang curiannya, ia sembunyikan di balik hijab jumbonya.
Di kantor polisi ia mengaku bukanlah muslimah taat.
Jubah, hijab jombo, dan cadarnya hanyalah kedok dan alat efektif menjalankan aksinya di beberapa tempat.
Di sini, busana menipu banyak orang.
Penampilan menipu mata orang banyak.
Bila kesalehan adalah ketaatan dan kesungguhan maka manusia sebagai mahluk dhaif tentu tak ada yang mampu menjalaninya dengan total--kecuali nabi dan rasul.
Taat total dan kesungguhan yang total, sungguhlah bukan perkara ringan.
Kita memang penting mengapresiasi bermunculannya sekolah-sekolah dengan label “Islam plus”, “berbasis Islam”, “anak saleh”, maraknya lomba anak saleh dan sejenisnya.
Namun kita pun prihatin, sebab di luar sana kesalehan (perilaku) tertimbun oleh keburukan akhlaq dalam merawat silaturahmi dan menjaga amanah.
Di sinilah seringkali kita terpeleset.
Semaunya saja kita dengki, atau dendam pada sesama.
Padahal, dengki dan dendam sungguh membawa bala pada diri sendiri--setidaknya penyakit fisik.
Maka tak heran kian hari inovasi medik terus bertumbuh dengan segala macam ragamnya.
Tetapi penyakit pun tak pernah redup-redup.
Di sini, kesalehan mengalami dekadensi.
Itulah karenanya, sepantasnya kita beragama tak boleh merawat kedengkian dan dendam.
Dan sejatinya kita beragama tanpa merendahkan peribadatan manusia lainnya.
Bisa jadi seorang pengemis jauh lebih bersungguh-sungguh beribadah dibanding seorang guru agama.
Bisa jadi seorang mantan narapidana jauh lebih taat beribadah lima waktu dibanding seorang sarjana lulusan IAIN.
Bisa jadi seorang mantan pencuri pertaubatannya jauh lebih total dibanding seorang da'i.
Sebuah kisah membuatku tertegun dari seorang rekan.
Di sebuah daerah yang kala itu sedang ramai dikunjuni para pencari nafkah--termasuk rekan saya.
Ia berkisah, di tanah rantau itu ia berjumpa dengan seorang pelacur berpengalaman.
Sang pelacur adalah korban perselingkuhan dari sang suami.
Ia frustrasi, saat tahu suaminya selingkuh.
Melacurkan dirilah ia.
Hingga saat itu, menurut rekan saya, sang pelacur seringkali melayani tamu sebanyak lebih 10 orang sehari-semalam.
Suatu hari, rekan saya berbincang santai dengannya.
Iseng-iseng, rekan saya bertanya bagaimana caranya sang pelacur ini membersihkan kemaluannya usai melayani tamu-tamunya.
"Saya selalu bertaharah atau istinja setiap usai melayani hidung belang atau setiap selesai buang hajat", katanya.
Ia begitu pandai berintinja.
Kita pantas malu dengan pelacur itu, sebab barangkali sebagian di antara kita masih tak tahu tata cara istinja' walau tiap saat kita merasa diri saleh.
Di sinilah masalahnya, keselehan kadang kala membuat orang jumawa seolah tiada dosa.(*)