Klakson
Masyarakat
Baliho itu terpajang ditempat ramai hingga di tempat sunyi yang saban hari dilintasi babi-babi liar, biawak tak bertuan hingga burung-burung hantu.
Abdul Karim
Penulis dan penggiat demokrasi
"MASYARAKAT", apa arti dan makna kata itu?
Tanyalah pada kandidat-kandidat bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota.
Dalam beberapa bulan terakhir, mereka tampaknya jauh lebih paham.
Dalam beberapa pekan ini kelihatannya mereka lebih mengerti tentang “masyarakat” dibanding sosiolog dan antropolog.
Baliho mereka dengan jumlah tak terkira setidaknya menjadi petunjuk bagi kita betapa pahamnya mereka tentang “masyarakat”.
Baliho itu terpajang ditempat ramai hingga di tempat sunyi yang saban hari dilintasi babi-babi liar, biawak tak bertuan hingga burung-burung hantu.
Semoga saja binatang-binatang itu tak menggelar aksi protes, sebab kalimat yang tertera di baligho-baligho itu tak satupun bertuliskan “untuk kesejahteraan binatang”.
Semuanya hanya bertuliskan tema-tema “untuk kesejahteraan masyarakat”.
Debat kandidat calon bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota pun menunjukkan betapa pahamnya mereka tentang “masyarakat”.
Narasinya tersurat dalam dokumen visi-misi mereka, dan tercakapkan dalam debat calon kepala daerah.
Begitu fasihnya mereka menyebut kata “masyarakat”.
Begitu runutnya rangkaian kalimat yang terlontar untuk membangun masyarakat.
Yang mereka utarakan konon adalah solusi.
Tetapi sayangnya akar masalah dilapis bawah hanya terdengar samar dibicarakan.
Namun ini bukanlah masalah serius.
Sebab itu terjadi sejak dulu.
Sejak Pilkada menjadi sesuatu yang turun-temurun.
Ada yang berbicara tentang pentingnya infrastruktur yang layak untuk kesejahteraan masyarakat, namun tak tahu sama sekali berapa jumlah jembatan rusak di daearahnya.
Ada yang bilang tentang keterpurukan ekonomi masyarakat, namun tak jelas sebab-musabab identitas keterpurukan itu.
Ada yang hendak membangun masjid di kampung-kampung untuk membangun kesalehan ummat.
Padahal, mungkin saja ummat di desa-desa lebih taat beribadah dibanding kaum-kaum lain.
Barangkali ummat di desa-desa lebih takut pada Tuhan dibanding puak-puak lain yang sering menyerobot hak-hak manusia lain.
Barangkali ini terdengar konyol, tetapi begitulah satu sisi wajah politik kita.
Kita menemukan begitu akrabnya lidah calon-calon pemimpin kita akan kata “masyarakat”.
Dan dalam keadaan tertentu, mereka bak misseanis (ratu adil).
Mereka datang laksana ratu adil membawa pesan dan harapan akan kebaikan hidup masyarakat melalui baliho hingga pelosok dan layar-layar medsos.
Di zaman kuno dulu, ratu adil turun di gunung-gunung, di pinggir laut luas, dan alam bebas lainnya.
Kini ratu adil turun melalui baliho dengan segala keindahannya.
Namun sayangnya, ratu adil di zaman Pilkada ini muncul di tengah perebutan kursi kekuasaan dengan segala modusnya.
Di luar dari itu, tentu kita semua berkeinginan kuat kepala daerah yang terpilih kelak bukan hanya pandai mengutarakan kesejahteraan masyarakat, tetapi memang mampu bertindak untuk membumikan itu tanpa membebani masyarakat.
Sebab kadangkala seorang kepala daerah saat kampanye mengaku mampu menyejahterahkan masyarakat, dan saat menjabat bukan lapangan pekerjaan yang ia ciptakan, tetapi ia memperbanyak objek retribusi dan menaikkan tarif retribusi yang telah ada sebelumnya.
Alasannya, untuk menaikkan PAD demi kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks ini, jelas masyarakat terbebani.
Sialnya, kesejahteraan itu tak pernah berwujud.
Kesejahteraan itu hanya ada di ujung lidah.
Lidah yang tak pernah merana.
Lidah yang bermanis-manis didepan massa dan di muka lensa kamera.(*)