Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Muhammad Sang Nabi Cinta

OPINI: Muhammad Sang Nabi Cinta oleh Syamsul Arif Galib Pengajar Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin

Penulis: CitizenReporter | Editor: Suryana Anas
Dok Pribadi
Syamsul Arif Galib Pengajar Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin 

OPINI oleh Syamsul Arif Galib Pengajar Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin / Founder Bersama Institute

Suatu ketika dikisahkan bahwa setiap kali Muhammad Sang Rasul terbangun di pagi hari, dalam perjalanannya ke mesjid selalu saja ditemukan kotoran manusia menghalangi jalannya.

Hampir begitu setiap hari. Rasulullah tahu siapa yang meletakkannya namun Rasulullah memilih bersabar.

Hingga pada suatu Subuh ketika Rasulullah tidak lagi menemukan kotoran tersebut, Rasulullah kemudian bertanya, ada apa gerangan hingga kotoran itu tak lagi ada.

Di saat diketahuinya bahwa orang yang selalu membawa kotoran itu ternyata sakit.

Rasulullah memutuskan mengunjungi Yahudi yang sakit tersebut. Bukan hanya mengunjunginya, Rasulullah bahkan ikut mendoakannya agar penyakitnya disembuhkan.

Sang Yahudi menangis tersedu. Orang yang selama ini dijahatinya justru menjadi orang yang pertama mengunjunginya di kala sakitnya.

Itu tentu bukan kisah satu-satunya bagaimana Nabi menunjukkan akhlak yang begitu mulia kepada orang yang begitu membecinya. Suatu ketika saat Nabi mengunjungi Tha’if, di sepanjang jalan orang-orang Tha’if justru melemparinya dengan kotoran dan batu.

Malaikat Jibril yang melihat perlakuan masyrakat Tha’if begitu marah hingga berkatalah ia kepada Nabi.

Jika Nabi mengizinkannya akan ditimpakannya masyarakat Tha’if itu sebuah gunung sebagai balasan atas perlakuannya terhadap Nabi.

Namun Nabi melarangnya dengan alasan bahwa mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Sebaliknya, Nabi justru mendoakan mereka.

Perilaku yang ditunjukkan Rasul pada dua kasus di atas adalah contoh nyata bagaimana ajaran Islam sesungguhnya.

Dan sebaik-baik contoh tentulah Rasulullah. Muhammad adalah sosok dengan tradisi kebijaksanaan yang luar biasa.

Laku pribadinya menunjukkan bahwa dirinya bukanlah sosok yang ingin dilayani. Dia tidak menyusahkan. Nabi tidak pernah mengajarkan ummatnya untuk membenci.

Yang dibenci adalah perilakunya. Namun Nabi tidak pernah membenci manusianya.

Dalam banyak kasus, Nabi selalu mengajak ummatnya untuk mau mendoakan penganiayanya dengan kebaikan dan kedamaian.

Jalur non kekerasan adalah jalan suci yang lahir dari sikap dan prilaku yang ditunjukkannya.

Begitulah adat kesopanan yang menjadikan banyak orang menjadi simpati atasnya.

Nabi Cinta Sebagai Nabi Cinta, Muhammad menunjukkan kecintaannya tidak hanya kepada ummat Islam namun juga dengan mereka yang berbeda iman.

Nabi membangun relasi yang baik dengan Yahudi dan Nasrani di Madinah.

Kecintaannnya akan kemanusiaan terlihat saat berkumpul dengan para sahabat lalu sekelompok Yahudi lewat dengan membawa mayat seorang Yahudi.

Nabi kemudian berdiri sebagai penghargaan. Salah seorang sahabat bertanya kenapa sang Rasul melakukan itu.

Sang Nabi menjawabnya dengan sebuah pertanyaan. Bukankah dia juga manusia? Jawaban itu menjadi penanda bahwa kemanusiaan adalah salah satu inti ajaran Rasulullah.

Nabi tidak hanya bertoleransi namun mengayomi, merangkul dan bahkan memberikan perlindungan.

Apa yang dilakukan Nabi melampui toleransi yang memiliki kecendrungan hanya pada pengakuan perbedaan.

Lebih dari itu, Seperti yang dituliskan oleh Craig Considine, dalam bukunya Muhammad Nabi Cinta (2018) seraya mengutip John Andrew Morrow yang menulis, The Covenants of the Prophet Muhammad, bahwa Nabiullah Muhammad adalah pembela utama keragaman.

Bagi Craig, apa yang dilakukan Nabi melebihi toleransi karena beliau justru merangkul perbedaan.

Hal itu terbukti dengan  pemberikan perlindungan kepada iman yang berbeda baik dari kelompok Kristen Najran atau Penganut Agama Yahudi Banu Janbah di Teluk Aqabah. Nabi melindungi kedua kelompok ini meski secara keimanan mereka berbeda.

Apa yang dilakukan Nabi ini adalah bentuk kompromi yang dilakukan Nabi dengan mereka yang berbeda iman dengannya.

Kompromi Nabi ini dalam dalam Bahasa Juan Cole, penulis buku, Muhammad: Prophet of Peace Amid the Clash of Empires,  adalah bentuk dari Social Compromise atau Kompromi sosial.

Bentuk kompromi ini sebagai lawan dari Theological Compromise (kompromi teologis).

Secara teologis Nabi tentu tidak akan setuju dengan pandangan tologis mereka, namun secara sosial, ada hal-hal yang dapat dikompromikan.

Nabi sebagai Suri Tauladan Dewasa ini, dalam kenyataannya, Nabi Muhammad adalah sosok yang banyak didiskusikan dan juga banyak disalahfahami.

Pun demikian oleh penganutnya sendiri. Nabi hanya dikenali melalui angka. Diingat tanggal kelahirannya, di usia berapa dirinya menjadi Rasul, di usia berapa Beliau kembali, berapa perang yang diikutinya, dan begitu banyak angka-angka lainya.

Pengenalan Nabi dengan angka seperti ini bukan tidak penting, namun Nabi bukanlah sekedar angka. Nabi adalah seorang suri tauladan.

Dia harus banyak dikisahkan. Terlalu banyak kisah kebaikan Nabi yang tidak terceritakan.

Detail-detail kisah itu terlupakan. Termasuk oleh ummatnya.

Padahal, pengetahuan dan pemahaman akan sikap dan pribadi Nabi selama hidupnya diyakini akan memunculkan model keberIslam yang penuh cinta kasih.

Pengenalan Nabi melalui kisah keteladanan menjadi sangat penting.

Hal itu membantu kita dalam membangun imajinasi dan gambaran yang tepat tentang Nabi Muhammad.

Annemarie Schimmel dalam bukunya, And Muhammad is His Massenger; The Veneration of the Prophet in Islamic Piety (1985) menulis dengan sangat apik tentang Nabiullah Muhammad dan bagaimana masyarakat memberikan penghormatan atasnya.

Bagi Schimmel, kebaikan hati dan cinta kasih Muhammad tertuju kepada semua mahluk.

Nabi mencintai anak-anak namun juga mencintai binatang.

Dalam ketiadaanya, Nabi tetap berusaha untuk membantu mereka yang membutuhkan.

Muhammad adalah contoh nyata atas apa yang dalam tradisi Katolik disebut Nihil habentes, Omnia possidentes (As having nothing, yet possesing all things)-Tak mempunyai apapun, namun memiliki segalanya.

Pada akhirnya, sebagai pendosa yang mendaku diri sebagai pengikutnya, sebaik-baik cara mengingatnya adalah dengan mendalami kisahnya dan mencoba mengikuti apa yang telah dicontohkan dalam kehidupannya.

Semoga dengan itu syafaat darinya dapat menjadi penyelamat untuk kita semua.

Mengutip sajak Ibnu Khaldun atas Nabi, “Berilah aku syafaatmu, karena yang kuharapkan secercah asa indah sebagai ganti segenap dosa maksiatku.” Allahumma sholli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala ali Muhammad.    

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved