PH Nelayan Kodingareng Diusir Oleh Penyidik Ditpolariud Polda Sulsel
Dalam siaran persnya, saat pemeriksaan berlangsung, dua orang penyidik mencerca pertanyaan kepada Suaib Pasang
Penulis: Muslimin Emba | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pendamping Hukum (PH) dari LBH Makassar dan nelayan Pulau Kodingareng, Suaib Pasang, dikabarkan mengalami tindakan intimidasi saat menghadiri undangan klarifikasi DitPolair Polda Sulsel.
Melalui siaran pers dari YLBHI, KontraS dan LBH Makassar, Jumat (2/10/2020) malam, kejadian itu berlangsung di ruang pemeriksaan Markas Dit Polariud Polda Sulsel, Kamis kemarin.
Dalam siaran persnya, saat pemeriksaan berlangsung, dua orang penyidik mencerca pertanyaan kepada Suaib Pasang dengan nada tinggi.
Sontak tim pendamping hukum yang mendampimgi Suaib, pun meminta penyidik agar tidak melakukan interogasi yang terkesan intimidatif.
Ketegangan pun berlangsung, hingga akhirnya, tim pendamping hukum Suaib Pasang diminta keluar dari ruangan pemeriskaan.
Kronologi
Kamis, 01 Oktober 2020, sekitar pukul 10.30 Wita, Nelayan Pulau Kodingareng Lompo, Suaib Pasang didampingi tim Pendamping Hukumnya dari LBH Makassar menghadiri undangan klarifikasi Dit Polairud Polda Sul-Sel.
Suaib Pasang mulai diperiksa pada pukul 10.49 Wita. Saat pemeriksaan berjalan, Suaib Pasang menceritakan bahwa dirinya mengalami kekerasan yang diduga pelakunya adalah oknum Polairud, yang terjadi pada tanggal 12 September 2020.
Suaib Pasang lalu dicerca pertanyaan dengan nada tinggi. Melihat itu, tim Pendamping Hukum meminta kepada Penyidik untuk tidak memeriksa dengan nada tinggi karena kliennya merasa tertekan.
Akan tetapi, Penyidik justru menegur Pendamping Hukum, bahkan memperingatkan akan mengeluarkan Pendamping Hukum dari ruangan pemeriksaan.
Memasuki pukul 11:45 Wita, pemeriksaan ditunda karena waktu Ishoma.
Pemeriksaan dilanjutkan pada pukul 13:33 Wita, belum cukup 30 menit, penyidik menanyakan terkait pemberitaan di media, yang memuat pernyataan dari Suaib Pasang mengenai penggeledahan salah satu rumah nelayan yang diduga dilakukan secara tidak sah.
Atas pertanyaan tersebut, Pendamping Hukum meminta penjelasan kepada Penyidik, mengenai hubungan pertanyaan itu dengan kasus yang sedang diperiksa saat itu.
Tetapi Penyidik malah membentak Pendamping Hukum dengan suara tinggi dan bersamaan dengan itu, penyidik memukul meja dan mengusir Pendamping Hukum keluar dari ruangan pemeriksaan.
Dua orang penyidik di dalam ruangan kemudian menarik baju Pendamping Hukum dan mendorongnya keluar ruangan.
Saat berada di luar ruangan, Pendamping Hukum langsung dikerumuni sekitar 10 orang anggota Polairud dan mendorongnya bahkan mencaci maki dengan bahasa senonoh, mengatakan "tai**so ini pengacara".
Suaib Pasang yang sedang diperiksa saat itu langsung mengalami tekanan psikologi, badan gemetar dan muka pucat.
Melihat keadaan kliennya, Pendamping Hukum meminta Penyidik agar menghentikan pemeriksaan karena terperiksa sudah berada dalam tekanan psikologi.
Akan tetapi, Penyidik tetap melanjutkan pemeriksaan. Dan salah satu polisi mendorong Pendamping Hukum, lalu menarik paksa Suaib Pasang yang sedang duduk pojok untuk menjalani pemeriksaan psikologi di klinik yang berjarak 100 meter dari tempat kejadian.
Saat berada di klinik, Pendamping Hukum hendak masuk mendampingi Suaib pada pemeriksaan di klinik.
Namun tidak diperkenankan masuk oleh aparat Polairud.
Sekitar 10 menit di dalam klinik, Suaib Pasang kemudian keluar dan kembali menjalani proses pemeriksaan yang didampingi oleh Pendamping Hukum.
Pemeriksaan tersebut hanya berjalan sekitar 20 menit, kemudian Penyidik mengakhiri pertanyaannya dan meminta Suaib Pasang untuk menandatangani hasil pemeriksaan.
Sekitar Pukul 15:00 Wita, Suaib Pasang bersama dengan tim Pendamping Hukumnya meninggalkan kantor Dit. Polairud Polda Sul-Sel.
Reaksi LBH Makassar, KontraS dan YLBHI
Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir menegaskan bahwa dalam peristiwa diatas, tidak ada alasan yang membenarkan tindakan Penyidik tersebut kepada nelayan yang sedang diperiksa, apalagi terhadap Pendamping Hukum.
"Peristiwa ini semakin menguatkan dugaan kami, bahwa sejak awal penegakan hukum terhadap Nelayan Pulau Kodingareng adalah upaya kriminalisasi dengan motif untuk menakut-nakuti nelayan yang sedang mempertahankan ruang hidupnya atau wilayah tangkap dari ancaman kerusakan akibat kegiatan tambang pasir laut oleh kapal Boskalis," kata Muhammad Haedir.
Sehingga kedepan, kami lanjut Muhammad Haedir meminta Kapolda Sulsel (Irjen Pol Merdisyam) untuk memastikan keamanan nelayan dan Pendamping Hukum dalam setiap pemeriksaan kasus ini, dengan melakukan pengawasan ketat pada setiap acara pemeriksaan.
Menyikapi peristiwa tersebut, Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee, turut mengecam sikap arogansi Penyidik terhadap Pendamping Hukum karena tindakan itu tidak dapat dibenarkan.
"Akses terhadap Pendamping Hukum bukan hanya akses fisik semata, melainkan penguatan secara psikologis kepada pihak yang didampingi. Arogansi tersebut menunjukkan relasi kuasa antara polisi dan masyarakat, sehingga nelayan atau Suaib Pasang akan selalu merasa tertekan dengan tindakan intimidatif Penyidik," kata Rivanlee.
Jika hal ini terus berlanjut, lanjut Ribanlee, potensi penyalahgunaan wewenang dan penganiayaan akan timbul.
"Oleh karena itu, kami menuntut Polda Sulsel untuk memanggil penyidik tersebut guna dimintai pertanggungjawabannya," tegasnya.
Sementara itu, Muhammad Isnur selaku Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan bahwa Pendamping Hukum dilindungi oleh UU Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Dimana bantuan hukum merupakan tanggung jawab negara sebagai wujud akses terhadap keadilan.
"Maka sesungguhnya Pendamping Hukum mengambil peran dan tanggung jawab negara dalam rangka menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia," ujar Muhammad Isnur.
Dengan demikian, tindakan Penyidik tersebut kata Muhammad Isnur telah merendahkan hak asasi manusia, juga melukai rasa keadilan masyarakat khususnya nelayan Pulau Kodingareng.
"Seharusnya Penyidik bersikap professional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kode etik profesi Polri sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri," terangnya.
Untuk itu, demi menghindari kejadian berulang, maka kami (YLBHI, KontraS dan LBH Makassar) menuntut Kapolda Sulsel Cq Propam Polda Sulsel untuk memanggil, memeriksa dan meminta pertanggung jawaban penyidik tersebut dan Direktur Polairud terkait peristiwa intimidatif yang dialami oleh nelayan dan Pendamping Hukumnya.
Penjelasan Dirpolair Polda Sulsel Kombes Pol Hery Wiyanto
Kombes Pol Hery Wiyanto yang dimintai penjelasan terkait adanya siaran pers yang menyebut adanya perilaku intimidasi yang dilakukan personel penyidiknya terhadap Suaib Pasang dan Pendamping Hukum LBH Makassar, membantah.
Menurutnya, apa yang terjadi hanyalah kesalah pahaman antara penyidik dan tim pendamping hukum Suaib Pasang.
"Kejadiannya tidak sampai begitu, penyidik polairud dan pendamping hukum Suaib Pasang yang diundang klarifikasi ada salah paham pada saat mengintrogasi lelaki (Suaib) Pasang warga Kodingareng. Tapi tidak sampai begitu ceritanya dan sudah di tengahi perwira di Gakkum," kata Hery Wiyanto.
Menurut, Hery, pemanggilan terhadap Suaib Pasang masih bersifat klarifikasi yang tampa pendamping hukum pun akan berjalan lancar.
"Sebenarnya ini hanya undangan klarifikasi dan belum projustitia karena masih dalam penyelidikan. Tidak didampingi pun juga nggak apa-apa, tapi karena yang akan diintrogasi minta di damping ya nggak ada masalah," tuturnya.