Curhat Nadiem Makarim Tak Pernah Dapat Pujian dari sang Ibu, Minta Dipuji Malah Diberi Jawaban Ini
Namun ternyata Nadiem Makarim tak pernah mendapat pujian dari orangtuanya dengan deretan prestasi yang berhasil diraihnya.
TRIBUN-TIMUR.COM-Dikenal sebagai orang sukses, mulai dari dirikan perusahaan start up GoJek hingga diangkat jadi Mendikbud, Nadiem Makarim rupanya jarang dipuji sang ibu.
Mendikbud Nadiem Makarim beberapa waktu lalu sempat 'curhat' tak pernah mendapatkan pujian dari orangtuanya.
Ayah Nadiem Makarim adalah Nono Anwar Makarim, seorang praktisi hukum yang hebat.
Sementera Ibunya adalah Atika Algadri, putri dari seorang perintis kemerdekaan Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Nadiem Makarim dalam acara Mata Najwa yang dipandu Najwa Shibab beberapa waktu lalu.
Di usia yang terbilang muda, Nadiem Makarim memiliki jabatan penting sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebelum ditunjuk menjadi Mendikbud, Nadiem Makarim telah lebih dulu meraih kesuksesan sebagai seorang pengusaha.
Nadiem Makarim sukses mendirikan perusahaan transportasi online Gojek.
Tak hanya itu, sejak kecil Nadiem Makarim juga dikenal berprestasi.
Namun ternyata Nadiem Makarim tak pernah mendapat pujian dari deretan prestasi yang berhasil diraihnya.

Suami Franka Franklin ini pun menceritakan kisah masa kecilnya yang tak pernah dipuji.
Kini Nadiem Makarim akhirnya mendapat pujian dari sang ibu setelah lakukan ini.
Tak banyak yang tahu jika sejak kecil Nadiem Makarim tak bisa membanggakan orangtuanya meskipun memiliki prestasi luar biasa.
Saat bisnis digitalnya semakin tersohor dan membuat publik semakin dipermudah dalam bertransportasi, hingga meraih pundi-pundi triliunan rupiah nyatanya tak juga membuat orangtuanya memuji dirinya.
• Unggah Foto di Instagram, Mendikbud Nadiem Makarim Ungkap Rasa Bangga dengan Tradisi Batik Indonesia
• Pandji Pragiwaksono Khawatirkan Mendikbud Nadiem Makarim, Orang Terbaik Dibebani Aspek Politik
• Ternyata Mendikbud Nadiem Makarim dan Franka Franklin Punya 3 Anak, Ada yang Masih Berusia 4 Bulan
"Waktu saya masih kecil itu jarang-jarang mendapat pujian dari orang tua, misalnya karena dapat angka yang baik atau ada prestasi atau apa pun itu," ungkapnya dikutip dari kanal Youtube Mata Najwa pada Sabtu (7/11/2019).
Merasa menjadi anak yang cukup pandai, Nadiem pun akhirnya menanyakan pada orang tuanya.
"Lama-lama waktu saya udah umur 20-an, saya mulai nanya karena saya kan lumayan oke lah angka-angka baik, prestasi lumayan masuk sekolah-sekolah yang baik,"tuturnya.
Najwa Shihab pun heran dengan prestasi yang dicapai ternyata Nadiem Makrim justru tak pernah dipuji orang tuannya.
"Nggak pernah dipuji?" tanya pemandu Najwa heran.
Merasa ingin segala usahanya diapresiasi akhirnya, Nadiem mengaku memberanikan diri untuk minta dipuji.
"Ini kapan mau dipujinya ya?" ungkap Nadiem kepada sang ibunda kala itu.
Sang ibunda pun diungkapkan Nadiem justru memberikan jawaban yang cukup membuatnya tak begitu paham.
"Buat apa dipuji emang kamu udah melayani negerimu begitu," ungkap Nadiem menirukan jawaban sang ibunda kala itu.
Kendati demikian kini akhirnya pria yang kini menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu mengaku telah memahami maksud ibunya.
Setelah kini berhasil mengabdi pada negeri, akhirnya Nadiem Makarim mendapatkan ungkapan bahwa kedua orang tuanya bangga dengan dirinya.
"Kata 'Saya bangga dengan dirimu' terucap," tutur Nadiem disambut tepuk tangan meriah.
Kakek Nadiem Makarim Perintis Kemerdekaan

Kakek Nadiem Makarim dari keluarga ibunya ternyata bukanlah orang sembarangan.
Ibu Nadiem Makarim, Atika Algadri adalah putri Hamid Algadri yang merupakan seorang pejuang perintis kemerdekaan Indonesia.
Dikutip dari Wikipedia, Hamid Algadri menjadi sosok yang berjasa dalam perundingan Linggarjati, perundingan Renville, hingga Konferensi Meja Bundar.
Tak hanya itu, Hamid Algadri juga adalah salah satu anggota parlemen pada masa awal berdirinya negara Republik Indonesia.
Hamid Algadri lahir di Pasuruan, 10 Juli 1912 akan tetapi sebenarnya dia dua tahun lebih tua, agar ia dapat dimasukkan ke sekolah dasar Belanda Europesche Lag School oleh ayahnya karena persyaratan umur.
Ayahnya Kapitein der Arabieren (Kepala masyarakat Arab) di Pasuruan, suatu kedudukan dalam tata kolonial, setara dengan Kapitein der Chinezen (Kepala Masyarakat Tionghoa).
Saat itu pemerintah Hindia Belanda meggolongkan penduduk di Indonesia sebagai orang Eropa (Europeanen),
Hamid Algadri menurut silsilah ayah berasal dari tanah Hadramaut di jazirah Arab dan dari garis keturunan ibu dari Malabar, India.
Ia menempuh pendidikan formal sekolah dasar ELS, sekolah menengah MULO dan AMS-A bagian klasik Barat, dan tahun 1936 sebagao mahasiswa Rechts Hoge School (Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia. Ia merupakan keturunan Arab pertama yang menuntut pelajaran di universitas.
Selagi mahasiswa dia bergabung dengan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang didirikan tahun 1934 oleh AR Baswedan (Menteri Muda Penerangan 1946-47).
Dengan PAI sebagai wadah, orang Arab ingin menjadi orang Indonesia dan menerima Sumpah Pemuda tahun 1928 yaitu satu Tanah Air, satu bangsa, satu bahasa ialah Indonesia.
Kemudian PAI menjelma sebagai parpol dan sebagai Partai Arab Indonesia bersikap Co (koperator atau kerja sama) terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Karier Politik
Kemudian, Hamid Algadri yang bekerja di Sekretariat Perdana Menteri dan sempat menemani rombongan rombongan PM Sjahrir di dalam KLB (Kereta Api Luar Biasa) dari Jakarta ke Yogyakarta akhir 1945.
Dalam KLB ikut pejabat tinggi RI seperti Prof. Djokosutono, Margono Djojohadikusumo, Didi Kartasasmita.
Ia lalu pindah pada Kementerian Luar Negeri, seterusnya sebagai Sekretaris Kementerian Penerangan sambil sekaligus jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Ketika Sjahrir jadi ketua badan Pekerja KNIP, Hamid dipanggilnya dari Pasuruan dan diberi tugas di Jakarta.
Sebagaimana waktu itu Soedjatmoko, Soedarpo, Soebadio Sastrosatomo disebut sebagai de jongens van Sjahrir (anak-anak Sjahrir). Hamid Algadri pun termasuk di dalamnya.
Pada masa muda, Hamid tinggal di Jalan Serang 13 Jakarta.
Hamid merupakan penasihat delegasi Indonesia dalam Perundingan Linggarjati dan Renville sehingga mengetahui informasi intern yang dapat dipakai oleh penulis dalam pekerjaannya sebagai komentator politik.
Setelah pemilu 1955 ia menjadi ketua fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam Konstituante yang bersidang di Bandung menyusun konstitusi baru.
Di sana dia menyuarakan sikap politik PSI yaitu tidak menyetujui pembentukan negara Islam di Indonesia dan setelah pembicaraan gagal dalam sidang Konstituante menyatakan setuju kembali ke UUD 1945 sebagai jalan alternatif mengatasi kemelut. Konstituante dibubarkan dan Presiden Soekarno mendekritkan kembali ke UUD 1945.
Bantu Kemerdekaan Tunisia dan Aljazair
Salah satu kegiatan Hamid ketika menjadi anggota parlemen ialah menjadi Sekjen Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Tunisia dan Aljazair.
Hamid diakui jasanya oleh negara-negara Afrika Utara dan memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia dan Aljazair.
Di dalam negeri dia dianugerahi Satya Lencana 1978 dan diakui sebagai Perintis Kemerdekaan. Setelah tiada lagi jadi anggota parlemen, dia aktif di bidang sosial, misalnya menjadi direktur Yayasan Dana Bantuan.
Meskipun bukan Kapitein der Arabieren seperti ayahnya, dia diakui secara tak resmi dalam lingkungan keturunan Arab sebagai "kepala suku". Pendapatnya sering diminta sebagai diterima sebagai pendapat "kepala suku" layaknya, termasuk oleh Presiden Soeharto.
Hamid Algadri pun meninggal dunia pada 25 Januari 1998 karena menderita kerapuhan tulang dan radang paru-paru.
Ia dikuburkan di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.(*)
Sebagian artikel ini telah tayang di Grid.ID dengan judul Berhasil Dirikan Gojek Berpenghasilan Triliunan, Nadiem Makarim Baru Dipuji Orangtuanya Setelah Menjadi Menteri