OPINI ASWAR HASAN
Dari Einstein Balik ke Al Gazali
Bagi Albert Einstein, "sains tanpa agama lumpuh atau timpang. Sedangkan agama tanpa sains buta."
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin
Albert Einstein pernah berkata: science without religion is lame, religion without science, is blind."
Artinya, bagi Einstein, "sains tanpa agama lumpuh atau timpang, agama tanpa sains buta."
Hal itu dinyatakannya kepada William Hermanns dalam sebuah wawancara bahwa "Tuhan adalah sebuah misteri. Tetapi sebuah misteri yang dapat dipahami.
Pernyataan Einstein tersebut menarik untuk disimak. Karena di dunia barat sendiri, tempat Einstein berkiprah, justru Tuhan oleh sebagian ilmuan dan filosof dianggap telah mati dan agama dinilai sebagai candu yang bisa membius masyarakat.
Sesungguhnya demikian juga dengan Einstein yang kerap menyatakan dirinya sebagai agnostik, namun menolak jika ia dianggap ateis.
Ia tidak percaya pada Tuhan mempribadi yang memperhatikan dirinya sendiri dengan nasib dan tindakan manusia, pandangan yang ia sebut naif.
Einstein juga menyatakan ia tidak percaya pada kehidupan setelah kematian.
• VIDEO: Gubernur Sulsel dan Pj Wali Kota Makassar Bawa Bantuan ke Pulau Terluar
Tuhan yang mempribadi pada abad 19 itulah yang dibunuh oleh Nietzche dari pikiran manusia.
Nietzche menganggap Tuhan hanyalah realitas subyektif dalam pikiran manusia atau khayalan manusia yang tidak hadir dalam realitas objektif.
Konsep Tuhan rasional telah menjadi lawan subur bagi Ateisme di dunia barat.
Maka, mereka pun bersetuju membunuh Tuhan.
Bahkan mereka ( Feurbach, Charles Darwin, Sigmun Freud, dan Karl Marx ) menegaskan, jika Tuhan belum mati, maka tugas manusia rasional untuk membunuhnya.
Meskipun demikian Voltaire, ilmuan Perancis, tidak setuju jika Tuhan dibunuh. Tuhan harus ada.
Jika Tuhan tidak ada, maka kita wajib menciptakannya. Dengan catatan Tuhan yang kita ciptakan itu, tidak boleh bertentangan dengan standar akal.
Hamid Fahmi Zarkasyi, cendekiawan muslim tercerahkan dari Gontor, menyimpulkan bahwa peradaban barat yang maju adalah peradaban tanpa agama (kitab suci), tanpa otoritas teologi alias peradaban tanpa Tuhan.
Barat adalah peradaban yang meninggalkan Tuhan dari dunia rasionalitas keilmuan.
Ilmuan pencerahan barat Immanuel Kant gagal menghadirkan Tuhan dalam filsafatnya. Kant gagal menemukan Tuhan, ia mengaku sering ke rumah ibadah, tetapi tidak masuk.
• Catat, Peserta SKB CPNS Parepare Sudah Bisa Cetak Kartu Ujian 8 Agustus 2020
Seumur hidup hanya dua kali masuk rumah ibadah yang diyakininya yaitu saat dibaptis dan saat menikah.
Bertuhan tanpa beragama
Filsafat dan sains di Barat adalah wilayah nonteologis yang bebas Tuhan. Tuhan berikut agama-Nya tidak ada hubungannya dengan ilmu di dunia empiris.
Tuhan hanya laksana mitologi dalam khayalan yang kemudian menjadikan nasib dunia Barat laksana sedang berjalan dalam ketiadaan yang tanpa batas.
Demikian keluhan Nietzche.
Meski pun demikian bagi Einstein Tuhan itu ada dan agama itu penting, namun Tuhan yang dia maksud tidaklah sebagaimana Tuhan dalam doktrin Agama di Barat yang ramai dipermasalahkan.
Einstein percaya bahwa masalah Tuhan adalah "yang paling sulit di dunia" sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawab "hanya dengan ya atau tidak.
Sebagai pemikir bebas, Einstein masih percaya Tuhan. Hanya saja landasan kepercayaannya itu, tidak dibangun di atas doktrin Agama.
Itulah mengapa ia menyebut dirinya sebagai agnostik.
Einstein mengkarakteristikkan dirinya sebagai "religius yang taat” dalam pengertian “emosi diri dalam penggalangan mistis.
Menurutnya, mistis itulah kekuatan segala seni dan sains sejati. "Emosi yang paling indah yang dapat kita alami adalah mistis.
• FOTO: SMAN 14 Makassar Selama Pandemi Corona Laksanakan Kelas Virtual
Itulah yang tak dapat kita tembus, tapi benar ada, memanifestasikan dirinya sebagai kebijaksanaan tertinggi dan keindahan yang paling bersinar, yang hanya dapat dipahami oleh fakultas kita yang membosankan dalam bentuknya yang paling primitif.
Dalam pengertian ini, menurut Einstein, ia menyatakan dirinya sebagai lelaki religius yang taat.
Ketaatan religius Einstein ternyata berangkat dari pengalaman emosional mistis.
Al Gazali telah menjawabnya
Pernyataan Einstein untuk tidak memisah sains dan agama, ternyata sekitar sembilan ratus tahun yang lalu, telah diformulasikan oleh Hojjatul Islam Imam Al Gazali (1058-1111).
Imam Al Gazali berkata: jika seseorang hanya menekuni ilmu nalar (ilmu umum) tanpa agama, maka ia menyia-nyiakan umurnya yang tak berguna di akhirat.
Sebaliknya, jika ia menekuni agama saja, maka ia tak mengerti agama selain kulitnya tanpa bisa memahami esensi atau hakekatnya.
Implikasinya lebih lanjut, Ilmu syariat takkan tercapai, kecuali dengan ilmu akal.
Sayangnya, Al Gazali banyak disalahpahami karena dianggap sebagai ulama tasawuf saja, yang hanya mengedepankan bagaimana pentingnya hati dan mengabaikan akal, lebih konsen menggeluti masalah spritualitas dan mengabaikan rasionalitas.
Khususnya Jika kita melihat Al Gazali yang hanya identik dengan karya Ihya Ulumuddin yang telah massif diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
• VIDEO: Relawan Banjir Bandang Luwu Utara Demo Penanganan Sampah di Pengungsian Meli
Padahal, jika kita menyimak dialektika berfikirnya, khususnya dengan membandingkan dan menyimak karya beliau yang lainnya, seperti; Mi`yar al-Ilm (standar pengukuran pengetahuan), Al-Qistas al-Mustaqim (tentang keseimbangan), Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (Tentang Logika) karya- karya beliau itu menggali ilmu- ilmu dengan rasionalitas yang tinggi.
Bahkan, kesalahpahaman itu semakin menjadi- jadi, ketika mempersepsi Al Gazali secara diametral tanpa dialektika ketika terpaku pada karyanya yang mengkritik/menentang para philosof (yang tepat sebenarnya adalah meluruskan) Tahafut al Falasifah
Hal itu pernah jadi heboh ketika kemudian dibalas oleh Ibnu Rusyd dengan bukunya yang berjudul Tahafut at Tahafut yang kemudian dianggap bantahan meluruskan kesesatan falsafahnya (Tahafut al Falasifahnya) Al Gazali.
Al Gazali sesungguhnya tidak menentang rasionalitas, yang kemudian menjadi fundamental value sistem berfikir kaum philosof, khususnya kaedah berpikir sebab akibat yang kini menjadi landasan empirisme yang positivistik ilmuan Barat.
Tetapi mengingatkan bahwa hukum sebab akibat yang empiris positivistik itu tidak bersifat mutlak.
Al Gazali bukan berarti menolak hukum kausalitas -sebab akibat-, tetapi melihatnya tidak berlaku secara mutlak.
Karena sebab akibat berlaku sesuai kehendak Tuhan. Al Gazali menerima hukum kausalitas di alam realitas sebagai hukum pengetahuan, sebagai sunnatullah dan kelaziman.
Sebab akibat adalah sesuatu yang saling berkaitan, tetapi tidak mutlak secara pasti.
Proses sebab akibat menurut Al Gazali, tergantung pada kehendak Tuhan.
Jadi, Tuhan hadir dalam proses sebab akibat itu, sementara oleh para Philosof ( Sains Barat) tidak melihat kehadiran Tuhan dalam proses itu.
• Catat, Peserta SKB CPNS Parepare Sudah Bisa Cetak Kartu Ujian 8 Agustus 2020
Sebab yang secara pasti membawa akibat itulah yang dikritik Al Gazali karena sebab utama (Ilmu Pengetahuan) adalah Tuhan.
Ada akibat yang tidak karena sebab, seperti kisah (fakta) Nabi Ibrahim yang tidak mengakibatkan ia terbakar disebabkan dibakar.
Sebaliknya ada akibat yang tidak karena sebab seperti Maryam (ibunda Isa al Masih) yang hamil dan melahirkan sebagai akibat tanpa sebab sebagai hukum kausalitas.
Itu membuktikan bahwa ada sesuatu (Tuhan) di balik sebab akibat tersebut dan boleh jadi, ini termasuk hal yang mistis menurut Einstein.
Sayangnya, Einstein tidak sempat mengecap pemikiran Al Gazali.
Tidak bisa kita bayangkan bagaimana hebohnya panggung dunia sains sekiranya Albert Einstein sempat membaca karya Al Gazali, lantas bersetuju sehingga Einstein pun beragama secara jelas, dan bukan sekadar percaya bahwa Tuhan itu ada.
Wallahu A'lam Bishawwabe.