OPINI PAKAR
Awas, Positif Rate Corona Sulsel 3 Kali Lebih Besar dari Standar Nasional, Ini Alarm Darurat
Tingginya PR ini indikasi tingkat penularan covid-19 di masyarakat sumber penularannya sudah tidak jelas dan tidak mengkluster.
Oleh: Ridwan Amiruddin
Ketua tim Konsultan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Sulsel, Guru Besar FKM Universitas Hasanuddin, Ketua Umum Persakmi Indonesia, dan Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Sulawesi Selatan
Bagaimana positif rate specimen yang diperiksa di Sulawesi Selatan (Sulsel)?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab karena ini adalah alarm tentang tingkat penularan covid-19 di masyarakat.
Standar terkendalinya covid-19 di suatu wilayah dari paramater surveilans ini dilihat dari tingkat positif rate specimen yang diperiksa dengan PCR.
Standar nasional Covid-19 terkendali bila positif ratenya di bawah 5%.
Sementara secara nasional positif rate (PR) sekitar 12% dan untuk Sulsel sekira 14%.
• Evi Masamba Nangis-nangis Ingin Jual Alphard Buat Bantu Korban Banjir di Masamba Luwu Utara, Minat?
• Kunjungan Pasien Turun, RSUD Padjonga Takalar Minta Warga Tak Khawatir Berobat
Kondisi ini adalah alarm darurat kesehatan masyarakat yang serius untuk ditindaklanjuti bahwa tingkat positif rate Sulsel sudah 3 kali lebih besar dari standar nasional yang dipersyaratkan sebagai terkendalinya covid-19.
Tingginya PR ini indikasi terhadap tingkat penularan covid-19 yang terjadi dimasyarakat sudah terjadi secara local transmission atau penularan komunitas sumber penularan sudah tidak jelas dan tidak mengkluster.
Dalam perkembangan penegakan diagnosis, termasuk covid-19 menjadi sangat penting.
Seseorang (X) yang sakit dan terdeteksi betul-betul sakit, hal ini biasa disebut sebagai "TRUE POSITIF" positif sesungguhnya.

Yaitu seseorang yang tanda dan gejalanya menderita suatu penyakit, misalnya covid-19 dan setelah didiagnosis dengan metode gold standar misalnya Polymerase Chain Reaction (PCR), hasilnya terkonfirmasi "POSITIF", maka si X, betul betul sedang sakit.
Bila tanda dan gejala yang dimiliki (Ispa) dan didukung hasil test PCR menyatakan positip, keadaan ini biasa disebut "kasus terkonfirmasi positip" sebagai positif sejati.
Tidak diragukan bahwa si X sedang menderita covid-19. Tentu kondisi ini yang sangat ideal dalam penegakan diagnosis.
Dalam pengukuran screening Covid-19 dengan pengukuran rapid test reaktif dan PCR positif, selanjutnya dapat dihitung berapa nilai sensitifitas sebuah pengukuran.
Sensitifitas itu maksudnya kepekaan atau kemampuan alat ukur untuk mendeteksi yang covid-19 benar-benar covid-19.
Semakin tinggi nilai ini semakin bagus alat ukur tersebut. Hingga kini PCR termasuk memiliki akurasi yang sangat baik untuk itu.
Itulah sebabnya semua pemeriksaan sampel atau specimen sekarang diharapkan menggunakan PCR.
Tentu disamping ke unggulannya, masih ada beberapa kelemahannya yaitu: relatif biaya pemeriksaan lebih mahal.
Bisa sampai 5 kali lipat dari pemeriksaan rapid test.
Waktu pemeriksaannya juga relatif lebih lama bisa 3-7 hari. Pengadaan mesin dan reagentnya juga tentu lebih mahal.
Kebalikan dari SENSIFITAS adalah SPECIFITAS.
Yang dimaksud adalah sebuah alat ukur yang mampu memisahkan yang sehat benar-benar sehat.
Seseorang yang tidak memiliki tanda dan gejala covid-19 (hasil rapid test nya tidak reaktif) dan hasil test swabnya (PCR) terkonfirmasi NEGATIF. maka sesungguhya yang bersangkutan benar-benar sedang tidak menderita Covid-19.
Semakin tinggi nilai specifitas sebuah alat ukur semakin banyak pula yang masuk dalam kategori sehat.
Sel berikutnya adalah tentang 'positif palsu'.
\Istilah ini diperuntukkan untuk menandai seseorang yang alat rapid testnya "REAKTIF", tetapi hasil test swab dengan PCR-nya terkonfirmasi negatif.
Dampak publik terhadap angka Positif Palsu adalah timbulnya kekhawatiran yang berlebihan pada kelompok yang reaktif sambil menunggu hasil lab PCR yang berkisar 5 hari.
Sementara Negatip Palsu itu menunjukkan tentang seseorang yang hasil rapid testnya tidak reaktif reaktif tetapi setelah di lakukan test swab PCR menunjukkan hasil positif.
Keadaan ini dapat berdampak pada perluasan penularan Covid-19.
Karena status Non Reaktif seseorang cenderung berperilaku tidak taat pada protokol kesehatan, karena merasa sehat.
Sementara dalam dirinya sedang berkembang virus corona sampai ditegakkannya diagnosis PCR yang memastikan seseorang tersebut positif Covid-19.
Semakin cepat pemeriksaan dilaksanakan, semakin cepat diagnosis ditegakkan, maka penularan akan lebih cepat terkendali.
Hal ini terbukti dengan testing yang dilakukan secara agressif mampu memberi kontribusi terhadap landainya kurva pandemik secara bermakna.
Jadi bila kita menginginkan pandemi ini selesai cepat, lakukan testing untuk memastikan Anda bukan penyebar covid-19 atau tertular covid-19.
Karena sesungguhnya covid-19 diawali dengan testing dan berakhir dengan testing.
Jadi dorongan untuk meningkatkan cakupan testing minimal 1% dari seluruh populasi terus digaungkan untuk memisahkan bahwa Anda sedang menderita Covid-19 atau Anda sehat-sehat saja.
Upaya maksimal pada situasi ini, tentu perketat implementasi protokol kesehatan diseluruh setting, pembatasan pergerakan atau PSBB.
Juga dukungan sarana penegakan protokol kesehatan harus menjadi perhatian seluruh pemda.
Menerapkan protokol kesehatan dengan konsepsi adaptasi kebiasaan baru tetap menjadi prioritas.
Makassar 15 Juli 2020
#Rasio itu terukur