Pakar HTN UMI: Putusan MA, Secara Konstitusional Keabsahan Presiden Jokowi Telah Final
Putusan MA yang mengabulkan gugatan pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno Rachmawati Soekarnoputri tersebut tidak memiliki implikasi.
Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: Hasriyani Latif
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar, Dr Fahri Bachmid membedah putusan Mahkamah Agung (MA) perihal gugatan uji materiil (jucial review) Pasal 3 ayat 7 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Kurso, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Menurut Fahri Bachmid, putusan MA yang mengabulkan gugatan pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno Rachmawati Soekarnoputri dan kawan-kawan tersebut tidak memiliki implikasi yuridis apapun terhadap kedudukan Jokowi-KH Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 lalu.
"Secara konstitusional keabsahan Presiden Jokowi telah final. Dan putusan MA ini tidak ada dampaknya sama sekali, karena secara teknis hukum memang beda,baik dari aspek yurisdiksi kewenangan antara MA dan MK maupun fungsionalisasi serta kepentingan peradilan dalam memutus perkara itu," tutur Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya, Selasa (7/7/2020).
Ia meminta semua pihak tenang dan tidak berpolemik atas dikabulkannya permohonan gugatan uji materiil Rachmawati dkk oleh MA tersebut.
Sebab, hasil sengketa Pilpres yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sudah final dan mengikat dan tidak ada upaya hukum apapun yang tersedia untuk mempersoalkannya lagi,
"Saya berpendapat persoalan ini harus kita dudukan secara hukum agar tidak terjadi kegaduhan-kegaduhan,atas tafsir serta opini yang keliru yang dikembangkan. Produk Putusan MK sudah menyelesaikan semua hal yang terkait dengan sengketa hasil Pilpres 2019. Kalau hari ini muncul putusan MA, itu tidak terkait dengan keabsahan Jokowi sebagai presiden," katanya.
Menurut Fahri, memang diberi kewenangan konstitusional untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU.
Disebutkan Fahri, putusan MA yang mengabulkan gugatan Rahmawati dkk yang didaftarkan pada 14 Mei 2019 lalu, itu tidak termasuk kasus konkrit terkait sengketa hasil Pilpres.
"Karena ini merupakan pengujian norma abstrak, bukan melakukan pengujian kasus kongkrit terkait sengketa hasil Pilpres 2019, itu merupakan hal yang biasa dalam sistem hukum nasional kita saat ini," jelas Fahri.
Jika gugatan Rachmawati dkk dikaitkan dengan sengketa hasil Pilpres, Fahri memaparkan, hal itu tidak tepat karena hasil sengketa Pilpres 2019 yang bersifat kongkrit sudah diadu melalui mekanisme ketatanegaraan dan proses ajudikasi yang bersifat imparial serta objektif oleh Mahkamah Kontitusi (MK).
Dengan demikian, kata dia, putusan MK bernomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 tentang Pilpres sudah final dan mengikat serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, itulah konsekuensi dari sistem demokrasi konstitusional dan negara hukum yang demokratis yang kita anut,
"Dengan demikian keabsahan dan legitimasi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH. Maaruf Amin adalah legitimasi yang mempunyai basis legal-konstitusional," papar Fahri Bachmid.
Fahri mengatakan, MA memiliki pendirian Yuridis dalam pertimbangan hukum terkait objek pengujian materiil yang dilayangkan Rachmawati dkk.
Pertimbangan hukum MA tentang hak uji materiil, tersebut adalah putusan MA tentang objek Hak Uji Materiil yaitu ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Tahun 2019 Tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, secara jelas menghilangkan syarat Presidential threshold sedikitnya 20 persen suara provinsi yang tersebar lebih (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
Oleh karenanya, norma Ketentuan tersebut tidak mempedomani norma ketentuan diatasnya yakni pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang merupakan norma yang disadur dari ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
