Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

24 Tahun Lalu, Presiden Soeharto Cabut Aturan Surat Bukti Kewarganegaraan bagi WNI Turunan Tionghoa

Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) pada tahun 19

Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Anita Kusuma Wardana
Istimewa
Pada hari ini, tepat 24 tahun lalu, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) pada 8 Juli 1996. 

TRIBUNTIMURWIKI.COM- Sebelum dikenal sebagai Kartu Tanda Pengenal (KTP), pada masa orde lama kartu tersebut diketahui pernah menjadi Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau SBKRI.

Surat tersebut merupakan bukti identitas yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warganegara Republik Indonesia.

Pada hari ini, tepat 24 tahun lalu, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56 Tahun 1996 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) pada 8 Juli 1996.

Walaupun demikian, SBKRI hanya diberikan kepada warga negara Indonesia keturunan, terutama keturunan Tionghoa dan keturunan India.

Kepemilikan SBKRI adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mengurus berbagai keperluan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), memasuki dunia pendidikan, permohonan paspor, pendaftaran Pemilihan Umum, sampai menikah dan meninggal dunia dan lain-lain.

Hal ini dianggap oleh banyak pihak sebagai perlakuan diskriminatif dan sejak Orde Reformasi telah dihapuskan, walaupun dalam praktiknya masih diterapkan di berbagai daerah.

Sejarah

Dasar hukum SBKRI adalah Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tentang "Kewarga-negaraan Republik Indonesia" yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman G.A. Maengkom dan disahkan oleh Presiden Soekarno.

Salah satu alasan utama yang selalu dikemukakan adalah bahwa kebijakan SBKRI merupakan konsekuensi dari klaim politik pemerintahan Mao Zedong bahwa semua orang Tionghoa di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah warga negara Republik Rakyat Tiongkok karena asas ius sanguinis (keturunan darah).

Kebijaksanaan itu kemudian ditindaklanjuti dengan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRT antara Chou En Lai dan Mr. Soenario pada 1955.

Dalam Pasal 12 Bab II Peraturan Pemerintah No 20/1959 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok disebutkan bahwa ada berbagai kelompok WNI yang dikelompokkan sebagai WNI tunggal atau mereka yang tidak diperkenankan untuk memilih kewarganegaraan RI-RRT dan tetap menjadi WNI, yaitu untuk mereka yang berstatus misalnya tentara, veteran, pegawai pemerintah, yang pernah membela nama Republik Indonesia di dunia Internasional, petani atau bahkan secara implisit mereka yang sudah pernah ikut Pemilu 1955.

Tapi peraturan ini tidak dilaksanakan dan tetap saja perjanjian dwikewarganegaraan dengan kewajiban memilih kewarganegaraan RI atau RRT diterapkan kepada mereka.

Perjanjian Dwikewarganegaraan RI-RRT ini yang dituangkan dalam UU No 2/1958 pada tanggal 11 Januari 1958 dan diimplementasikan dengan PP No 20/1959 dengan masa opsi 20 Januari 1960 hingga 20 Januari 1962, sudah menyelesaikan permasalahan dwikewarganegaraan RI-RRT.

Dengan demikian, setelah perjanjian dwikewarganegaraan tersebut dibatalkan pada 10 April 1969 dengan UU No 4/1969, permasalahan status WNI Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang setelah dewasa tidak diperbolehkan lagi untuk memilih kewarganegaraan lain-selain kewarganegaraan Indonesia (Penjelasan Umum UU No 4/1969) dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraan dengan SBKRI.

Sehingga, pada tanggal 8 Juli 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved