Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Sosok Jenderal Hoegeng, Satu-satunya Polisi Jujur bagi Gus Dur, Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Bagi Gus Dur, ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng

Penulis: Nur Fajriani R | Editor: Anita Kusuma Wardana
Istimewa
ILUSTRASI-Sosok Jenderal Hoegeng yang disebut Gus Dur satu-satunya polisi jujur 

Ayahnya, seorang nasionalis yang “sombong” kepada Belanda. Tidak mau memohon-mohon ketika anaknya mendaftar. Ini menyebabkan anaknya menemui banyak rintangan.

Akhirnya Hoegeng menjadi siswa Rechts Hoge School (RHS) di Batavia dengan tidak melepaskan cita-citanya untuk meneruskan ke Kursus Komisaris Polisi, bila dari RHS nanti sudah menggondol titel Meester in de Sechten.

Tapi cuma dua tahun Hoegeng bersekolah di Batavia, sebab pada tahun 1942 Jepang masuk. RHS itu ditutup.

Ia menganggur. Selama periode tak bersekolah ini yang berlangsung kira-kira tiga bulan, Hoegeng mencari duit.

Keliling ke Pati, Pekalongan, Semarang, dan sekitarnya menjual buku-buku pelajaran bahasa Jepang.

Selama masa itu sempat pula ia bekerja sebagai penyiar pada radio Semarang, meskipun cuma beberapa hari.

Hingga akhirnya pada suatu hari keluar suatu pengumuman. Jepang membuka kursus-kursus Inspektur Polisi di beberapa kota, antara lain di Pekalongan.

Tujuan Jepang ialah membentuk polisi-polisi baru untuk menggantikan polisi-polisi Belanda yang semua sudah diinternir.

Hoegeng mendaftar. Bersama 180 pemuda di kotanya, ia mengikuti tes masuk.

Hanya sebelas yang lulus, ia ikut beruntung. Maka pada tahun 1942 itu mulailah calon Pangak ini untuk pertama kali menjalani pendidikan kepolisian.

Sebetulnya hampir saja Pak Hoegeng batal menjadi polisi. Ini karena dongkolnya pada si Jepang pimpinan sekolah kepolisian yang selalu membohongi siswanya.

Dalam pengumuman dijanjikan siswa-siswa akan mendapat pangkat Nitto Keibu (Inspektur Polisi). Tapi waktu lulus ternyata cuma Nitto Torrisjemari Djunsa (Abripda).

Malah sesudah mendapat pendidikan tambahan satu tahun lagi di Sekolah Hop Agen di Sukabumi, Jawa Barat, cuma naik jadi Junsabutyo (Brigadir Polisi).

Kepala siswa-siwa digunduli licin waktu di Sukabumi itu, seragamya berwarna kelabu model jas tutup. “Persis macam gelatik,” kata Pak Hoegeng.

Bermacam-macam ulah dilakukan Pak Hoegeng untuk bisa dikeluarkan dari sekolah. Sebab untuk minta keluar sendiri, bisa dianggap “menghina Kaisar”. Ini berat hukumannya.

Akal Hoegeng: kalau instrukturnya bertanya, “Tahu apa itu Perang Asia Timur Raya di Bougainville?”

Dia menjawab, “Tahu, tuan, tahu. Itu nama bunga yang bagus.” Bila ditanya “Apa itu Perang Boxer?”

Jawabnya, “Oh, itu pemberontakan kaum petinju di Tiongkok.” Jawaban-jawaban yang konyol itu tentu saja membuat si guru sering naik pitam.

Keluarlah makian yang tak jarang dibarengi kemplangan kepala. Tapi anehnya, Pak Hoegeng selalu lulus.

“Malah waktu di Sukabumi saya mendapat ijazah istimewa,” kata Pak Hoegeng. Rupanya atasan sudah menetapkan siapa-siapa yang harus lulus, meskipun “bodoh”.

Akhir tahun 1945, Pak Hoegeng yang baru saja meletakkan jabatannya sebagai Kepala Polisi Seksi II Djombang, sedang “cuti” ke rumah orangtuanya di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana ia bertemu Komodor Natsir, orang kedua dalam ALRI.

Ia ditanya apakah sedang menganggur, lalu ditawari untuk masuk ALRI. Meski Hoegeng sudah mengatakan bahwa pendidikannya kepolisian, tapi Natsir tetapi menawari bahwa Hoegeng bisa membantu membentuk Polisi Laut.

Di ALRI pangkatnya menjadi Mayor. Tapi pangkat Mayor itu cuma bertahan lima bulan. Kedatangan Pak Kanto (Sukamto Tjokrodiatmodjo), Kepala Kepolisian yang pertama ke Yogya, menamatkan semuanya.

Ia menyuruh Hoegeng datang ke kantor menghadapnya dengan menggunakan seragam Mayor ALRI-nya. Seragam itu memang membuat Hoegeng yang sombong terlihat gagah. Serba putih, pakai pedang, tiga strip emas di pundak.

Suara Kepala Polisi Negara menggelegar menegurnya, “Apa kamu tidak malu berpakaian begini, hah. Kamu kan pendidikan kepolisian. Tidak malu hah.”

Terkejut hati Hoegeng menerima apa yang tidak diduganya. Tapi perlahan-lahan ia menunduk, mengerti maksud kata-kata “bekas” Komandannya.

Pak Kanto kemudian menyuruhnya pulang, tidak mengatakan apa-apa lagi.

Hoegeng sendiri setibanya di rumah, kemudian menanggalkan seragam itu dan menyatakan pada Komodor Natsir minta berhenti dari jabatan Komandan Tentara Polisi Laut.

*) Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Juni 1969, dengan judul asli Panglima AKRI: Komdjenpol Drs. Hoegeng Iman Santosa. Ditulis oleh Edward Linggar G.

Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Diusulkan Jateng Jadi Pahlawan Nasional, Ini Sosok Jenderal Hoegeng yang Disebut Jujur oleh Gus Dur

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved