Wabah Covid 19
Pakar HTN Fahri Bachmid Sebut Pilkada 9 Desember Tidak Urgen
Menurut Fahri Bachmid, tidak tepat dan kondusif jika gelaran pesta demokrasi lokal itu dipaksakan di tengah pandemi Corona
Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: Imam Wahyudi
"Idelanya keputusan itu harus dibangun berdasarkan hasil kajian yang yang cermat, hati-hati, dan komprehensif serta memiliki basis analisis keilmuan “scientific” yang memadai dengan melibatkan berbagai pakar dan ahli “ekspert” virologi yang dapat memastikan tingkat resiko penularan serta persebaran Covid-19 sampai dengan bulan Desember 2020.
Secara mitigatif sehingga sampai pada kesimpulan ini, jangan sampai Negara dianggap melakukan “By Omission/pembiaran” dan jika itu yang terjadi maka secara hukum sebagai konsekuensi dari sebuah negara demokrasi konstitusional, sangat potensial berbagai keteledoran itu akan digugat ke Pengadilan melalui sarana hukum yang tersedia atas produk kebijakan yang dinilai abai terhadap aspek kesehatan masyarakat,ini jangan sampai terjadi," ujarnya.
Menurut Fahri Bachmid, tidak boleh ada korban nyawa manusia yang sia-sia karena terkena virus Covid-19 dari pemungutan suara serentak itu.
Ini menjadi penting dan esensial agar masyarakat dapat memahami hakikat dari keputusan yang sangat penting dan strategis itu yang telah diambil Pemerintah, DPR dan KPU tersebut.
Menurutnya, jangan sampai kesepakatan serta keputusan politik yang diambil mengabaikan spirit konstitusi yang pada hakikatnya dimaksudkan untuk melindungi warga negara, sebagaimana terdapat didalam dokumen prembule/pembukaan UUD NRI Tahun 1945, sebagai “staatsfundamental norm” yang mengatakan bahwa “...Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia,yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,.."
Hal ini merupakan konsekuensi yuridis dan politik perjanjian luhur berdirinya sebuah bangsa dan NKRI sebagai Organisasi Kekuasaan.
Dengan demikian, lanjut dia, negara mempunyai tanggung jawab konstitusional secara absolut untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Gambaran meta-norma pada preambule di atas sejalan dengan doktrin Cicero Filsuf kebangsaan Italia yang telah diterima secara universal bahwa “keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara “Salus populi suprema lex esto”
"Pada prinsipnya spirit konstitusional itulah yang harus menjadi “guidance”dalam merumuskan kebijakan negara sampai pada level yang sektoral sifatnya, termasuk kebijakan pelaksanaan Pilkada 2020 dengan eksplanasinya," katanya.
Menurut Fahri, jika Pilkada ditunda sampai dengan tahun 2021 maka dapat dipastikan tidak ada persoalan serta implikasi yang bersifat ketatanegaraan maupun teknis administrasi dalam urusan penyelengaraan Pemerintahan yang melibatkan 270 daerah itu.
Sebab, kata dia, hal itu berdasarkan instrumen hukum sesuai UU RI No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas UU RI No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi undang-undang, khususnya ketentuan pasal 201 ayat (10) dan (11).
Pasal 201 ayat (10) dan (11) telah mengatur dengan cukup baik, yang rumusannya mengatur : “untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, serta “untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/walikota, diangkat penjabat bupati/walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
"Artinya UU telah menyediakan pranata penyelesaiannya jika keadaan habis masa jabatan kepala daerah, dan tidak akan pernah ada kekosongan kekuasaan di daerah," katanya.
Disebutkan Fahri, Presiden sebagai Kepala Negara telah diberikan atribusi kekuasaan oleh hukum untuk menyelesaikan permasalahan dan urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU RI No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan pasal 7 ayat (2).
Pasal 7 ayat (2), menjelaskan bahwa presiden memegang tanggungjawab akhir atas penyelenggaraan urusan pelaksanaan pemerintahan pusat dan daerah.