Tau Manusia Bugis
Buku 'Tau, Manusia Bugis': Istilah dan Konsep Sehat Orang Bugis
Subbab itu berjudul Konsep Sehat, Sakit dan Mati Orang Bugis (Majjappa-jappa, Lasa Na Amateng To Ogi)
TRIBUN-TIMUR.COM - Pengantar redaksi:
Artikel ini merupakan bagian dari subbab sebuah buku berjudul Tau, Manusia Bugis yang ditulis antropolog, Halilintar Lathief.
Subbab itu berjudul Konsep Sehat, Sakit dan Mati Orang Bugis (Majjappa-jappa, Lasa Na Amateng To Ogi)
Rencananya, buku itu dijadwalkan terbit pada Maret 2020 lalu oleh penerbit Padat Daya di Yogyakarta, namun tertunda karena pandemi Virus Corona atau Covid-19.
Artikel disajikan secara bersambung dalam beberapa kali penayangan melalui Tribun-Timur.com.
---
“. . . mauni cappu muna mautona mallajang maneng riasengnge rupa doi, iyakkeppaha naisaaheri alakara-e narekko pada makjappa-jappa muwannengi marana mallabini” (kendati pun akan habis, walaupun melayang semua yang namanya uang, bahkan ludes seluruh harta benda, asalkan kita sekeluarga tetap sehat walafiat).
Kutipan kalimat nasehat Bugis diatas mencerminkan bahwa kesehatan dipandang memiliki arti melebihi dari harta benda.
Bahwa hidup sehat termasuk salah satu aspek yang diutamakan dalam kehidupan orang Bugis.
Sehari-hari selalu dijumpai bila dua orang yang bertemu, sapaan pertama mereka adalah saling menanyakan kesehatan, termasuk kesehatan keluarga masing-masing.
Dapat dikatakan bahwa sudah sejak lama orang Bugis mengenal konsep “Sehat“ dan “Sakit”.
Telah menjadi kebiasaan yang berlaku secara umum di kalangan orang Bugis untuk saling menanyakan dan memberitakan keadaan kesehatan diri bersama keluarga masing-masing manakala mereka bersua, baik secara kebetulan maupun dalam kunjungan kekeluargaan.
Pertemuan dua orang Bugis atau lebih di pedesaan, selalu pula diakhiri dengan kata “kurru sumangek” yang bermakna dirgahayu atau semoga sehat sejahtera.
Sapaan penutup dalam surat menyurat orang Bugis pun selalu mendoakan dan menanyakan tentang kesehatan masing-masing. Contoh kalimat demikian adalah sebagai berikut:
“. . . sikunie riolo pabbirittaku ridik / Mamuare pada engkaki napakjappa-jappa puwangnge / Natapada sita paimeng / “ (sekianlah dahulu penyampaianku kepada anda. Semoga Tuhan memberi kesehatan kepada kita, sehingga kita semua (dapat) bersua kembali).”
Secara terminologi tampak bahwa istilah “sehat” itu identik dengan istilah bahasa daerah Bugis, yaitu makjappa-jappa.
Istilah makjappa-jappa tersebut dikenal sebagai suatu konsep kesehatan yang mengacu pada pengertian tentang situasi atau pun keadaan yang mencerminkan adanya keseimbangan organ-organ tuhuh manusia maupun jiwa manusia.
Persepsi masyarakat Bugis tentang sehat, dengan demikian bukan hanya terbatas pada kondisi stabil berkenaan dengan aspek jasmani, tetapi juga meliputi aspek rohani.
Dalam konteks pengertian ini, maka seseorang tidak dapat dikatakan sehat, kecuali apabila keadaan orang tersebut demikian stabil sehingga ia tidak mengalami, bahkan juga tidak merasakan adanya gangguan apa pun baik terhadap organ-organ tubuhnya maupun rohani atau kejiwaannya.
Selain istilah makjappa-jappa tersebut, masyarakat Bugis mengenal pula beberapa istilah lain yang mengacu pada konsep sehat, yaitu madeceng-deceng, malessi-lessi, serta macengke-cengke.
Secara harfiah istilah madeceng-deceng, berarti baik-baik saja (tidak ada gangguan kesehatan).
Adapun istilah malessi-lessi mengandung pengertian lebih kurang sama atau identik dengan istilah macengke-cengke, maksudnya mulai-menguat (tidak loyo; tidak sakit).
Apabila istilah-istilah tersebut disebut atau diucapkan tanpa perulangan, maka pengertiannya menjadi lain, yaitu sembuh dari suatu penyakit.
Misalnya, makjappa adalah istilah bahasa Bugis mengacu pada konsep budaya yang mengandung pengertian tentang keadaan seseorang yang sudah sembuh dari penyakit yang pernah dideritanya.
Demikian pula istilah malessi dan macengkek mempunyai pengertian yang pada hakekatnya mencerminkan adanya keadaan seseorang yang sudah kuat kembali sesudah menderita penyakit.
Sebaliknya, istilah madeceng berarti menjadi baik lagi sesudah mengalami suatu gangguan penyakit.
Perlu ditegaskan bahwa istilah makjappa bukanlah semata-mata dikenakann khusus bagi makhluk manusia, tetapi dapat pula ditujukan pada makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tanaman.
Demikianlah, masyarakat Bugis di desa seringkali menyebut, misalnya makjappani ase, tanaman padi sudah sehat kembali sesudah terserang hama; makjappai paimeng tedongnge, kerbau itu sehat kembali sesudah terserang penyakit.
Sama halnya dengan istilah makjappa, istilah malessi pun dapat pula digunakanuntuk menyatakan keadaan hewan dan tanaman yang sudah menjadi kuat kembali, sesudah menderita serangan penyakit.
Adapun istilah macengkek dan madeceng, digunakan khusus untuk menyatakan keadaan makhluk manusia yang sudah sehat kembali sesudah menderita suatu jenis penyakit.
Istilah lain yang juga mengacu pada konsep kesembuhan dari suatu penyakit, ialah paja dan sau.
Istilah sau mengacu pada pengertian tentang suatu keadaan bahwa masyarakat Bugis di daerah Sulawesi Selatan sejak lama telah mengenal konsep budaya, berkenan dengan sehat, kendatipun konsep tersebut sulit diungkapkan dalam rumusan yang baku.
Jelasnya, masyarakat Bugis sebagaimana masyarakat lainnya adalah termasuk kesatuan sosiokultural dengan latar belakang pengetahuan budayanya sendiri yang unik serta spesifik.
Di samping konsep tentang sehat, orang Bugis mengenal konsep tentang sakit yang dicandera dengan berbagai istilah, antara lain seperti: malasa, madoko, malulokkong, makelo-kelo, dan malok (terluka).
Istilah tersebut mengacu pada konsep sakit yang berarti kondisi atau keadaan fisik maupun rohani seseorang yang sedang mengalami ketidak seimbangan.(bersambung)