Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Catatan di Kaki Langit

Covid-19 Serang Raga, Tapi Jiwa Ikut Sakit, Raga Bisa Aman Tapi Jiwa Telanjur Tersakiti Hoax Corona

tak sedikit orang jiwanya sudah sakit oleh berita tentang Covid-19. Cemas dan takut. Imbauan untuk tidak panik dan tetap tenang, didengar. Tapi, ...

Editor: AS Kambie
DOK TRIBUN TIMUR
Prof M Qasim Mathar, Cendekiawan Muslim 

Oleh
M Qasim Mathar
Cendekiawan Muslim

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Jiwa (ruhani) dan raga (jasmani) adalah dua bagian dari diri manusia. Manusia disebut sehat bila kedua bagian itu sehat.

Sehat jiwa dan raganya. Tidak ada yang mau, salah satunya saja yang sehat: jiwanya atau raganya saja. Covid 19 menyerang raga. Tapi jiwa ikut sakit. Bisa juga raga aman dari Covid-19, namun jiwa sudah sakit lebih duluan, karena pemberitaan tentang Covid-19 yang heboh dan simpang siur.

Kini, tak sedikit orang jiwanya sudah sakit oleh berita tentang Covid-19. Cemas dan takut. Himbauan untuk tidak panik dan tetap tenang, didengar. Tapi, bagaimana melakukannya, agar tidak panik dan tenang?

Obat dokter dan di apotik untuk mengobati raga yang sakit. Adakah juga di apotik dijual obat kecemasan dan ketakutan? "Obat penenang", kata orang. Berapa lama kemujarrabannya? Atau, sampai kita kembali lagi ke apotik untuk membeli obat penenang?

"Tapa" (bertapa) dilakukan orang Hindu untuk memurnikan dan memperkuat pengabdian kepada Tuhan, berlatih gaya hidup religius dan mendapatkan "moksha" (pembebasan spiritual).

Dengan "tapa" suburlah kesadaran tentang Tuhan. "Di dunia yang mengerikan ini satu-satunya juru selamat adalah "tapa" dan keteguhan hati (Atharwaweda XI.8.2). Covid-19, tidakkah ia mengerikan!

Semoga dengan "tapa" (pengekangan diri), kami mencapai usia panjang dan menjadi cerdas dengan mempelajari Weda. "Wahai manusia, perolehlah kekayaan dengan seratus tangan dan dermakanlah itu dalam ketulusan dengan seribu tanganmu". Begitulah "tapa" melepaskan pelakunya dari kecemasan dan ketiadaan harta.

"Brata" adalah janji luhur melaksanakan disiplin seperti berpuasa. Seorang yang melaksanakan "brata" akan memperoleh penyucian diri ("diksa"). "Brata" harus dilandasi dengan "sradhha" (keimanan) yang mantap. Keberadaan Tuhan dapat dirasakan melalui "brata".

Ingatlah (zikir) hal-hal yang dahulu dari sejak purbakala, bahwasanya Akulah Allah dan tiada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku; (Yesaya 46:9).

Ingatlah (zikir) kepada Taurat yang telah Kuperintahkan kepada Musa, hamba-Ku, di gunung Horeb untuk disampaikan kepada seluruh Israel, yakni ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum; (Maleakhi 4:4). Begitulah Tuhan mengajak "zikir" sejak masa purbakala. Untuk apa?

Perjanjian Baru pun menekankan "ingat" atau "zikir" bagi manusia. Perjamuan kudus dan kelahiran Yesus Kristus (Natal) pun merupakan sesuatu yang harus di-"zikir".

"Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: "Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi "peringatan" akan Aku." (Lukas 22:19).

Nabi Muhammad di dalam Alquran disebut sebagai "semata muzakkir (pemberi ingat)". Maka, Nabi Muhammad menyeru: berzikir kepada (mengingat dan menyebut) Allah niscaya akan menenteramkan jiwa. Selain sebagai "hudan" (petunjuk, pedoman), Alquran juga menyebut dirinya sebagai "syifa" yang berarti obat atau penawar.

"Tapa", "brata", "zikir", "semedi", "meditasi", "yoga" dan apa pun namanya yang lain..., jika itu semua mampu melepaskan kita dari cemas dan takut, khususnya keganasan Covid-19, maka lakukanlah! Semua itu adalah obat yang tidak ada di apotik dan toko obat.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved