Covid-19 dan Kuliah Online
Kita bisa menduga, meski kelas online sudah dijalankan oleh beberapa dosen, namun masih lebih banyak yang tidak terbiasa dengan sistem ini
Oleh: Arifuddin Balla
Dosen Tetap Institut Parahikma Indonesia
Pendidikan itu dinamis. Ia terus bergerak. Lebih tepatnya harus digerakkan mengikuti perkembangan zaman. Ia yang tidak dapat beradaptasi dengan perubahan akan tertinggal dan tertatih-tatih untuk kemudian tersingkir.
Kemunculan virus Covid-19 menguji kesiapan kita dalam begitu banyak hal, termasuk dalam pendidikan. Pada minggu pertama Maret, Unhas telah membuat keputusan untuk menutup kampus dan mengalihkan pembelajaran ke kelas daring, yang mungkin lebih dikenal dengan kelas online. UNM menyusul. UIN Alauddin, Institut Parahikma Indonesia dan kampus-kampus lainnya juga melakukan hal serupa. Kebijakan ini bukanlah pilihan tetapi keharusan. Keharusan untuk menyesuaikan.
Sebelum kampus-kampus di Indonesia mengalihkan perkuliahan offline ke online, kampus-kampus di Amerika Serikat telah mengubah perkuliahan ke kelas online. Begitu pula kampus-kampus negara lain. Tak sedikit profesor yang agak kerepotan dengan perubahan yang begitu cepat dan mengharuskan itu. Iya termasuk beberapa dosen atau profesor di Amerika Serikat yang selama ini terbiasa dengan kuliah tatap muka.
Saya dan beberapa teman saat kuliah di Amerika Serikat membayangkan betapa repotnya salah satu profesor kami yang tidak terlalu melek dengan teknologi.
Tetapi kami juga membincangkan betapa senangnya beberapa profesor kami yang lain memang melek teknologi. Padahal hampir semua, jika tidak semua, kampus-kampus di Amerika Serikat telah memiliki portal mahasiswa yang tidak sekadar untuk mengecek nilai atau mendaftar KRS, tetapi lebih dari itu.
Portal mahasiswa dengan beragam menu menjadi salah satu media belajar-mengajar. Tempat mengupload materi, referensi, memberikan tugas, memberikan evaluasi, dan memberikan nilai. Semuanya melalui portal. Saya juga sempat mengambil sebuah kelas online di kampus saya dan pembelajarannya melalui portal mahasiwa tersebut.
Bagaimana dengan di Indonesia di mana portal seringkali hanya digunakan untuk mengecek nilai dan mencetak KRS? Kita bisa menduga, meski kelas online sudah dijalankan oleh beberapa dosen, namun masih lebih banyak yang tidak terbiasa dengan sistem ini. Dan itulah yang terjadi, para dosen entah tua atau muda, yang selama ini tidak melek teknologi, kewalahan dengan perkuliahan sistem online.
Barangkali saya perlu bersyukur. Di kampus tempat saya mengajar, penguasaan terhadap teknologi alias online learning adalah salah satu hal yang sangat ditekankan baik kepada dosen maupun mahasiswa. Hal-hal seperti Corona yang mengharuskan perkuliahan daring sudah diantisipasi dengan sistem pembalajaran online. Syukurnya, secara berkala ada pelatihan penggunaan LMS (Learning Management System) kampus oleh para admin untuk para dosen.
Dan menjadi keuntungan sebab beberapa dosen adalah lulusan luar negeri yang memang terbiasa dengan perkuliahan online dan mereka dengan sendirinya membagikan ilmu dan pengalaman kepada dosen-dosen lain.
Sayangnya, penggunaaan atau persiapan dan antisipasi belajar online tidak semua menjadi perhatian kebanyakan kampus. Tentu sebab perkuliahan online hanya selalu dilihat sebagai jalan alternatif dan bagi beberapa dosen masih dilihat penggunaannya masih jauh ke depan. Beberapa di antaranya murni karena faktor kemauan saja. Faktor lainnya sebab kampus tidak sungguh serius menggunakan teknologi untuk pembelajaran online.
Akibatnya ketika situasi memaksa untuk kuliah online, tidak semua siap dengan perubahan yang begitu cepat itu. Bukan teknologinya yang tidak siap tetapi sumber daya manusianya, dalam hal ini para dosennya.
Teknologi dan aplikasi pembelajaran online tersedia begitu banyak di internet. Tetapi masalahnya orang yang berada di balik teknologi itu. Apakah ia mampu atau tidak memanfaatkannya? Menggunakan teknologi agar perkuliahan tidak terhenti dan menyerah pada keadaan karena virus corona ini.
Ketika Mas Menteri Nadiem Makarim menyebutkan akan menekankan pembelajaran pada teknologi, gelombang protes muncul karena mengira bahwa guru-guru nantinya akan digantikan oleh teknologi. Para guru atau dosen akan kehilangan panggung dan lama-lama akan kehilangan pekerjaan.
Kenyataannya teknologi bisa menjadi teman yang sangat membantu. Ia menjadi media yang menggantikan ruang-ruang kelas, menggantikan penggunaan spidol dan kertas, dan menggantikan absensi mahasiswa manusia. Dosen hanya membutuhkan wifi untuk berkoneksi dengan internet dan perkuliahan tetap berlangsung.