Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Covid-19, Luas, Massif, dan Lama?

Berdasarkan kondisi objektif tentang kecilnya dana Covid-19, rendahnya modal manusia dan modal sosial Indonesia akibat rendahnya layanan kesehatan

Editor: syakin
zoom-inlihat foto Covid-19, Luas, Massif, dan Lama?
dok tribun-Timur/fb
Prof Dr Anwar Arifin MA, Guru Besar Ilmu Komunikasi - mantan Anggota DPR RI

Oleh: Anwar Arifin
Guru Besar Ilmu Komunikasi - mantan Anggota DPR RI

Covid-19 atau virus Corona yang kini menyerang Indonesia, sangat mencemaskan dan mengkhawatirkan. Hal itu antara lain diungkapkan Gubernur Jakarta Anies Baswedan yang melihat pertambahan lebih seratus warga yang positif Corona setiap hari dan jumlah pertambahan warga yang meninggal.

Jubir pemerintah mengumumkan (31/3/20), positif Covid-19 bertambah 114 kasus menjadi 1528 kasus, dan bertambah 14 kasus kematian menjadi 136 kasus (sekitar 8%). Jika hal tersebut berlangsung terus, pasti tenaga medis akan kewalahan dan kesulitan alat pelindung diri.

Apalagi dana Covid-19 yang disediakan pemerintah relatif belum memdai, untuk wilayah Indonesia yang luas dengan penduduk sekitar 274 juta jiwa. Dana itu hanya sekitar 3,5% dari PDB 2020 yang sebesar 15.883,9 triliun. Australia misalnya mengalokasikan 10% PDB untuk penduduk yang terdampak Covid-19 dan Inggris 4% PDB untuk stimulus fiscal.

Modal Manusia

Indonesia memiliki angka kematian tertinggi di ASEAN, 102 kasus (sekitar 8%) dari 1.155 kasus yang dilaporkan 28 Maret 2020. Sedangkan Malaysia dengan 2.320 kasus, hanya 27 kasus meninggal, dan Filipina 1.075 kasus memiliki 68 kasus meninggal. Tampaknya daya tangkal rakyat Indonesia kurang prima.

Indonesia memang tidak memiliki ‘modal manusia’ yang kuat dan sejahtera, sehingga Indonesia, tak memiliki ‘modal sosial’ yang memadai, untuk menghadapi serangan virus Corona. Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim telah mengingatkan di Bali (11/10/18) bahwa Indeks Modal Manusia (IMM), berada di peringkat ke-87 (0,53) dari 188 negara yang masih dibawah rata-rata dunia (0,57), Bahkan IMM Indonesia masih dibawah Filipina (0,55), Tailand (0,60), Malaysia (0,62), Vietnam (0,67), dan Singapura (0,88). Dengan nilai 0,53 saja Indonesia hanya dapat menikmati 53% ekonomi dunia. Kim menyatakan, “Pemerintah Indonesia memiliki ‘pekejaan rumah’ untuk mengoktimalkan anggaran kesehatan dan pendidikan”.

Tingkat kecerdasan bangsa Indonesia, memng rata–rata IQ-nya hanya 82. Singapura sebagai bangsa tercedas di dunia rata – rata IQ-nya 108. Disusul Korea Selatan (106), Jepang (105), Cina (105), dan Taiwan (102). Kecerdasan sangat penting dalam menghadapi situasi gawat saat ini.

Tingkat kecerdasan yang rendah itu, karena mayoritas rakyat kekurangan gizi akibat kurang mengonsumsi susu, ikan, daging, dan telur.

Tahun 2017, konsumsi susu perkapita pertahun rakyat Indonesia hanya 6,50 liter, lebih rendah dari Kamboja yang 12, 97 liter dan Banglades yang 31,55 liter serta jauh di bawah India yang 60 liter perkapita pertahun. India sangat sukses melalui ‘revolusi putih’ yang digerakkannya.

Begitu juga bangsa Indonesia hanya mengonsumsi daging sekitar 7 (tujuh) kg perkapita pertahun, yang berarti di bawah Malaysia yang 48 kg dan Filipina jang 18 kg. Komsumsi telur perkapita pertahun takyat Indonesia hanya 51 butir, jauh di bawah Malaysia yang 297 butir. Sedangkan konsumsi ikan rakyat Indonesia juga sangat rendah yaitu hanya 26 kg perkapita pertahun. Jauh di bawah Jepang yang 70 kg dan di bawah Malaysia 26 kg perkapita pertahun. Jepang mencapai usia harapan hidup tertinggi di dunia.

Kurang Gizi

Rendahnya kualitas kesehatan mereka dipicu sejak bayi. Upaya menciptakan anak berkualitas harus sudah dilakukan pada 1.000 (seribu) hari pertama kehidupan (sejak janin terbentuk hingga berumur dua tahun). Hal itu terjadi secara struktural karena kekurangan gizi itu sudah dialami oleh orang tua mereka, sehingga siklus masalah gizi di tanah air terus berlanjut.

Tidak akan ada perbaikan kualitas manusia tanpa perbaikan gizi rakyatnya dan layanan kesehatan yang prima. Hal itu berdampak pada rendahnya jumlah orang yang mampu sampai pada jenjang pendidikan tinggi dengan mutu lulusan yang tinggi.

Rakyat Indonesia memang tidak mendapat awal hidup yang layak seperti: pendidikan, kesehatan, rumah, dan air bersih. Kini masih ada 11,25% (28,28 juta jiwa dengan penghasilan Rp 292,951 perkapita perbulan) berada di bawah garis kemiskinan (kemiskinan absolut). Bank Dunia (2014) mencatat, penduduk Indonesia yang berada sedikit di atas garis kemiskinan yang rentang jatuh miskin jumlahnya masih banyak, yaitu 65 juta orang. Bahkan jika memakai kriteria Bank Dunia yaitu 1,9 dolar AS (Rp 29.000) perkapita perhari, maka angka kemiskinan mungkin ada sekitar 100 juta jiwa. Kemiskinan di perkotaan tercatat 7,26% dengan rasio gini 0,404 (2017) dan tingkat melek huruf 97,53% (2016).

BPS juga merilis (16/1/2019) masih terdapat 25,67 juta orang (9,66%) yang mengalami kemiskinan (kronis, di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan perkapita perbulan Rp 312.328).

Jika menggunakan kriteria kemiskinan multidimensi, dengan menghitung kesehatan, pendidikan, dan standar hidup, maka angka kemiskinan multidimensi masih tinggi yaitu 29,3% atau 79,5 juta jiwa (19,3 juta rumah tangga).

Salah Urus

Berdasarkan kondisi objektif tentang kecilnya dana Covid-19, rendahnya modal manusia dan modal sosial Indonesia, akibat rendahnya layanan kesehatan dan pendidikan, serta tingginya angka kemiskinan multidimensi, wajar kita sangat cemas dan khawatir bahwa serangan Covid-19 akan meluas, massif, dan lama.

Hal itu mencerminkan bahwa selama ini Indonesia telah salah urus, karena telah melalaikan pembangunan manusia melalui layanan kesehatan prima dan pendidikan bermutu. Prioritas pembanguan modal manusia dan modal sosial, telah dicontohkan Jepang, Korsel, Taiwan, dan Singapura yang mampu menlawan Covid-19, dengan akan kematian, hanya sekitar 2% kasus meninggal.

Kelalaian terhadap pembanguna manusia itu, kini terasakan pahitnya. Pemerintah yang Dana Corvid-19 relatif kecil, terpaksa hanya memilih opsi pembatasan sosial berkala besar, sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pilihan itu dinilai bnayk pihak, akan kurang efektif memutus mata rantai penyeberan virus Corona. Indonesia akan mundur lagi, karena pertumbuhan ekonomi yang pernah 7%, turun ke 5,3% dan akan turun lagi menjadi 1,0%, akibat global Covid-19.

Realitas tersebut mengingatkan kita pada nasib Raja Korinthe dalam mitologi Yunani. Pendiri pesta olahraga Itmus itu terjerat amarah dewa. Ia kemudian dihukum mendorong batu besar ke atas bukit. Setiap kali akan sampai ke puncak, setiap kali batu itu menggelinding kembali. Pergulatan tiada akhir. (*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved