Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pendidikan Agama Berbasis Covid-19

Dalam kajian fikih Islam, kondisi keselamatan dari penularan wabah yang ganas dikategorikan dlarurah. Maksudnya keselamatan dan menghilangkan wabah.

Editor: syakin
handover
Afifuddin Harisah, Akademisi UIM/Pimpinan PP An Nahdlah Makassar 

Oleh: Afifuddin Harisah
Akademisi UIM/Pimpinan PP An Nahdlah Makassar

Secara spekulatif bisa dikatakan bahwa baru kali ini ada virus yang merepotkan negara-negara adidaya dan bikin panik manusia se-dunia. Bahaya Covid -19 atau populer disebut virus corona memang tidak main-main. Ribuan orang dalam hitungan akumulatif telah menemui ajalnya di berbagai belahan dunia.

Sebut saja di Wuhan Tiongkok, Italia, Spanyol, Amerika dan di Indonesia sendiri telah mencapai jumlah penderita positif yang signifikan bisa bikin kalang kabut seluruh rumah sakit di berbagai penjuru. Sekolah, kampus dan perkantoran, bahkan rumah ibadah, terpaksa harus diliburkan untuk menekan potensi penyebaran virus mematikan ini.

Ada fenomena yang cukup menuai perhatian, khususnya para penikmat media sosial, saat pemerintah dan tim kesehatan berupaya gigih menyelamatkan negara dari terjangan virus corona. Tidak sedikit warga masyarakat yang, entah paham masalah yang dihadapi atau memang menyepelekan, memperlihatkan sikap tidak kooperatif melindungi masyarakat dari penularan.

Imbauan, kalau tidak mau dibilang perintah, untuk tetap tinggal di rumah dan tidak berkumpul dalam keramaian diabaikan. Termasuk melakukan ibadah bersama (berjamaah) yang berpotensi saling menularkan antara satu sama lain. Repotnya, sebagian justru menolak dengan alasan agama dan balik menuding pemerintah cq MUI telah ‘salah besar’ dalam berfatwa.

Sangkaan buruk dan hate speech bermunculan bahwa ada kesengajaan untuk men-subordinasi mesjid. Namun yang patut disyukuri dari keresahan global efek covid 19 ini adalah peningkatan respon spiritualitas umat beragama pada G-spot kesadaran akan eksistensi ketuhanan di hadapan keterbatasan kuasa manusia.

Penganut agama semakin ingin mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyerahkan harapannya agar terlepas dari ancaman musuh yang sangat kecil dan tak terlihat, tetapi ganasnya luar biasa tersebut. Hal lain yang disyukuri, pengunjung tempat-tempat hiburan malam, kafe, bar karaoke dan bahkan tempat mesum berkurang drastis. Ternyata ketakutan kepada ‘makhluk gaib’ sebangsa corona dapat meminimalisasi kemaksiatan, dan mungkin bisa jadi lebih efektif dari orasi-orasi mimbar atau penggerebekan komunitas pembela syariat.

Pendidikan Akidah

Penulis menemukan adanya sisi-sisi edukatif, khususnya pada ranah pemahaman dan kesadaran beragama, sebagai impact dari fenomena munculnya covid-19 serta kebijakan antisipatifnya. Pada aspek akidah, fenomena virus corona ini memahamkan kita bagaimana mengambil sikap positif dan tawazun (keseimbangan) dalam menghadapi musibah wabah.

Umat beragama sejatinya tidak reaktif dan emosional mencari kambing hitam munculnya corona, dengan menyebut-nyebut pihak tertentu sebagai penyebab murka Allah, yang akhirnya mengirimkan ‘tentara-tentara’-Nya membinasakan manusia tanpa pandang bulu. Corona bukan kambing hitam dan bukan berasal dari kambing hitam, maka tidak perlu cari kambing hitamnya. Corona adalah penyebab penyakit yang diturunkan Allah, bersamaan itupula diturunkan penyebab kesembuhannnya. Sabda Rasulullah, “Berobatlah, karena setiap penyakit ada obatnya.”

Keseimbangan (tawazun) mengajarkan untuk tidak bersikap fatalistik (jabariyah), kepasrahan buta, merasa tidak perlu mengindahkan upaya dan anjuran agar terhindar dari wabah dengan anggapan segalanya ditentukan oleh Allah, padahal dia sendiri dalam hatinya tidak mau kena penyakit.

Seorang yang fatalis sejati, tidak sekedar berkata segalanya adalah kehendak Allah, tetapi dia pasrahkan dirinya untuk mendapat resiko yang terburuk sekalipun.

Fenomena covid-19 memberi kesadaran bahwa kesembuhan dan keselamatan tergantung pada dua hal, dan itu bukan opsi, yaitu doa harapan kepada Allah dan ikhtiar yang serius, sungguh-sungguh dan maksimal untuk terhindar atau sembuh dari penyakit. Memilih salah satunya dan mengabaikan yang lain adalah kebodohan akidah.

Fikih Dlarurah

Para ahli kesehatan telah ijma bahwa salah satu pemicu utama penyebaran virus corona adalah kontak fisik dan transmisi melalui cairan (droplet) yang keluar dari tubuh penderita, lewat batuk atau bersin. Kesimpulannya, penyebarannya sangat mudah dan orang-orang yang berkumpul di satu tempat sangat rentan terpapar.

Berkumpul ngobrol dalam jarak dekat, salaman dan cipika-cipiki, dan kontak fisik dalam bentuk apapun dipastikan berpotensi penularan. Oleh karena itu, pemerintah pun sigap melarang adanya kerumunan dan keramaianapapun dan di mana pun. Termasuk kegiatan ibadah yang mengumpulkan orang banyak di mesjid, gereja, pura, wihara dan lain-lain diimbau dengan tegas untuk dihindari.

Dalam kajian fikih Islam, kondisi keselamatan dari penularan wabah yang ganas dikategorikan dlarurah. Maksudnya keselamatan dan menghilangkan wabah virus adalah hal yang prinsipil, prioritas utama dan menyangkut jiwa manusia. Membiarkan potensi wabah mengganas dan meluas adalah mafsadah (mafasid).

Adapun shalat di mesjid adalah perbuatan yang utama (afdhaliyah), lebih banyak pahalanya dan bernuansa maslahat (kebaikan bagi pelakunya). Sama halnya shalat jum’at yang wajib dilaksanakan secara berjamaah, pun mengandung dua bilik hukum, wajib bagi penduduk mukim dan berkesempatan, dan tidak wajib bagi musafir dan memiliki uzur masyaqqah (kesulitan untuk menghadiri shalat jumat di mesjid).

Meski demikian, gugurnya kewajiban jumatan sama sekali tidak mengugurkan kewajiban shalat duhur. Pada prinsipnya, fenomena covid-19 menampilkan pilihan ijtihadi yang dilematis oleh para ulama. Fatwa ulama (MUI) mendidik kita untuk cerdas membaca situasi dan mengimplementasikan hukum fikih dalam konteks persoalan yang konkret.

Fatwa dibolehkannya penundaan shalat jumat dan diganti shalatduhur berjamaah bersama keluarga di rumah, dengan tujuan menghindari mafsadah yang mengancam keselamatan jiwa, akibat penularan virus corona adalah lebih penting dan prioritas dari pada pahala shalat di mesjid. Dalam fikih dlarurah, keselamatan dan kebutuhan mendesak jauh lebih prioritas dari memperoleh pahala yang bersifat afdhaliyah.

Fenomena covid-19 secara tidak langsung merupakan pendidikan dan pencerdasan bagi kita untuk lebih cerdas dan open minded dalam mengimplementasikan ajaran agama. Keharusan mencuci tangan dengan sabun dan hand sanitizer pada akhirnya mendidik kita bagaimana pentingnya kebersihan tubuh.

Nabi mengajarkan sunnah bersiwak setiap akan shalat, dapat dipahami bahwa jika gigi saja, yang hanya bersentuhan dengan makanan minuman yang bersih, harus selalu dibersihkan dengan siwak, apatah lagi tangan kita yang sering kelayapan ke mana-mana. Wallahua’lam. (*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved