Update Corona Sulsel
Mantan Sekjen HMI MPO Nilai Darurat Sipil Atasi Corona Bakal Timbulkan Masalah Baru
Mantan Sekjen HMI Najamuddin Arfah mendorong pemerintah segera melakukan karantina wilayah untuk mencegah penularan wabah corona
Penulis: Hasan Basri | Editor: Suryana Anas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR ---Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Najamuddin Arfah mendorong pemerintah segera melakukan karantina wilayah untuk mencegah penularan wabah virus corona.
Pasalnya, penyebaran virus mematikan itu semakin meluas dan jumlah korban yang terpapar semakin mengalami peningkatan.
Tercatat jumlah korban terpapar virus corona hingga Senin (31/3/2020), mencapai 1.414 orang dan 122 dinyatakan meninggal.
"Kami mendorong pemerintah melakukan karantina terbatas wilayah. Menutup akses ke luar dan masuk," kata Najamuddin Arfah.
Naja sapaan akrab mantan Sekjen HMI MPO ini mengatakan karantina wilayah sebagai salah satu langka positif untuk melindungi masyarakat dari wabah corona.
Jika pemerintah memutuskan untuk darurat sipil kata mahasiswa Pascasarjana Unhas ini justru akan menimbulkan masalah besar di tengah masyarakat.
"Memangnya rakyat mau memberontak? Rakyat butuh makan. Butuh ditenangkan. Menyuruh tinggal dirumah sendiri tapi tak ada jaminan hidup dari negara, kan konyol namanya," tegasnya.
Menurut Naja selama ini pemerintah hanya mengimbau kepada masyarakat tidak ke luar rumah, tapi tidak ada langka atau solusi konkrit yang fokus untuk memutus mata rantai penyebaran virus itu.
"Pemerintah tidak sigap dan siap. Pemerintah lebih memikirkan kondisi ekonomi dibanding keselamatan rakyatnya. Lihat saja misalnya untuk pemindahan ibukota baru cepat realisasi dan promosinya. Untuk covid terkesan lamban dan abai," Kata Naja.
Lebih jauh Ketua Prima Dewan Masjid Indonesia (DMI) bidang Ekonomi ini menjelaskan, dalam kondisi wabah yang terus meluas, pasal yang digunakan menurut UU Nomor 6 tahun 2018, setelah kebijakan pembatasan sosial berskala besar adalah karantina wilayah, tidak lompat ke darurat sipil.
"Mengherankan jika pasal yang disediakan oleh undang-undang ini diabaikan oleh pemerintah," ujarnya.
Selain itu, Naja menyebut jika darurat sipil itu merupakan aturan lama yang sempat akan diubah setelah reformasi 1998.
"Pasal 17 dalam perpu tersebut menyebutkan hak penguasa darurat sipil yang sangat otoriter, di antaranya kontrol terhadap semua alat komunikasi dan pemberitaan. Ini bahaya," tuturnya.
Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur:
Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur:
(*)