Covid 19: Negara Sigap atau Gagap
Dalam perspektif hukum jika negara keadaan darurat maka pemerintah diserahkan kewenangan untuk mengesampingkan hukum yang berlaku dalam keadaan normal
Oleh: Andry Mamonto
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia.
Dalam perspektif konstitusional, salah satu dimensi hak yang harusnya dijamin oleh negara ialah jamininan atas hak kesehatan. Bertalian dengan hak atas kesehatan saat ini Indonesia tidak sedang sehat-sehat saja karena kita semua dalam kondisi perang. Semua mahfum perang yang dialami Indonesia saat ini bukanlah perang biasa, karena perang saat ini kita melawan musuh yang tidak dapat kita jangkau secara kasat mata dan parahnya mereka (baca: Covid 19) dapat menyerang kita dari berbagai penjuru.
Oleh karenanya dalam perang ini kita mendudukkan para tenaga medis sebagai para prajurit terdepan melawan wabah epidemik yang telah menyerang kita kurang lebih 2 bulan lamanya. Merespon kondisi saat ini pemerintah terus berikhtiar untuk melawan musuh (Covid 19).
Sayangnya saat ini Indonesia tercatat sebagai negara dengan status negara paling tertinggi korban Covid 19 se-ASEAN. Tidak dapat dipungkiri sajian data yang menunjukan terus terjadinya peningkatan jumlah masyarakat terjangkit hingga korban telah mengundang reaksi kegaduhan publik. Hal yang sulit hindari bahwa kondisi saat ini juga telah memicu kondisi psikologis atas kecemasan penyebaran wabah epidemik berupa ‘stress’.
Belum lagi pemberitaan tentang tidak dibekalinya para prajurit (Baca: tenaga medis) dengan seluruh kebutuhan dalam melawan musuh Covid 19 misalnya alat pelindung diri menurukan kepercayaan publik terhadap kesigapan pemerintah melawan Covid 19.
Juga terdapat sejumlah kondisi tidak normal di masyarakat berupa rasa cemas tetapi akibat belum dikategorikan sebagai orang yang dapat menerima pelayanan pengecekan Covid-19 telah berimplikasi munculnya penyakit lain.
Tidak hanya itu, dalam keadaaan yang tidak normal juga memberikan rasa khawatir terkait dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan pangan terlebih lagi menjelang bulan suci Ramadhan, kita tidak pernah tahu sampai kapan kita berada dalam kondisi seperti ini.
Jamak dipahami dalam perspektif hukum tata negara bertalian dengan keadaan negara diperkenalkan dua keadaan yaitu: negara dalam keadaan biasa (ordinary condition) atau normal dan keadaan negara darurat (state of emergency) (Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi: 2007).
Jika dikorelasikan dengan keadaan negara Indonesia saat ini, kita berada dalam keadaan yang tidak diinginkan. Bahkan tidak berlebihan jika dikategorikan dalam keadaan luar biasa ditandai dengan diselimutinya Indonesia oleh pandemik Covid 19. Bahkan jika dilakukan jajak pendapat publik pun mungkin akan sepakat bahwa jika dilihat dalam perspektif ketatanegaraan saat ini, Indonesia dapat dikategorikan dalam keadaan darurat.
Jika pemerintah sepakat menetapkan Indonesia dalam keadaan darurat, ini bukanlah kali pertama. Dalam perspektif hukum jika negara dalam keadaan darurat maka pemerintah diserahkan kewenangan untuk mengesampingkan hukum yang berlaku dalam keadaan normal dengan tetap berdasar pada konstitusi.
Di Indonesia secara konstitusional (UUD NRI 1945) kewenangan penetapan kondisi negara dalam keadaan darurat disematkan kepada Presiden melalui Pasal 12 dan Pasal 22. Penggunaan Pasal 22 dalam konteks melawan wabah pandemik didasarkan pada potret ketentuan peraturan perundang-undangan yang saat ini tidak lagi mampu merespon kebutuhan publik, sebagaimana sabda Nonet dan Selznick bahwa hukum berorientasi pada tujuan yang akan dicapai (Nonet dan Selznick: 2003).
Sayangnya, ketentuan yang dijadikan dasar sejak 1959 hingga saat ini untuk menentapkan keadaan darurat (Perpu 23/1959) tidak merumuskan norma yang mengamanahkan bahwa wabah epidimik bagian dari keadaan bahaya.
Sehingga, meskipun oleh UUD NRI 1945 Presiden dibekali kewenangan menyatakan keadaan bahaya, akan tetapi bagi Presiden masih menemui jalan terjal untuk menetapkan keadaan Indonesia saat ini dalam keadaan bahaya dengan dasar diselimuti wabah epidemik.
Hukum yang selalu tertinggal demikianlah faktanya, ketertinggalan hukum semakin kompleks jika diperhadapkan pada keadaan negara yang tidak normal. Pada akhirnya kita semua akan mengaminkan pada keadaan negara yang sedang tidak normal memiliki norma hukum dan etika tersendiri.
Bahkan pada kondisi darurat kita dapat menerima pembatasan yang dilakukan terkait pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia, relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Mungkin ada yang bertanya jika pemerintah memilih opsi kebijakan memberlakukan lockdown, bukankah berpotensi melanggar hak konstitusional berupa hak ekonomi dikarenakan warga tidak dapat beraktifitas mencari dan menjalankan pekerjaan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya?