Covid-19, Mitigasi, dan Kemanusiaan
Para ilmuan sejak awal mengembangkan keilmuan komunikasi kesehatan untuk mengedukasi publik terutama yang berinteraksi dengan pelayanan kesehatan
Oleh: Firdaus Muhammad
Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar
“Nilai satu manusia setara dengan nilai manusia keseluruhan” demikian titah Nurcholish Madjid. Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta menyerukan menyelamatkan manusia lebih utama dari persoalan ekonomi. Ungkapan bijak itu patut direnungkan dalam menyikapi wabah covid 19 yang kini dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO.
Sejumlah peringatan pemerintah bahkan ulama, belum sepenuhnya diindahkan. Sejumlah tempat yang sejatinya diisolasi masih menumpuk antrean. Postingan di media sosial menunjukkan aktifitas masyarakat tidak banyak berubah pada hari-hari normal.
Menyikapi hal itu, pemerintah diharapkan lebih tegas mengedukasi masyarakat untuk lebih waspada, terutama di daerah-daerah rawan. Selain itu, keterbukaan informasi ihwal ancaman virus corona yang telah menyebar di Makassar dan sebagian wilayah di Sulawesi Selatan, perlu mitigasi awal yang lebih serius.
Sementara itu, sejumlah kampus semisal UIN Alauddin, Universitas Hasanuddin, Universitas Negeri Makassar, telah mengeluarkan edaran ihwal pemberhentian sejumlah kegiatan di kampus, terutama pelayanan mahasiswa dan akademik lainnya. Kebijakan serupa diikuti kampus-kampus lainnya. Upaya ini diyakini mampu memutus mata rantai penyebaran virus di kampus-kampus demi kemaslahatan masyarakat luas.
Kegiatan perkuliahan tetap dijalankan melalui kuliah online atau daring. Proses ini cukup efektif, baik perkuliahan berbasis teknologi maupun anjuran menetap di rumah diindahkan. Namun berbeda sebagian perilaku masyarakat yang tidak mengindahkan ajakan pemerintah melakukan physical distanding (menjaga jarak fisik yang aman) hingga mengisolasi diri dengan menetap di rumah bersama keluarga.
Mitigasi dan Komunikasi
Informasi di media sosial berseliweran memberi ketidakpastian, memicu kepanikan. Sebaliknya, sebagian abai, tidak terkecuali di warung-warung kopi, cafe, hingga pusat perbelanjaan, pasar tradisional condong abai. Tidak ada garansi bagi mereka, lebih karena kurang waspada sebab informasi yang diterimanya belum optimal.
Abainya sebagian masyarakat ihwal covid 19, akibat problem komunikasi birokrasi dalam memitigasi bencana dan dampaknya. Pemerintah diharapkan lebih tegas melakukan mitigasi, memberi peringatan pada masyarakat melalui instruksi birokratis hingga tingkat desa-kelurahan.
Sikap Wali Kota Bogor Bima Arya yang bicara ke publik ihwal dirinya positif terjangkit virus corona, tanpa kepanikan, turut memitigasi warganya. Berbeda dengan pengalaman miris seorang dokter di Makassar, sahabatku. Dia berjibaku dengan pasien yang kian bertambah memenuhi rumah sakit dengan kapasitas terbatas.
Sang dokter menilai pemerintah dianggap lambat dan tidak transparan, banyak kasus tapi sarana diagnostik belum massal. Kalau massal bisa menjaring banyak ODP sehingga segera diisolasi dan putus mata rantai penularannya. Tidak semua warga sadar isolasi diri.
Tampak adanya problem komunikasi, para ilmuan sejak awal mengembangkan keilmuan komunikasi kesehatan untuk mengedukasi publik terutama yang berinteraksi dengan pelayanan kesehatan dan pengambil kebijakan. Selain kepekaan membangun komunikasi risiko dan komunikasi krisis.
Pola komunikasi pemerintah melalui menteri kesehatan tidak edukatif. Perlu pertukaran informasi antara pihak otoritas, ahli, dan publik yang berisiko terpapar virus.
Penyebaran virus corona di Sulsel diprediksi meningkat tapi informasinya minim. Belum lagi perhatian terhadap keselamatan dokter yang menanganinya. Pemerintah diharapkan lebih antisipatif dengan memberikan penyuluhan dan pelayanan seperti tersedianya hand sanitizer dan penyemprotan di tempat-tempat umum.
Demikian halnya, pelayanan di rumah sakit yang makin membludak diharapkan mampu menjamin ketersediaan ruang dan proses pelayanan serta keselamatan, baik pasien maupun perawat, dan dokter.