Covid-19 dan Imunitas Tubuh
Pada kondisi ini, kaidah terbaik adalah berhati-hati. Sudah saatnya untuk tidak menganggap remeh Covid-19.
Oleh: Firzan Nainu
Tim Satgas Covid-19 Fakultas Farmasi UNHAS
SEJAK Covid-19 terdeteksi di Indonesia, masyarakat ramai memburu produk-produk yang diklaim mampu meningkatkan aktivitas sistem imun (imunostimulan). Produk-produk tersebut dipercaya mampu menangkal Covid-19 sehingga tidak jarang kita jumpai apotek yang kehabisan stok sediaan dengan indikasi seperti itu. Tapi apakah benar, produk-produk ini dapat menyelamatkan kita?
Melakukan berbagai upaya agar terhindar dari wabah adalah suatu keharusan. Namun, jika pada akhirnya terkena Covid-19, sistem imun lah harapan terbesar kita untuk selamat. Jika menilik data global yang tersedia saat ini (https://coronavirus.jhu.edu/map.html), persentase pasien yang dinyatakan sembuh adalah sekitar 24%.
Artinya, harapan untuk sembuh cukup tinggi. Namun apakah angka tersebut serta-merta diartikan sebagai keberhasilan sistem imun melawan virus corona jenis baru ini?
Pedang bermata dua
Pada Covid-19, infeksi dimulai ketika SARS-CoV2 berikatan dengan reseptor yang bernama angiotensin-converting enzyme (ACE) 2 dan dengan bantuan enzim TMPRSS2, virus ini kemudian masuk ke dalam sel. Saat ini proses infeksi SARS-CoV-2 belum dipahami sepenuhnya.
Namun, secara umum, virus corona akan melepaskan “isi partikel” berupa materi genetik RNA dan selanjutnya akan melakukan replikasi virus baru. Proses replikasi tersebut akan direspon oleh sistem imun intrinsik, salah satunya adalah RNA interference (RNAi). Aktivasi RNAi akan menyebabkan RNA virus menjadi rusak dan sel selamat dari kematian.
Ketika sistem imun intrinsik tidak dapat menangani, maka sel yang terinfeksi itu akan ‘dipaksa bunuh diri’ melalui proses yang disebut apoptosis. Sel mati tersebut akan dimakan oleh sel fagosit sebagai tindakan ‘bersih-bersih’ untuk mencegah virus bertambah banyak.
Selain memakan sel yang terinfeksi, sel fagosit juga memiliki peran yang sangat besar dalam membantu produksi antibodi oleh sel limfosit B melalui perantaraan sel limfosit T. Bahkan, jika proses di atas tidak terjadi dengan baik, proses pembentukan antibodi pun dapat mengalami gangguan.
Ibarat dua sisi mata uang, sistem imun juga memiliki sisi negatif. Pada banyak kasus infeksi, sistem imun bertanggungjawab dalam memperberat kondisi pasien. Gangguan organ akibat kematian sel secara massal dan badai sitokin (cytokine storm) pada penderita infeksi virus merupakan dua dari beberapa efek negatif aktivasi sistem imun.
Kejadian tersebut nyata terbukti pada beberapa penyakit infeksi oleh virus RNA, seperti misalnya kasus demam berdarah dengue dan infeksi influenza. Bahkan, pada tulisan korespondensi yang terbit di The Lancet pada 16 Maret 2020, Mehta dkk memperingatkan potensi badai sitokin yang mungkin terjadi pada pasien Covid-19.
Jika ini betul terjadi, alih-alih menyelamatkan, aktivitas sistem imun justru kemudian menyebabkan kematian. Suatu kondisi yang tentunya sangat tidak diinginkan.
Meningkatkan imunitas
Di dalam tubuh kita, jutaan sel sistem imun setiap saat diatur secara dinamis menggunakan ribuan jenis molekul. Dengan kompleksitas pengaturannya yang sangat tinggi, sistem imun tentunya sangat rentan mengalami distorsi. Jika terjadi lepas kendali dalam proses aktivasi dan regulasi sistem imun, akibat yang ditimbulkan akan sangat berbahaya.
Terkait hal tersebut, alergi dan autoimun merupakan dua contoh nyata penyakit yang terjadi akibat malfungsi sistem imun. Selain itu, pada orang sehat tanpa gejala infeksi, sistem imun yang terlalu aktif justru cenderung memberikan efek trade-off.