Arah Muhammadiyah
Islam dengan demikian bukan sesuatu yang utopis tetapi realistik dan bisa menjadi penuntun dan pengendali dalam kehidupan manusia.
Catatan Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah ke-47 Tahun 2020 di Unismuh Makassar
Oleh: Amir Muhiddin
Dosen Pemerintahan Fisip Unismuh Makassar, Wakil Ketua Dewan Pendidikan Sulsel,
Penggiat Forum Dosen
Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar menjadi tuan rumah seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2020 yang digelar di Balai Sidang, Sabtu (7/3/2020) lalu. Seminar ini dilaksanan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan mengusung tema, Strategi Kebudayaan Muhammadiyah dari Purifikasi Menuju Islam Berkemajuan.
Diikuti dosen dan mahasiswa Unismuh ditambah Pimpinan Perguruan Tinggi (PT) Muhammadiyah se Sulawesi Selatam, aktifis NGO, tokoh lintas agama, tokoh ormas dan jurnalis/media/ Sejumlah narasumber diundang dalam seminar ini. Di antaranya Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Agung DanartoMAg sekaligus sebagai keynote speaker.
Prof Dr A Rahman Rahim dalam kata sambutan selamat datang mengemukakan rasa gembira dipilih menjadi tuan rumah. Menurut Rektor Unismuh Makassar, bertindak sebagai tuan rumah adalah amanah. Apalagi mendatangkan rezeki. Petuah masyarakat Bugis, “Engka to pole, engka dalle”. Artinya, ada tamu, ada rezeki.
Persimpangan Jalan
Strategi Kebudayaan Muhammadiyah dari Purifikasi Menuju Islam Berkemajuan adalah tema yang sangat menarik dilihat dalam banyak dimensi, baik dimensi teologis, sosiologis, dimensi kultural, maupun dimensi-dimensi lainnya. Menurut Agung Danarto, budaya Muhammadiyah berada di persimpangan jalan.
Budaya ini sangat dipengaruhi oleh budaya global yang meliputi budaya Barat (Amerika dan Eropa), China, India, Jepang, Korea, Arab dan budaya lokal, liberal, puritan, tradisional, dan nasional.
Di persimpangan jalan menurut penulis mengandung makna bahwa budaya Muhammadiyah berada di antara pusat-pusat kebudayaan dunia yang kalau sumbernya dari Barat maka dasarnya liberalisme-individual yang menjunjung tinggi kebebasan individu dan tentu saja rasionalisme. Sementara dari Timur, termasuk budaya lokal dan tradisional dasarnya adalah sosial dan kolektifitas dan tentu saja, sebagian irrasional, tahayyul dan mistik.
Di persimpangan juga mengandung arti berada pada era transisi, dari tradisional ke moderen dan pascamoderen. Pengaruh budaya di atas membuat Islam tidak menjadi satu. Akibatnya, muncullah berbagai istilah seperti ‘Islam transformatif’, Islam inklusif", Islam ‘liberal’, Islam ‘transitif’, Islam ‘Nusantara’, dan seterusnya.
Kondisi dan status kebudayaan di persimpangan tentu saja kurang menguntungkan sebab akan menemui banyak resistensi, terutama dalam menentukan sikap, pilihan, serta straegi dalam membina dan mengembangkan ummat.
Berdasarkan masalah itulah mengapa seminar ini berupaya mengambil tema Strategi Kebudayaan Muhammadiyah Dari Purifikasi Menuju Islam Berkemajuan karena disadari benar bahwa Islam dengan berbagai faktor yang mempengaruhi membahayakan dilihat dari aqidah dan urusan-urusan ritual.
Purifikasi memberi nuansa kepada upaya untuk mengembalikan pemurnian akidah untuk selanjutnya pada Islam berkemajuan. Oleh sebab itu menurut Agung Danarto, Muhammadiyah membuat kebijakan arah kebudayaannya. Meliputi: 1. Masyarakat utama, adil, makmur yang diridhoi Allah swt, 2. Islam berkemajuan 3. Islam wasathiyah 4. Pemurnian di bidang akidah dan ibadah, pembaharuan di bidang muamalah.
Islam Berkemajuan
Kata berkemajuan menurut penulis mengandung makna bahwa Islam adalah agama yang dinamis, mengikuti zaman dan peradaban, tidak berhenti bergerak ke depan dan selalu unggul. Islam selalu satu atau beberapa langkah lebih maju. Islam sebagai sebuah idiologi memiliki tiga dimensi yaitu dimensi idealisme, dimensi realisme dan dimensi fleksibilitas.
Sebagai sebuah idiologi, Islam memiliki nilia-nilai kebenaran sebagaimana terkandung dalam Al-quran dan Hadist dan nilai-nilai itu bisa diterapkan karena dia realistik dan ada dalam detak dan jantung kehidupan manusia.
Islam dengan demikian bukan sesuatu yang utopis tetapi realistik dan bisa menjadi penuntun dan pengendali dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, Islam fleksibel dan bisa mengikuti segala zaman yang selalu berubah.
Islam berkemajuan bukan saja merupakan formulasi pemikiran untuk memahami diinul Islam tetapi menjadi bagian penting dari sebuah ikhtiar dalam mendinamisasikan Islam. Oleh sebab itu dalam konteks pemikiran Islam, Islam berkemajuan sesungguhnya menjadi bagian tak terpisahkan dari tajdiid yang dapat dilihat dari dua konteks.
Pertama, purifikasi yang dapat diartikan sebagai pemurnian untuk akidah, dan pelurusan untuk urusan ritual. Kedua adalah dinamisasi yang artinya pembaruan ataupun perubahan. Formulasi pemikiran Islam berkemajuan sesungguhnya berada dalam wilayah ini.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, demikian juga dalam melakukan interaksi sosial, baik secara internal maupun eksternal maka Islam berkemajuan sejatinya mengembalikan model Islam murni sesuai dengan semangat yang terkandung dalam Alquran dan Hadist.
Salah satu implementasi model tersebut adalah dengan budaya literasi (membaca dan menulis) sebagaimana diperkenalkan ketika wahyu pertama turun. Selain gerakan literasi, Islam berkemajuan ditandai dengan budaya toleran.
Ini penting sebab menjadi salah satu arah kebudayaan Muhammadiyah terutama dalam menciptakan Islam wasathiyah, saling menjaga kerukunan antar umat beragama, saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada.
Oleh sebab itu Islam berkemajuan bermuara pada predikat rahmatan lil 'aalamiin. Muara ini berupaya menghidupkan kembali tiga relasi harmonis bagi terlaksananya kehidupan di dunia ini, yaitu relasi seorang Muslim kepada Allah, relasi seorang Muslim kepada sesama manusia dan tentu yang tidak boleh dilupakan adalah relasi seorang Muslim kepada alam sekitar.
Selamat kepada Unismuh semoga Muktamar Muhammadiyah ke 47 tahun 2020 di Solo membawa ummat Islam dan bangsa Indonesia pada kehidupan yangberkemajuan. (*)