Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Peribahasa Bugis

Yuk Belajar Makna Peribahasa Bugis 'Iyya Teppaja Risappa Paccolli’ Loloéngngi aju Marakkoé'

Leluhur orang Bugis memberi motivasi dan semangat kepada anak cucunya untuk menggali potensi pada dirinya melalui imajinasi dan kreativitas

Penulis: Nur Fajriani R | Editor: Anita Kusuma Wardana
DOK.PRIBADI
Yuk Belajar Makna Peribahasa Bugis Iyya Teppaja Risappa Paccolli’ Loloéngngi aju Marakkoé 

Oleh:

Faisal

Pamong Budaya Sulsel

TRIBUNTIMURWIKI.COM - Suku Bugis adalah suku yang mendiami sebagian besar wilayah di Sulawesi Selatan.

Suku Bugis juga memiliki kebudayan yang unik, mulai dari bahasa, tradisi, hingga perihal kesusastraan.

Suku Bugis juga meninggalkan ragam warisan kesusastraan dalam bentuk peribahasa.

Salah satu peribahasa Bugis, yakni iyya teppaja risappa paccolli’ loloéngngi aju marakkoé yang berarti yang tak henti-hentinya dicari, yang menguncupmekarkan kayu kering.

Leluhur orang Bugis memberi motivasi dan semangat kepada anak cucunya untuk menggali potensi pada dirinya melalui imajinasi dan kreativitas, agar apa yang tidak mungkin atau mustahil terjadi dapat terwujud.

“Menguncupmekarkan kayu kering” adalah sebuah ilustrasi yang dapat terwujud melalui kreativitas.

Untuk mewujudkan hal itu harus dibarengi dengan kecerdasan intelektual dan keterampilan yang prima.

Peribahasa ini mengandung makna filosofi yang sangat dalam, yaitu suatu motivasi yang
tinggi untuk mencari ilmu pengetahuan dan keterampilan tanpa batas (wilayah dan usia).

Tujuannya adalah untuk menjadi toacca (orang cendekia).

Pengertian acca dalam kehidupan sehari-hari adalah pintar atau pandai, akan tetapi tidak
bermakna netral.

Acca sudah diberi konotasi positif, tidak berkonotasi negatif. Tidak ada istilah pintar mencuri, pintar menipu dan semacamnya.

Jadi, pengertian acca yang sebenarnya adalah cendekia. Selain cerdas juga memiliki sifat dan akhlak yang mulia.

Kenapa leluhur orang Bugis mengharapkan anak cucunya menjadi toacca.

Pada hal toacca tidak dikenal dalam stratifikasi sosial, dan tidak memiliki jabatan strategis dalam struktur pemerintahan kerajaan di daerah Bugis.

Namun, orang yang mendapat peredikat toacca dapat terangkat harkat dan martabatnya dalam masyarakat.

Misalnya, Kajao Laliddong, seorang anak gembala dari lapisan masyarakat biasa.

Terangkat derajatnya menjadi orang terhormat karena sering dimintai nasihatnya oleh Raja Bone La Tenri Rawe Bongkange (raja ke-7).

Kajao Laliddong dijuluki cendekiawan Bugis pada abad ke-16. Beliau juga dijuluki lise saoraja (penghuni istana) dari masyarakat biasa, walaupun secara fisik tidak tinggal di istana.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved