Strategi Penyusupan Penyelenggara Adhoc Pilkada
Kondisi masyarakat yang makin transparan membuat potensi kecurangan makin sulit dilakoni penyelenggara adhoc pilkada
Oleh: Muh. Iqbal Latief
Dosen Sosiologi FISIP Unhas
Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2020, tahapannya sudah mulai berjalan. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota tahun 2020, tahapan pilkada dibagi kedalam tahapan persiapan.
Di dalamnya ada penyusunan dan penetapan program dan anggaran yang ditandai penandatanganan NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) dengan pemda setempat dan penyelenggaraan. Kemudian sosialisasi pada masyarakat, pembentukan penyelenggara adhoc sampai pada pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih.
Selain itu, tahapan penyelenggaraan yang terkait dengan proses pendaftaran bakal pasangan calon baik usungan parpol maupun perseorangan, penetapan paslon yang ikut pilkada, pelaksanaan kampanye termasuk didalamnya audit dana kampanye.
Kemudian pemungutan suara, perhitungan suara, dan rekapitulasi hasil perhitungan suara, penetapan calon terpilih, sengketa hasil di MK dan pengesahan pengangkatan calon terpilih. Seluruh tahapan Pilkada 2020, berdurasi lebih kurang 12 bulan (mulai 1 Oktober 2019 dan selesai 5 Oktober 2020 jika tidak ada sengketa).
Namun yang menarik disikapi adalah proses rekrutmen penyelenggara adhoc khususnya Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di tingkat kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat kelurahan/desa. Dalam proses inilah dimulai strategi pemenangan pilkada oleh masing-masing tim pemenangan kandidat termasuk yang berstatus petahana.
Dalam kajian para tim pemenangan, penyelenggara adhoc sangat strategis kedudukannya karena mereka yang langsung berhadapan atau berhubungan dengan masyarakat sesuai tingkatannya. Karena itu, harus ada orang-orang yang dipasang untuk mengamankan kontestasi.
Untuk Pilkada tahun ini, proses rekrutmen penyelenggara adhoc PPK sampai dengan 31 Januari 2020 sedangkan PPS sampai dengan 21 Maret 2020.
Dalam proses rekrutmen ini, tim pemenangan mulai mempersiapkan orang-orangnya untuk diikutkan dalam rekrutmen PPK, PPS sampai KPPS. Walaupun dalam regulasi ada syarat yang harus dipenuhi dalam rekrutmen penyelenggara adhoc seperti memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas dan kemandirian, termasuk memperhatikan keterwakilan perempuan 30 % (tiga puluh persen).
Namun masalah yang dihadapi oleh KPU kabupaten/kota apalagi yang wilayahnya sangat luas (ada daratan, ada pulau bahkan ada pegunungannya), sangat sulit untuk memeriksa rekam jejak masing-masing calon penyelenggara adhoc dengan baik. Untuk itu, biasanya dilakukan uji publik untuk calon anggota PPK maupun PPS.
Namun tetap saja, kurang efektif karena masih ada saja anggota PPK yang rupanya orang-orang dari tim pemenangan tertentu.
Strategi “penyusupan” yang dilakukan tim pemenangan di setiap event Pilkada untuk memposisikan orang-orangnya pada penyelenggara adhoc, tentu merupakan bagian dari strategi pemenangan Paslonnya secara umum. Ini dilakukan dengan pertimbangan; Pertama, ada orang dalam yang memberi informasi (insider information) tentang semua hal berkaitan dengan proses Pilkada termasuk kompetitor mereka.
Kedua, orang dalam tersebut juga berfungsi untuk menjaga dan mengamankan perolehan suara Paslonnya, dan; Ketiga, jika memungkinkan orang dalam tersebut juga bekerja secara teknis untuk memenangkan Paslonnya.
Itulah sebabnya, dalam beberapa kejadian Pilkada sebelumnya ditemukan sejumlah PPK dan PPS bahkan KPPS yang tidak netral, tidak independen dan cenderung memihak salah satu Paslon. Sehingga, mereka diberhentikan ditengah jalan sebagai penyelenggara adhoc.
Cara pandang yang menilai penyelenggara adhoc strategis untuk membantu memenangkan pilkada, selalu muncul dalam setiap perhelatan pilkada. Di tingkat perkotaan, penyelenggara adhoc mungkin agak sulit ‘bermain-main’, namun di daerah pelosok seperti pulau-pulau dan pegunungan yang jauh dari pantauan publik, potensi itu bisa saja terjadi.
Tetapi satu hal yang pasti, saat ini penyelenggara adhoc tidak hanya dibekali kemampuan teknis yang memadai, tetapi juga penanaman nilai-nilai dan etika penyelenggara pilkada yang berprinsip pada kejujuran dan keadilan.
Ditambah lagi, kondisi masyarakat yang makin transparan membuat potensi kecurangan makin sulit dilakoni penyelenggara adhoc. Jadi para tim pemenangan saat ini, jangan berharap banyak dari penyelenggara adhoc untuk memenangkan persaingan.
Rebutlah hati rakyat dengan membuat strategi pemenangan yang simpatik. Hanya dengan cara ini kemenangan bisa diraih. Karena itu, pikiran (mind set) yang menilai bahwa penyelenggara pilkada bisa mengatur-atur suara perolehan – adalah mind set lama yang sudah harus dibuang jauh-jauh sekarang ini. Bukan begitu Bro? (*)
