Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Benteng Rotterdam

Sempat Tegang, BPCB Sulsel 'Gunduli' Taman Patung Kuda Depan Rotterdam Makassar

Tanaman di Taman Patung Kuda, depan Benteng Rotterdam Jl Ujungpandang, Makassar, dibabat habis, Kamis (9/1/2020) pagi.

Penulis: Muslimin Emba | Editor: Suryana Anas
TRIBUN TIMUR/MUSLIMIN EMBA
Taman Patung Kuda, depan Benteng Rotterdam Jl Ujungpandang, Makassar, pasca pembabatan atau pembersihan BPCB Sulsel, Kamis (9/1/2020) pagi. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Tumbuhan atau tanaman di Taman Patung Kuda, depan Benteng Rotterdam Jl Ujungpandang, Makassar, dibabat habis, Kamis (9/1/2020) pagi.

Pembabatan itu melibatkan sekelompok petugas Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulsel.

Saat pembabatan berlangsung, puluhan aktivis mahasiswa yang tergabung dalam ALRAM (Aliansi Rakyat dan Mahasiswa) siaga di tempat tinggal Ali Amin.

Pembabatan itu pun sempat diwarnai ketegangan, akibat adanya ulah profokasi dari petugas yang melakukan pembersihan.

"Tadi sempat tegang karena mereka (petugas pembersihan) dibabat pohon sambil teriak-teriak. Ada juga yang pukul-pukul seng," ujar seorang aktivis yang tergabung dalam ALARM.

Lalu apa alasan BPCB Susel membabat habis tanaman yang puluhan tahun dirawat oleh Ali Amin itu?

Kepal BPCB Sulsel Laode Muhammad Aksa yang dikonfirmasi via telepon, mengungkapkan, pembabatan itu merupakan kegiatan kerja bakti atau pembersihan areal kawasan cagar budaya.

Laode Muhammad Aksa menegaskan, pihaknya memilik hak untuk melakukan pembabatan atau disebutnya pembersihan.

Pasalnya, lahan yang dijadikan taman itu merupakan tanah negara yang diberikan ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Di depan itu (taman patung kuda) bersertifikat, dimiliki oleh negara yang diserahkan ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Itu tanah ya sampai di aspal bersertifikar," kata Laode Muhammad Aksa.

Aneka tmbuhan tanaman bunga yang ditanam dan dirawat oleh Ali Amin, oleh Laode Muhammad Aksa, dianggap merusak pemandangan atau keindahan Benteng Fort Rotterdam.

"Cagar budaya situ sudah kayak hutan, jadi dirapikan, dikerjabakti pegawai. Jangan sebut-sebut penggusuran, penggusuran itu urusan hukum. Kita kerja bakti pembersihan tanah kita," ujarnya.

Jika dalam pembabatan atau pembersihan itu ada yang merasa dirugikan, kata Muhammad Aksa, pihaknya mempersilahkan untuk melaporkannya ke penegak hukum.

"Kalau ada dirugikan, silahkan ke kantor polisi dan ke pengadilan, kita sama-sama kalau ada yang dirugikan. Tidak usah kita berkampanye-kampanye karena ini bukan urusan politik, ini urusan hukum kalau mau diurus," jelasnya.

Sekilas Tentang Ali Amin dan Dedikasinya Menghijaukan Tan Patung Kuda

Selembar surat berkop Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, mengusik keberadaan Ali Amin (51) beserta istri dan lima anaknya.

Surat bernomor register 0303/E22.1/TU/2019, yang diterima Selasa kemarin, meminta Ali Amin dan keluarga dalam kurung waktu 14 hari kedepan, segera mengosongkan lahan

Lahan yang 24 tahun ditinggali Ali Amin berusaha menyambung hidup dan menjaga serta merawat tanaman bunga dan buah ada di taman seluas 60X29 meter itu.

Keberadaan Ali Amin di sisi kiri depan bangunan tembok benteng Rotterdam bukan tampa sebab.

Ia menempati pojok kiri depan taman itu atas permintaan Gabungan Pengusaha Konstruksi (Gapensi) pada Tahun 1995.

Oleh surat tugas diterbitkan Badan Pimpinan Daerah Gapensi TK I Sulawesi Selatan tertanggal 15 April 1995, Ali Amin diminta untuk merawat dan menjaga Taman Patung Kuda Benteng yang merupakan Binaan Gapensi.

Selain itu, surat tugas yang ditandatangani Sekretaris Umum Gapensi Drs A M Mochtar pada saat itu, juga mengizinkan Ali Amin menempati taman lahan di taman itu dan membuka usaha warung (kedai kopi).

Hasil dari penjualan kedai kopi digunakan Ali Amin untuk menjaga dan merawat taman berlokasi di sisi kiri depan benteng.

"Awalnya saya dipekerjakan Andi Mochtar disini untuk perbaikan intalasi listrik sama airnya bersama pekerja lain. Saat semua selesai, pak Mochtar menawari semua pekerja yang ada untuk tinggal sambil menjaga dan merawat taman ini, tapi tidak ada yang mau. Akhirnya pak Mochtar menunjuk saya agar tinggal dan merawat taman ini sambil menunggu ada pekerja lain yang minat. Sekian lama tidak kunjung ada yang minat, saya pun dikasih surat tugas untuk tinggal dan mendirikan warkop," cerita Ali Amin ditemui, Rabu (13/2/2019) malam.

Hasil penjualan kopi dan aneka makanan seperti pisang epek, digunakan Ali Amin untuk biaya perawatan taman dan menghidupi keluarganya.

Sedari pagi hingga malam, tenaga dan pikiran ayah lima orang anak itu dikerahkan untuk menjaga tanaman taman.

Dan aktivitas itu ia lakoni sejak masih lajang hingga akhirnya beristri dan dianugerahi lima orang anak.

"Sudah salat subuh saya sudah masuk di taman, bersih-bersih rumput liar, sambil cek-cek tanaman yang rusak atau mati untuk diganti, sampai jam 9 pagi. Malamnya saya lakukan penyiraman," ujarnya.

Biaya perawatan taman itu semuanya diperoleh dari hasil penjualan kopi sesuai yang diamanahkan Gapensi.

Mulai dari listrik, air, tanaman rusak, hingga rumput rusak, semua ditanggung Ali Amin dari hasil seruput kopi pengunjung.

Dan itu berlangsung sejak 1995 hingga 2019.

"Terkadang kalau pengunjung warkop sepi, apalagi sekarang ini banyak warkop-warkop modern, saya keluar mencari kerja lain, misalnya bantu-bantu warkopnya teman untuk bayar listrik sama uang jajang anakku yang saya kasih sekolah juga," ungkap Ali Amin dengan raut wajah sedih.

Dedikasi atau pengabdian Ali Amin merawat taman selama ini cukup dinikmati warga nyantai di taman.

Pelajar khususnya mahasiswa, aktivis, NGO, dari berbagai organisasi bahkan menjadikan taman dirawat Ali Amin sebagai sarana edukasi menyehatkan.

Di bawa teduhan rindangnya pepohonan taman itu mereka belajar, berdiskusi dan melahirkan ide dan gagasan-gasan baru dalam melihat fenomena sosial yang terjadi.

Seperti diungkapkan Presiden Federasi Perjuangan Buruh Indonesia-Konfederasi Serikat Nusantara (FSPBI-KSN) Mukhtar Guntur K.

Mukhtar Guntur K mengaku di wakrop dan taman yang dirawat Ali Amin, ide-idenya lahir untuk mencetuskan gerakan-gerakan sosial.

Bersama sejumlah elemen gerakan, Mukhtar Guntur K mengaku selama belasan tahun terakhir menjadikan taman yang dirawat Ali Amin sebagai sarana diskusi yang edukatif.

Ia pun mengaku kaget dengan surat yang dilayangkan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan yang dianggapnya tendensius.

"Saya menganggap surat yang memerintahkan pak Ali Amin untuk mengosonkan lahan ini, tendensius dan arogan. Mestinya jika ingin melakukan revitalisasi, orang yang meninggali tempat ini harus diundang baik-baik secara persuasif dulu dengan tidak menafikkan sisi kemanusiaannya pak Amin yang selama ini menjaga dan merawat taman ini dengan sukarela," kata Mukhtar Guntur K.

Aktivis buruh ini, pun mengaku akan melakukan perlawan jika pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel terus bersikap arogan terhadap keberadaan Ali Amin dan keluarganya.

Pasalnya, menurut Mukhtar Guntur, Ali Amin selama ini secara sukarela menjaga dan merawat taman yang merupakan bagian dari ruang terbuka hijau kota Makassar itu, telah berkontribusi terhadap pembanguna pemerintah tampa mengharap seserpun bantuan dana.

"Boleh dikata milliaran dana negara yang semestinya dianggarkan untuk menggaji tenaga penjaga dan perawat taman ini. Tapi di tangan pak Ali dana sebanyak itu tidak diperlukan untuk membebani anggaran negarah dan daerha, jadi ini juga harus dilihat oleh pemerintah, ujarnya.

Hal senada diungkap Ratna Kahali, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

Ia berjanji akan mengawal persoalan yang dialami Ali Amin yang terancam digusur atas nama revitalisasi.

"Tentunya kita akan menganalisis aspek hukum rencana penggusuran ini. Ruang keadilan terbuka untuk semua orang, pembangunan harus melibatkan masyarakat, harus mengundang masyarakat, ini aspek keadilan. Bukan meminggirkan hak orang," ujarnya.

"Kalau mau revitalisasi kita harus tahu seperti apa bentuknya, penggunaannya, anggarannya dan bagaimana dampak sosialnya, karena ini kan milik publik, jadi masyarakat harus terlibat," tegas Ratna Kahali.

Armianto dari KSM Sulsel juga memganggap, surat perintah pengosongan lahan yang dilayangkan pihak Balai Cagar Budaya Sulsel terkesan tendensius dan tidak berpri kemanusiaan.

"Surat ini tidak menghargai, hak orang yang selama ini mededikasikan dirinya tampa membebani anggaran negara atau daerah, itulah sosok pak Ali Amin," jelasnya.

"Kalau memang mau ditata, itu bukan berarti mendadak, dan menafikkan hak orang lain. Harusnya dibicarakan dulu seperti apa semestinya. Kalau mau lansung mengosonkan kami akan membela," tegas Armianto.

Begitu pun yang diungkapkan Korwil FSPBI Sulsel, M Said Basir.

Ia menganggap surat perintah pengosongan lahan yang ditempati Ali dan lima anaknya itu bentuk ketidakdewasaan pemerintah dalam hal ini pihak Balai Cagar Budaya Sulsel.

"Harus jeli ketika ingin melanjutkan tindak lanjut, pemerintah harusnya lebih dewasa, karena pak Ali Amin ini juga punya kontribusi yang besar dalam menyegarkan udara yang ada di sekitar benteng dengan merawat tumbuhan-tumbuhan yang ada di taman tampa pamri," ungkap M Said Basir.

Belum ada keterangan dari pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel terkait rencana itu. Awak tribun masih berusaha mengonfirmasi.

Laporan Wartawan Tribun Timur, Muslimin Emba @musliminembah61

Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur

Subscribe akun Youtube Tribun Timur

(*)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved