Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Hak Berdaulat di ZEE

Kapal-kapal penangkap ikan China yang menangkap ikan di ZEE Indonesia adalah pelanggaran hukum atau pencurian ikan.

Editor: syakin
zoom-inlihat foto Hak Berdaulat di ZEE
Dok
M Ghufran H Kordi K, Pengamat masalah Perikanan & Kelautan

Oleh: M. GHUFRAN H. KORDI K.
Pengamat masalah Perikanan & Kelautan

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sangat luas. Mencapai 2,55 juta km2. Terletak di luar laut teritorial yang lebarnya 200 mil (321,869 km). Tidak hanya di ZEE di Laut Natuna Utara yang rawan pencurian ikan oleh kapal penangkap ikan asing, tetapi di seluruh ZEE Indonesia.

Bahkan sebelum tahun 2016, banyak sekali kapal penangkap ikan asing masuk dan menangkap ikan hingga ke perairan laut teritorial Indonesia. Namun, berita tentang pencurian ikan oleh kapal asing menurun sejak kebijakan penenggelaman kapal oleh Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Susi Pudjiastuti (2014-2019).

Jumlah kapal yang ditenggelamkan Menteri Susi mencapai 556 kapal dari berbagai negara, terbanyak dari Vietnam. Kebijakan penenggelaman ditempuh karena kapal-kapal yang dilepaskan, kemudian tertangkap kembali.

Sebagian kapal juga tidak layak digunakan atau rusak ketika menunggu proses peradilan. Biaya perawatan kapal-kapal tersebut juga tidak murah.

Hak Berdaulat

Yang perlu dicatat dalam penenggelaman kapal pencuri ikan adalah ketegasan pemerintah dalam menjaga dan melindungi sumber daya ikan di perairan Indonesia, termasuk di ZEE. ZEE adalah perairan yang bagi negara pantai mempunyai hak-hak berdaulat (sovereign rights).

Di dalam Konvensi Hukum Laut atau UNCLOS (the United Nations Convenvention on the Law of the Sea) 1982, Bab V yang mengatur ZEE pada Pasal 55 dan Pasal 57 menyebutkan, ZEE adalah jalur laut yang terletak di luar dan berbatasan dengan laut teritorial suatu negara yang lebarnya 200 mil diukur dari garis dasar yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial.

Hak dan kewajiban negara pantai pada ZEE antara lain: (a) hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati dari perairan, dasar laut, dan tanah di bawahnya; (b) hak berdaulat atas kegiatan lain untuk eksplorasi dan eksploitasi di zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus, dan angin; (c) yurisdiksi untuk pendirian dan pemanfaatan pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan laut (Pasal 56).

Berbeda dengan kedaulatan (sovereignty) suatu negara pantai atas laut teritorial atau suatu negara kepulauan atas perairan kepulauannya, kekuasaan negara pantai atas sumber daya ikan yang terkandung di dalam ZEE ditetapkan sebagai hak-hak berdaulat (sovereign rights).

Konvensi Hukum Laut menggunakan istilah sovereign rights. Berdasarkan rezim hak-hak berdaulat ini, negara pantai tidak memiliki kedaulatan. Dalam hal ini, hak-hak berdaulat yang berada pada suatu negara di ZEE bersifat residu, karena hanya berlaku terhadap sumber daya hayati yang terkandung dalam zona tersebut dan tidak meliputi perairan dan ruang udara di atasnya (Sodik, 2011).

Dengan demikian, ZEE bukan merupakan wilayah negara pantai, sehingga negara pantai tidak memiliki kedaulatan atas zona tersebut. Ini berarti ZEE mempunyai status hukum khusus yang dicirikan dengan ditetapkannya hak-hak dan kewajiban, baik kepada negara pantai yang mempunyai hak-hak berdaulat maupun negara-negara lain.

Dalam ZEE ini semua negara atau bangsa lain bebas untuk berlayar dan terbang di atasnya, dan memasang kabel serta saluran-saluran pipa di bawah permukaan laut.

Pencuri Dilindungi

Merujuk pada hak-hak berdaulat yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut, maka Indonesia memiliki posisi yang kuat dalam mengelola dan melindungi sumber daya ikan di ZEE, termasuk ZEE Laut Natuna Utara. Kapal-kapal penangkap ikan China-Tiongkok yang menangkap ikan di ZEE Indonesia, yang dikawal oleh kapal penjaga pantai (coast guard) dan kapal pengawas perikanan, adalah pelanggaran hukum berupa pencurian ikan dan pelanggaran wilayah ZEE Indonesia.

Selama ini, China menyatakan bahwa kapal-kapal nelayannya berada di wilayah yang disebutnya sebagai zhongguo chuantong yuchang atau wilayah penangkapan ikan tradisional (traditional fishing ground). Klaim tersebut bukan hanya sebatas klaim, tetapi tertera di dalam Sembilan Garis-garis Putus (Nine Dash Line) yang berada di tengah laut dan menjorok masuk ke ZEE Indonesia. Klaim ini didasarkan pada alasan historis yang secara hukum internasional tidak memiliki dasar. Sembilan Garis Putus ini juga tidak jelas koordinatnya bahkan Pemerintah China kadang menyebutnya sembilan, sepuluh, bahkan sebelas garis putus (Juwana, 2016).

Konsep traditional fishing ground atau oleh China disebut zhongguo chuantong yuchang tidak dikenal dalam UNCLOS 1982. Dalam UNCLOS 1982 dikenal konsep traditional fishing rights (Pasal 51) dan keberadaannya harus didasarkan pada perjanjian bilateral. Indonesia mempunyai perjanjian bilateral traditional fishing rights dengan Malaysia dan Australia.

Artinya, kapal-kapal penangkap ikan China yang menangkap ikan di ZEE Indonesia adalah pelanggaran hukum atau pencurian ikan. Karena dilindungi atau dikawal oleh kapal penjaga pantai China, berarti kapal-kapal ikan tersebut adalah pencuri yang dilindungi. Artinya, China adalah negara yang mensponsori penangkapan ikan ilegal (state sponsored illegal fishing).

Indonesia Harus Hadir

Karena ZEE Indonesia adalah wilayah yang bebas, dan hak berdaulat yang diberikan berupa pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya, maka Indonesia harus “hadir” di ZEE. Pertama, memperkuat nelayan untuk menangkap ikan di ZEE. Selama ini hanya sedikit kapal ikan yang mampu menangkap ikan di ZEE. Kekosongan kapal penangkap ikan dari Indonesia di ZEE menjadikan kapal-kapal asing berani masuk dan menangkap ikan secara ilegal.

Kedua, peningkatan kemampuan “penguasaan laut” dalam hal ini menambah kekuatan untuk patroli, perlindungan nelayan, dan penegakan hukum di ZEE, baik dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepolisian, maupun Angkatan Laut.

Ketiga, pemerintah dan masyarakat Indonesia dapat mengampanyekan penolakan terhadap hasil-hasil perikanan yang diperoleh secara secara ilegal sebagaimana diatur dalam IUUF (Illegal, Uregulated, Ureported Fishing). Amerika Serikat dan Uni Eropa telah menyusun kebijakan yang akan menghukum pelaku IUUF dengan tidak membeli ikan hasil IUUF. Tentu tidak mudah, namun konsumen di negara-negara maju mempunyai kesadaran yang tinggi terkait dengan penangkapan ikan secara ilegal dan merusak lingkungan.

Keempat, penenggelaman kapal yang tertangkap harus dilanjutkan. Selain berdampak positif terhadap produksi perikanan tangkap dan pendapatan nelayan, Indonesia juga mempunyai “martabat” di mata internasional, baik karena mampu melindungi sumber daya perikanan, maupun menunjukkan kepada dunia bahwa, Indonesia tidak ‘main-main’ dengan pelaku kejahatan, dan siapapun yang hendak mengganggu kepentingan nasional Indonesia. (*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved