Mengulas Kemiskinan Bumi Hasanuddin
Kemiskinan juga masih merupakan PR bagi kabupaten yang memiliki persentase penduduk miskin di atas 12 persen
Oleh: Nigel Roy Tantan, S.Tr.Stat.
Statistisi Pertama di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Toraja Utara
Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai institusi penyedia data dasar, rutin menerbitkan angka kemiskinan sampai tingkat kabupaten/kota tiap tahunnya. Dalam mengukur angka kemiskinan ini, BPS menggunakan konsep pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach).
Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk dikatakan miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Garis Kemiskinan
Lalu, apa itu garis kemiskinan (GK)? Sederhananya, GK merupakan jumlah uang minimum yang dibutuhkan oleh tiap orang. Secara umum, GK Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) adalah sebesar 330 ribu rupiah. Kota Makassar sebagai pusat ibukota memiliki GK tertinggi dibanding kabupaten/kota lain di Sulsel, dengan GK sebesar Rp 419 ribu.
Disusul Maros Rp 406 ribu dan Gowa sebesar Rp 386 ribu. Sinjai, Soppeng, dan Pinrang berada di kisaran Rp 290 ribu.
Mengapa terdapat perbedaan GK? Harga ikan segar di Luwu tentu berbeda dengan di Maros. Begitupun harga bawang di Makassar dengan di Toraja, tentu akan berbeda. Akses infrastruktur turut menentukan murah atau mahalnya harga barang di suatu wilayah.
Harga komoditas makanan dan bukan makanan bervariasi antar wilayah. Sedangkan kebutuhan kalori dan protein tiap orang relatif sama.
Ada yang mengatakan, Rp 400 ribu di Makassar memangnya bisa untuk hidup? Berarti rata-rata sehari harus hidup dengan 13 ribu agar tidak dikatakan miskin? Nasi ayam di warung saja Rp 15 ribu paling murah.
Cara memandang GK tidak sesederhana itu. Dalam satu rumah tangga rata-rata terdapat 4-5 orang. GK sebesar 400 ribu itu dikalikan dengan banyaknya anggota rumah tangga. Artinya, pengeluaran minimum rumah tangga tersebut harus berada di atas 1,6 juta atau 2 juta rupiah.
Pengeluaran ini tidak hanya untuk konsumsi makanan jadi saja (seperti nasi di warung atau food court, ataupun camilan). Termasuk konsumsi bahan makanan (beras yang dimasak, lauk pauk yang diolah didapur, termasuk bumbu-bumbunya). Ditambah dengan pengeluaran bukan makanan (seperti gas elpiji), pakaian, sampai dengan keperluan hiburan.
Penduduk Miskin
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk yang dirilis BPS, terdapat 7,98 juta penduduk yang ada di Provinsi Sulsel pada tahun 2019. Penduduk miskin Sulsel ada sebanyak 767,80 ribu jiwa atau ada sebanyak 8,69 persen penduduk miskin dari total penduduk.
Kota Makassar memiliki jumlah penduduk miskin terbesar, 65,12 ribu jiwa. Angka ini sangat besar bila kita bandingkan dengan kabupaten/kota lain di Sulsel. Bahkan, wilayah tertinggal versi pemerintah seperti Jeneponto memiliki jumlah penduduk miskin sebesar 54,05 ribu jiwa, lebih rendah dibandingkan Makassar.
Melihat angka kemiskinan, berarti kita juga harus menyoroti banyaknya penduduk di masing-masing kabupaten/kota untuk melihat sejauh mana keberhasilan suatu daerah dalam menghadapi masalah kemiskinan.
Sebanyak 1,5 juta penduduk memadati 199 kilometer persegi Kota Makassar. Kabupaten Jeneponto empat kali lebih luas dari Makassar, tetapi memiliki jumlah penduduk hanya seperempat dari Makassar.
Walau demikian, Makassar merupakan wilayah yang paling berhasil mengentaskan kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh hanya sebesar 4,28 persen penduduknya saja yang miskin.
Bandingkan dengan Jeneponto yang lebih dari sepertujuh (14,88 persen) penduduknya berstatus penduduk miskin. Kemiskinan juga masih merupakan PR bagi kabupaten yang memiliki persentase penduduk miskin di atas 12 persen seperti Pangkep (14,06), Lutra (13,60), Selayar (12,83), Luwu (12,78), Torut (12,41), Tator (12,35), dan Enrekang (12,33).
Pengentasan Kemiskinan
Yang perlu digarisbawahi adalah, BPS menyajikan berapa banyak orang miskin, bukan siapa saja orang miskin tersebut. Angka yang dihasilkan adalah angka estimasi/prakiraan berdasarkan kaidah statistik.
Hasil estimasi kemiskinan ini dapat dikatakan sebagai potret nyata jumlah penduduk miskin yang ada di Bumi Hasanuddin. Dan solusi pengentasan kemiskinan ada banyak. Yang jadi pertanyaan, apakah solusi-solusi itu memberikan hasil yang memuaskan?
Salah satu faktor pendongkrak kemiskinan adalah minimnya infrastuktur. Zawdie dan Murray (2013) mengatakan bahwa infrastuktur yang baik, dapat membantu pengentasan permasalahan kemiskinan.
Apabila kita melihat dengan lebih saksama, kebanyakan wilayah di Sulsel yang memiliki persentase kemiskinan tertinggi berada jauh dari pusat ibukota.
Membangun infrastuktur modern yang mengoneksikan seluruh wilayah di Sulsel termasuk wilayah pegunungan seperti Enrekang dan Toraja serta wilayah kepulauan seperti Pangkep dan Selayar bukanlah barang yang murah.
Selain itu, ada pepatah kuno yang mengatakan, jangan hanya memberi ikan, tapi beri juga kailnya. Pengentasan kemiskinan tidak cukup hanya dengan pemberian bantuan Ranstra maupun BPNT, tetapi juga pengembangan skills sumber daya manusia yang komprehensif
agar penghasilan/ pendapatan mereka dapat bertambah.
Berdasarkan konsep ekonomi makro, peningkatan pendapatan akan membantu mengangkat masyarakat dari jurang kemiskinan.
Diperlukan partisipasi semua pihak, baik para pemangku kebijakan pusat, provinsi, dan daerah, serta seluruh lapisan masyarakat untuk mengentaskan permasalahan kemiskinan yang masih mendarah daging ini. (*)