Jihad di Era 4.0
Dibutuhkan reinterpretasi mengenai kata jihad tersebut yang telah disempitkan maknanya dengan menggembalikan kepada makna aslinya
Oleh: Khalil Nurul Islam
Alumni Ilmu Hadis UIN Alauddin Makassar
Jihad dalam dekade terakhir ini telah terpeleset jauh ke dalam penyempitan makna dari yang seharusnya, mengapa demikian? Itu karena jihad telah disempitkan maknanya pada istilah melakukan perlawanan saja. Di Indonesia misalnya, term kata jihad lebih identik dipakai dalam melakukan suatu perlawanan, baik itu mungkin melawan pemerintah yang dianggap melakukan kemungkaran. Bahkan yang lebih parah adalah ketika melakukan kekerasan terhadap orang tidak bersalah atas nama jihad. Padahal makna jihad itu sangat luas bukan sebatas sebuah perlawanan.
Terkait dengan stigma negatif akhir-akhir dekade ini terhadap Islam yang dimana disebabkan oleh kelompok ekstrim yang melakukan tindakan represif, anarkisme, bahkan terorisme atas nama jihad sehingga menimbulkan stereotype terhadap Islam sebagai agama kekerasan, mengutip pendapat dari Dr. H. Abdul Wahid Haddade, Lc., M.H.I bahwa itu bukanlah jihad dan perbedaannya dapat dilihat dari empat aspek.
Pertama, terorisme bersifat destruktif dan berdampak sosiologis dan psikologis terhadap sasaran aksi teror, sedangkan jihad (dalam peperangan fisik) memiliki kode etik antara lain kooperatif dan meminimalisasi efek terhadap warga sipil dan konsern pada kerusakan lingkungan.
Kedua, dari segi sifatnya, terorisme selalu mendatangkan al-Ifsad (kerusakan) dan al-fawda (anarkis atau chaos). Sedangkan jihad bersifat melakukan upaya al-Ishlah (perbaikan) sekalipun dalam bentuk peperangan.
Ketiga dari segi tujuannya, terorisme memiliki karakteristik untuk menciptakan dan membangkitkan kepanikan dalam masyarakat dan pemerintah. Sedangkan jihad semata-mata berupaya menegakkan agama Allah dan melindunginya dari berbagai intervensi pihak-pihak yang ingin mendiskreditkan, menodai, dan bahkan mungkin menghancurkan agama tersebut bahkan lebih daripada itu jihad mempunyai misi membela hak-hak individu maupun masyarakat yang termarginalkan, terdiskriminasi dan tertindas secara massif oleh kelompok imperealis.
Keempat, dari segi operasionalnya selalu taat pada aturan dan prinsip peperangan di antaranya sasaran harus jelas dan menghindari kontak fisik dengan golongan yang terproteksi dari sisi keamanan seperti warga sipil yang bukan pejuang, perempuan, anak-anak, pemimpin agama, dan manula.
Kata jihad berasal dari kata ‘Jahada’ atau ‘Jahdun’ yang berarti ‘usaha’ atau Juhdun yang berarti “kekuatan.” Menurut bahasa, asal kata jihad berarti “Mengeluarkan segala kemampuan, kesungguhan, kekuatan, dan kesanggupan pada jalan yang diyakini kebenarannya.” Oleh karena itu kata ini juga bermakna ijtihad yang berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat, atau mencurahkan kemampuan, daya upaya atau usaha keras, untuk mencapai atau memperoleh sesuatu serta melepaskan diri dari keraguan sehingga sampai pada peringkat yakin. (Andi Aderus Banua, Jihad dalam Islam: Kedamaian atau Kekerasan, halaman 4).
Sebagaimana pengertian dan makna jihad di atas, jadi Jihad cakupannya sangat luas. Itulah dalam hadis disebutkan tentang jihad bermacam-macam. Diantaranya ketika kita menggunakan term afdhal al-Jihad (Sebaik-baiknya jihad), maka akan bermunculan berbagai redaksi yang mengikutinya yang menunjukkan jihad yang utama, diantaranya adalah perkataan yang benar terhadap penguasa yang kejam atau zalim (HR. Ahmad, al-Nasa’I, dan Ibnu Majah), Haji Mabrur (Musnad Syafi’i), memelihara atau menjaga kewajiban-kewajiban (Mu’jam al-Ausat al-Tabrani), mendirikan shalat (HR. Al-Thabrani). Kemudian jika digunakan kata Mujahid (yang berjihad) maka yang muncul diantaranya orang yang berjihad melawan hawa nafsunya (HR. Tirmizi).
Dengan demikian, macam-macam jihad pun bervariasi, makanya kata jihad tidak bisa disempitkan pada jenis peperangan saja. Pemaknaan sempit inilah yang menimbulkan istigma negatif mengenai kata jihad itu sendiri yang hanya identik dengan perang, sehingga istigma tersebut secara langsung maupun tidak langsung mencoreng agama Islam dengan term kata jihadnya.
Maka dibutuhkan reinterpretasi mengenai kata jihad tersebut yang telah disempitkan maknanya dengan menggembalikan kepada makna aslinya yang berarti “Mengeluarkan segala kemampuan, kesungguhan, kekuatan, dan kesanggupan pada jalan yang diyakini kebenarannya.”
Melihat dari makna jihad di atas dapat dimaknai dalam konteks masa sekarang dengan sebuah usaha yang dilakukan dengan totalitas, maksimal, atau bertindak profesional maupun proporsional, sehingga hasil yang diperoleh juga akan maksimal karena ada jihad yang dilakukan. Maka semua orang bisa dikatakan sedang berjihad ketika melakukan suatu aktivitas dengan maksimal, totalitas, dan profesional baik itu dengan menggunakan fisiknya sendiri maupun ditopang oleh teknologi khususnya di era 4.0. (*)