Buku dan Tahun Baru
"Great minds discuss ideas, average minds discuss events, small minds discuss people.”, Eleanor Roosevelt
Oleh: M. Fadlan L Nasurung
Pengurus LAPAR Sulsel
Jelang pergantian tahun, kita mungkin kerap dibanjiri ajakan dan undangan yang datang dari kawan dan handai taulan. Ada banyak suguhan pilihan sebagai kegiatan tutup tahun. Kita khususnya yang hidup di kota besar, akan dengan mudah menjumpai agenda perayaan tahun baru yang sekaligus menjadi ajang pelepasan tahun lalu.
Di Kota Makassar, pusat upacara batas tahun itu rutin diadakan di Anjungan Losari. Tiba waktu ketika kerlap-kerlip petasan dan kembang api memenuhi langit, suara-suara bergemuruh saling bersahut-sahutan. Manusia-manusia tersenyum dan tertawa. Wajahnya berseri-seri. Jiwa diliputi perasaan senang-gembira.
Beberapa waktu kemudian, orang-orang pulang ke kediaman masing-masing, menutup perayaan di peraduan dengan kepulasan. Melupakan sampah-sampah yang berserak di sepanjang arena perayaan.
Secara umum orang-orang Indonesia memang punya budaya perayaan pada momentum-momentum tertentu, paling tidak ada tiga fase kehidupan yang memiliki nilai khusus yang senantiasa diramaikan dengan kegiatan seremonial, yakni kelahiran, pernikahan dan kematian.
Di desa-desa, dalam tiga momentum kehidupan tersebut, agama dan kebudayaan hadir dalam senyawa tradisi yang menghadirkan nuansa sakralitas, amanat-amanat luhur disampaikan lewat lisan seorang yang dituakan dan melalui simbol-simbol yang terdapat pada perangkat-perangkat upacara. Begitu juga dengan peringatan untuk momentum waktu-waktu tertentu yang memiliki arti khusus bagi masyarakat.
Di era modern yang serba rasional ini, tradisi yang lekat dengan sakralitas itu pelan-pelan semakin beranjak menuju senjakala. Ia kian ditinggalkan oleh masyarakat pewarisnya, diganti dengan tradisi-tradisi baru yang lebih kekinian, katanya. Padahal, rasionalitas sebuah tradisi sangat dipengaruhi oleh nalar kebudayaan yang melingkupinya,. Sejatinya rasionalitas itu sendiri tidaklah pernah berwajah tunggal.
Hal itulah yang menjadi salah satu kritik para penganjur post-modernisme.
Waktu berlalu dan tahun berganti, lalu setelah itu apa lagi? Kita terus bergerak melanjutkan hidup, menjalankan rutinitas sebagaimana biasanya. Syukur bila kita memaknai pergantian tahun itu, sebagai momentum merefleksi diri, membenahi segenap kekurangan yang kita sadari. Paling tidak untuk bisa melakukan tambal-sulam, mengingat salah dan dosa senantiasa menyertai setiap langkah, sengaja ataupun yang tak kita sengajai.
Satu hal yang mungkin luput dari ingatan kita, berapa buku yang telah kita baca dalam rentang tahun 2017 kemarin? Beberapa teman yang saya temui menjawab tidak ada, ada pula yang menjawab beberapa. Kendati tak semuanya sampai di lembar terakhir.
Orang-orang menulis hidupnya melalui status-status yang bejubel dan terus up date di media sosial. Namun jarang membaca kehidupan lewat buku-buku yang berjejer rapi di perpustakaan, baik yang konvensional maupun digital, perpustakaan umum maupun pribadi. Itupun jika memiliki hasrat membeli buku-buku, lalu mengonsumsinya pada waktu-waktu yang sebenarnya lapang, namun menjadi sempit karena kesibukan dan aktifitas yang begitu menyita.
Entah karena benar-benar dibikin sibuk oleh aktifitas produktif, atau hanya merasa sibuk dengan rutinitas yang itu-itu saja. Namun benarkah atas dalih itu tak ada lagi waktu untuk membaca?
Kalau kita selalu saja melupakan buku dalam perbincangan soal waktu, tak usah risau. Jika fenomena yang sama dari tahun ke tahun masih mampir di ruang dengar dan simak kita, begitulah orkestra kehidupan kita sebagai bangsa berputar.
Setiap tahun oang-orang memperdebatkan hal yang sama saja, tentang kebolehan ini dan itu, disertai jawaban yang sama pula. Tidak ada yang berubah. Ada pihak yang pro dan kontra, dua pihak itu lalu bertarung dalam jagad debat dunia maya, tahun lalu begitu dan tahun ini juga demikian. Yang berubah hanya soal intensitas perdebatan dan kuantitas orang-orang yang merasa terpanggil untuk turut juga dalam kebisingan.
Penulis meyakini, bangsa yang maju adalah bangsa pembaca. Kita mafhum bahwa aktifitas membaca itu tak bisa lepas dari buku. Buku adalah jembatan menuju pemahaman akan realitas yang fisik maupun metafisik. Tubuh kita dengan segala entitas dibaliknya adalah buku yang senantiasa bergerak.