Ayah Hamili Anak Kandung
Ayah Hamili Anak Kandung di Takalar, Berikut Ulasan Psikolog UNM
Kekerasan seksual yang ia alami bahkan berujung kehamilan. HJ mengandung enam bulan janin dari hubungan terlarang.
Penulis: Ari Maryadi | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUN-TIMUR.COM, TAKALAR - Malang nian nasib HJ (16). Remaja ini menjadi korban kekerasan seksual di Kabupaten Takalar.
Kekerasan seksual yang ia alami bahkan berujung kehamilan. HJ mengandung enam bulan janin dari hubungan terlarang.
Ironisnya, pelaku kekerasan seksual ini adalah ayah kandungnya sendiri, TT (50). Sang ayah melakukan perbuatan bejat ini selama dua tahun terakhir sejak 2017 lalu.
Menanggapi hal itu, Pengamat Psikologi Sosial Universitas Negeri Makassar, Basti Tetteng, menilai kasus seperti itu bukanlah hal baru.
Perilaku seks menyimpang, katanya, menjadi fenomena yang sering terjadi belakangan ini.
Basti selaku dosen mata kuliah perilaku seks ini menilai, perilaku seks menyimpang menjadi fenomena yang terus meningkat frekuensinya.
Menurutnya ada dua faktor utama yang memicu perilaku seks menyimpang terhadap sesama anggota keluarga.
Pertama faktor eksternal, kedua faktor internal pada kontrol diri.
Berikut ulasannya ketika diwawancarai oleh wartawan Tribun Timur, Selasa (10/12/2019).
Peristiwa seperti itu bukanlah peristiwa baru. Namun sudah sering terjadi. Frekuensi kasus semacam itu terus bertambah dari waktu ke waktu.
Penyebabnya ada sejumlah faktor yakni faktor eksternal dan internal.
Pertama faktor eksternal. Seperti stimulus seks.
Stimulus ini bisa muncul dari keseringan menonton film porno berupa gambar ataupun video. Hal itu bisa mempengaruhi tindakan menyimpang.
Jadi faktor pertamanya itu faktor eksternal dulu. Kalau seseorang itu sering membuka atau mengakses konten porno, itu akan membuat rangsangan seksnya semakin tinggi.
Stimulus kedua, orang tua bisa jadi stimulus seks yang kedua. Bisa jadi faktor anaknya, misalnya, memiliki cara berpakaian yang terbuka.
Mungkin montok yang bisa memunculkan rangsangan seks seseorang, termasuk anggota keluarganya sendiri.
Stimulus eksternal yang ketiga yakni keadaan di rumah. Seperti, apakah si orang tua sering tidur dengan anak gadisnya.
Misalnya tidur dalam satu ruangan tertentu. Nah ini kan mempengaruhi stimulus seks. Kalau orang itu lemah imannya, maka ya sudah, perilaku seks menyimpang berpotensi terjadi.
Jadi faktor eksternal dari ketiga itu, stimulus seks, gambar porno, serta cara berpakaian, dan cara tidur.
Kedua adalah faktor internal. Misalnya orangnya ataupun pelaku, memiliki kontrol diri terhadap rangsangan seksual yang lemah.
Ada banyak faktor stimulus secara eksternal, tapi bisa jadi faktor kontrol diri terhadap rangsangan seksual itu lemah.
Jadi karena kontrol diri terhadap rangsangan seksual lemah, melihat siapapun maka selalu memiliki hasrat seks.
Lalu ada keinginan, karena kontrol diri itu lemah. Pada akhirnya membuat yang bersangkutan menjadi tertutup hingga tidak lagi berfungsi pemikiran panjangnya.
Kontrol diri lemah, akhirnya fungsi berpikir panjangnya tidak berjalan dengan baik, bahkan tidak bekerja.
Pikiran panjang yang tidak berfungsi karena ditutupi oleh kontrol diri yang lemah.
Yang kedua, akibat kontrol diri yang lemah tadi itu tidak berfungsi pula rasa malu ataupun rasa bersalah yang tidak muncul.
Kalau kontrol diri lemah, ya pikiran akan rasa bersalah ataupun rasa malu tidak lagi berfungsi bahkan tidak bekerja.
Jadi rasa malu semestinya bekerja. Istilah Bugis-Makassar siri'nya tidak bekerja. Karena kontrol diri lemah.
Memang di rumah itu, sekarang dengan banyaknya peristiwa itu maka ayah ataupun orang terdekat tidak boleh kita percayai seratus persen.
Makna dari peristiwa-peristiwa seperti itu maka mari "mewaspadai" orang terdekat, terutama ayah bisa saja melakukan hal seperti itu.
Jadi orang tua patut juga "diwaspadai", dalam tanda petik ya. Artinya istri ataupun orang terdekat yang lain harus ambil peran.
Mereka harus saling memikirkan bahwa tindakan-tindakan perilaku seksual menyimpang itu bisa dilakukan oleh orang terdekat.
Bagaimana caranya memikirkan itu? Terhadap anak kandung pun harus ada kontrol, jangan sering tidur sama-sama.
Anakmu sudah gadis, jangan sering dipeluk lagi, kontrol pengawasan dari semua pihak di rumah, istri.
Memang kasus seperti itu banyak terjadi karena kontrol diri atas seks yang lemah. Kedua stimulus yang seks yang begitu kuat.
*Basti Tetteng, Pengamat Psikologi Sosial Universitas Negeri Makassar*