Demokrasi Pancasila Tanpa Opisisi
Jika benar demokrasi Pancasila sebuah jalan tengah tanpa oposisi, maka siapa yang akan menjadi pengawal aspirasi rakyat untuk mengontrol pemerintah?
Oleh: Usluddin
Mahasiswa Mahasiswa Magister Sosiologi/Awardee Beasiswa Kalla Group
Demokrasi sebuah sistem yang diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks Indonesia seperti saat ini, sebenarnya bukan lagi barang baru untuk diperbaincangkan. Sudah tidak terhitung jumlah kajian yang membahas tentang demokrasi dari berbagai sudut pandang, semua ini dilakukan untuk mendapatkan bentuk terbaik sistem demokrasi dan yang paling ramah terhadap kultur dan dinamika lokal yang ada.
Maklum, demokrasi merupakan ‘barang impor’ dari Eropa khususnya Yunani yang diterapkan sebagai sebuah ideologi guna menciptakan kehidupan seluruh lapisan warga negara yang berkeadilan sosial.
Prof Dr Anwar Arifin merupakan salah satu tokoh nasional (kelahiran Kabupaten Wajo) yang sudah sudah sangat paham tentang dinamika demokrasi baik di Indonesia maupun pengalaman beliau diberbagai belahan dunia.
Sebagai seorang akademisi plus pengalamannya menjadi anggota MPR-RI dua periode dan terlibat langsung dalam berbagai perumusan undang-undang, tentu beliau memiliki sudut pandang yang sangat kayasekaligus kritis tentang apa dan bagaimana sistem demokrasi khususnya jika dikontekskan pada Indonesia pasca Pilpres.
Bertempat di Ruang Prof. Syukur Abdullah FISIP Universitas Hasanuddin, beliau banyak membongkar pemahaman para peserta kuliah tamu (Selasa, 29 Oktober 2019) tentang demokrasi. Demokrasi Pancasila Tanpa oposisi dapat diartikan sebuah sistem demokrasi jalan tengah yang tidak condong ala Amerika yang serba swasta dan individualistik serta tidak pula seperti Eropa yang mengandalkan kekuatan parlemen.
Demokrasi Pancasila Tanpa Oposisi yang menjadi tema sentral, beliau berangkat dari sebuah prolog tentang kondisi perpolitikan terkini.
Menurutnya, setelah merapatnya Prabowo Subianto dalam kabinet Indonesia Maju jilid II yang digagas Presiden Jokowi semakin menegaskan bahwa rupa perpolitikan kedepan semakin akan menegasikan para pihak yang akan menjadi oposan terhadap jalannya pemerintahan yang berkuasa.
Atas kondisi ini, setidaknya ada dua sudut pandang yang berkembang yaitu kubu koalisi Jokowi yang menentang kebijakan ini. Pendukung Prabowo sendiri yang kecewa sebab telah bergabung dengan pemerintahan yang menjadi rival saat Pilpres yang lalu.
Sepintas memang kita bisa emosi dengan pemandangan politik yang tak biasa ini, tapi jika ingin berpikir lebih jauh apa yang dilakukan oleh Jokowi sudah sangat pas jika melihat segregasi saat Pilpres dan pasca-Pilpres berlangsung. Ketegangan dan kontraksi sosial antar masing-masing pendukung begitu besar, sehingga sangat memungkinkan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
Merapatnya kubu Prabowo akan meminimalisir segregasi tersebut sehingga kerukunan dalam masyarakat dapat kembali dirajut untuk mendukung pemerintahan yang ada sekarang demi meraih cita-cita bangsa dimasa mendatang.
Sebagai tokoh yang merasakan kepemimpinan semua presiden yang pernah memimpin Indonesia, beliau juga menceritakan bagaimana pola demokrasi yang dianut masing-masing pemimpin di masanya. Kita pernah berkiblat pada demokrasi terpimpin yang diperankan oleh Presiden Soekarno.
Daya kharisma yang dimiliki oleh sang proklamator kemerdekaan itu sangat memadai untuk memimpin sebuah negara yang baru saja lepas dari belenggu penjajahan. Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat tetapi kekuatan permusyawaratan yang memberi hidup. Demokrasi mufakat juga bermakna demokrasi yang tidak didikte oleh suara mayoritas atau suara minoritas elit penguasa maupun pemilik modal.
Demokrasi pancasila yang diterapkan oleh Presiden Soeharto ternyata mampu melegalkan pemerintahannya hingga 32 tahun lamanya.
Perbedaan dari keduanya adalah cara akhir dalam menentukan keputusan akhir, yang lebih menekankan adanya mekanisme voting sebagai alternatif atas kebuntuan dalam musyawarah.