Demokrasi Pancasila Tanpa Opisisi
Jika benar demokrasi Pancasila sebuah jalan tengah tanpa oposisi, maka siapa yang akan menjadi pengawal aspirasi rakyat untuk mengontrol pemerintah?
Presiden Suharto memang bukan dari kalangan terdidik maupun teknokrat, tapi beliau banyak menggunakan mereka untuk menduduki pos-pos penting untuk menunjang kinerja negara. Prof. Habibie, Prof. Amiruddin dkk merupakan teknokrat yang kapasitas keilmuannya sangat mumpuni dibidang masing-masing dan juga menjadi pejabat agar bisa memberikan kontribusi terbaiknya demi bangsa dan negara.
Meskipun harus diakui jika kebijakan negara belum sepenuhnya sesuai dengan kehendak dan cita-cita Pancasila ketika itu. Ketika sesi pertanyaan dibuka, penulis berkesempatan berinteraksi langsung dengan beliau.
Penulis berangkat pada analisis Prof Amien Rais dalam buku Selamatkan Indonesia, pada buku itu dijelaskan bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan dan ideologi yang berbiaya mahal hingga pada akhirnya hanya akan disetir oleh sekelompok orang.
Mereka yang ingin menjadi investor dalam demokrasi membiayai kandidat tertentu. Jika kandidatnya menang, maka semua kepentingan bisnisnya dipastikan berjalan mulus karena mendapat legitimasi dari rezim yang berkuasa. Inilah fenomena korporatokrasi. Jika benar demokrasi Pancasila sebuah jalan tengah tanpa oposisi, maka siapa yang akan menjadi pengawal aspirasi rakyat untuk mengontrol pemerintah?
Menjawab pertanyaan penulis, beliau lebih awal membenarkan tentang upaya korporatokrasi yang semakin tampak dan menjadi satu warna baru dalam budaya politik kita. Hal itu merupakan konsekuensi yang harus kita bayar mahal setelah demokrasi menghendaki adanya pemilihan langsung oleh rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya di legislatif maupun eksekutif.
Untuk mengontrol jalannya pemerintahan maka kita sebagai warga negara harus memiliki kecakapan keterampilan dan seperangkat pendidikan yang mumpuni agar sanggup ambil peran dalam penyelenggaran negara. “Kalian sebagai generasi penerus bangsa harus mampu mendedikasikan hidup Anda untuk mengurus negara. Sebab itulah urusan tertinggi,” ujarnya beliau sambil menunjuk kepada semua peserta kuliah tamu.
Pasca-Reformasi, demokrasi yang kita anut semakin mengarah pada corak neoliberal. Hal ini ditandai dengan dicabutnya kewenangan MPR-RI untuk memilih dan menetapkan presiden dan wakil presiden untuk memimpin Indonesia. Padahal kita tahu bersama bahwa inilah yang selaras dengan apa yang dikehendaki oleh Pancasila sebagai dasar dan ideologi kita dalam menjalankan pemerintahan.
Prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat menjadi landasan utama dalam menetapkan seorang presiden dan wakil presiden ketika itu, dan ini sesuai dengan sila ke-4 dalam amanah Pancasila.
Sebagai tokoh bangsa yang sudah senior, kami tidak tahun kapan Allah akan memanggil kami untuk menghadap keharibaan-Nya. Tugas mengurus negara dipastikan akan berada dipundak saudara untuk tetap meneruskan perjuangan dalam mengisi hari-hari pasca kemerdekaan kita dimasa mendatang.
Jangan pesimis melihat negeri kita hari ini. Jangan juga mengalahkan demokrasi Pancasila sebab belum bisa diaplikasikan dengan baik.
Itulah tugas saudara sebagai garda terdepan untuk membumikan demokrasi Pancasila demi mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluru rakyat Indonesia.(*)