Mengabaikan Kesehatan Mental
Perihal seorang yang dulunya baik, lalu diabaikan dan akhirnya menjadi jahat. Penyebabnya karena lingkungannya sendiri. Rundungan. Ledekan.
* Catatan Film Joker
Oleh Arief Balla
Alumni Southern Illinois University, Amerika Serikat/ Penerima Beasiswa Fulbright 2017
Saya sedang menghadiri perayaan teman Rusia saya di apartemennya malam itu ketika sebuah kabar buruk masuk ke hape saya. Sahabat saya meninggal dunia. Baru saja. Teman saya mengirimkan berita online yang memuatnya. Dia bunuh diri, menurut berita itu. Saya pulang dengan perasaan tidak menentu. Apa yang sedang terjadi?
Saya mengenal sahabat saya itu sebagai orang yang kuat, petarung, baik, dan sabar. Di usianya yang sedang dalam masa produktif dan dengan masa depan karir yang cemerlang, orang-orang beranggapan hidupnya dalam baik-baik saja. Saya pun beranggapan demikian.
Bahkan kami masih sempat berkomunikasi dan merencanakan harus ngopi bareng ketika saya balik ke tanah air beberapa waktu sebelumnya. Tentu, obrolan chat kami penuh dengan canda seperti biasanya. Sama sekali tidak ada yang perlu dicurigai dan dikhawatirkan.
Hingga akhirnya, saya mengerti satu hal. Saya tahu dari sahabat dekatnya yang lain. Ia depresi. Tekanan pekerjaan, keluarga, dan percintaan bersatu padu menumbangkan pertahanan dirinya. Ia memilih memendam dalam hati, selama-lama yang ia bisa. Hingga depresi itu mengakhiri hidupnya sendiri.
Beritanya memang tidak terkenal seperti beberapa tokoh publik/artis yang bunuh diri. Sama halnya berita-berita bunuh diri lain yang sering kita baca di koran kriminal atau koran biasa. Tapi toh semuanya berakhir dengan cara yang sama yaitu bunuh diri. Hanya karena berita bunuh artis membuat heboh dan menyedihkan lebih banyak orang (atau fans) membuat kematiannya tidak lebih penting dari yang lain. Sama saja.
Chester Bennington (vokalis Linkin Park), Anthony Bourdain (jurnalis dan traveler), dan Robin Williams (komedian) kita semua tahu mereka memiliki kehidupan yang tampak baik-baik saja, serba berkecukupan dan tentu saja berbahagia. Kita kemudian tahu mereka bunuh diri karena tidak sanggup memendam beban yang selama ini dipendamnya. Benarlah, kita tidak pernah tahu pertarungan apa yang sedang terjadi dalam diri setiap orang.
Contoh-contoh di atas adalah daftar orang-orang baik yang kemudian berakhir dengan cara yang tidak baik. Anda boleh menambah daftarnya, jika mau. Saya yakin ada beberapa orang yang Anda kenal yang dikenal sebagai orang yang baik.
Beberapa dari mereka barangkali telah mengakhiri hidupnya dengan cara tidak baik. Beberapa lainnya barangkali masih berusaha memendam dan menjaga bebannya. Kita berdoa semoga mereka bertahan dan mengatasi pertarungannya.
Sungguh betapa seharusnya kita ambil bagian menjadi tempat bercerita bagi mereka yang membutuhkan sandaran dan tempat bercerita. Mereka yang menyimpan sekam api dalam dadanya dan sewaktu-waktu bisa membakar tubuhnya.
Bisa jadi kita yang menganggap diri ini baik justru menjadi penyebab orang-orang baik menjadi jahat dan sialnya kita menganggapnya baik-baik saja. Sangat bisa terjadi demikian. Setidaknya inilah salah satu pesan film Joker. Sebuah film yang sedang viral. Perihal seorang yang dulunya baik, lalu diabaikan dan akhirnya menjadi jahat. Penyebabnya karena lingkungannya sendiri. Rundungan. Ledekan. Akhirnya menjadi ledakan dalam dadanya. Ia berubah menjadi orang jahat.
Proses berubah menjadi orang jahat tentu tidak terjadi begitu saja. Tidak lahir dari ruang hampa. Lingkungan, terutama orang-orangnya, turut berperan. Apalagi sebab bisa jadi suasana lingkungan sosial itu dibentuk oleh orang-orang di dalamnya. Alih-alih menciptakan lingkungan yang suportif bagi mereka yang mengalami rundungan kesehatan mental justru menjadi lingkungan yang menekan psikologi penderita kesehatan mental.
Jika ditarik dalam konteks negeri kita, lingkungan dan kultur sosial kita yang sering meremehkan kesehatan mental bahkan menjadikannya candaan menjadi tempat yang ‘cocok’ memperparah tekanan mental penderita. Apalagi memang menurut sebuah studi, kesehatan mental di negara-negara berkembang –seperti di Indonesia- masih sering diabaikan. Dianggap tidak penting.
Kesehatan mental tidak dianggap sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Luka mental juga dianggap tidak dianggap begitu dibandingkan dengan luka fisik. Perlakuannya pun berbeda. Seorang yang mengalami gangguan depresi dan emosi yang tidak stabil sering disepelekan. Kalau perlu mereka dianggap salatnya kurang khusyuk, kurang berdoa dan kurang beriman saja.
Alih-alih si penderita bangkit, mereka justru merasa semakin tertekan. Merasa dirinya hina, tidak punya kesempatan dan lambat laun kehilangan harapan. Mereka menjadi kehilangan kepercayaan atau kepercayaannya dihancurkan oleh kita-kita yang justru merasa diri baik-baik. Namun, cara berpikir seperti itu justru sebenarnya menunjukkan kita tidak baik-baik saja.
Alih-alih mengatakan mereka kurang berdoa atau kurang salat, bisa jadi justru kita ‘dipercayakan’ oleh Tuhan untuk mendengarkan ceritanya dan mendampinginya menghadapi masalahnya. Orang-orang ini biasanya hanya butuh tempat bercerita yang nyaman tanpa dihakimi. Dengan begitu mereka bisa melepaskan luapan emosi dalam dirinya. Kita tidak perlu merasa direpotkan sampai harus ke rumah sakit kalau tidak bisa. Setidak-tidaknya kita bersedia mendengarkan dan tidak terburu-buru menghakimi apa yang hanya bisa kita lihat dari luar.
Seorang pemain hoki terkenal, juara olimpiade, dan pemain terbaik NHL tujuh kali sisa menarik tarikan pistol yang dimasukkan di mulutnya dan mengakhiri hidupnya. Dia memiliki segalanya. Namanya Theo Fleury. Namun, ingatan masa kecil mengalami pelecehan seksual senantiasa menghantuinya. Ia kemudian terjerat narkoba dan alkohol dan nyaris mengakhiri hidupnya. Beruntung ia bertahan dan berhasil memenangkan pertarungan dalam dirinya. Ia akhirnya menulis buku yang menjadi laris manis. Awalnya ia menulis buku tanpa ekspektasi dan hanya ingin memindahkan traumanya ke tempat yang lain dalam bentuk buku. Tak disangka, ratusan ribu eksampler terjual dan ratusan ribu pembacanya berkata, “Me too”. Saya juga.
Fleury kemudian ke sana ke mari menjadi pembicara sekaligus pendengar. Ia menyadari ia hanya butuh orang-orang yang mendengar ceritanya. Orang-orang yang bersedia bercerita lebih mendalam tanpa menghakimi. Berbicara tanpa kekhawatiran dan ketakutan. Semoga masih ada Fleury-fleury lain dan cukuplah film Joker menjadi pengingat bagi kita semua.
Selamat memperingati hari kesadaran mental internasional yang jatuh pada bulan Oktober ini. (*)