Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Gelar Diskusi Publik RUU, Ketua Dema UINAM: Penentuan Arah Gerakan

Ketua Dema UINAM, Junaedi, dalam keterangan tertulisnya mengungkapkan, landasan mengadakan diskusi publik

Penulis: Muslimin Emba | Editor: Imam Wahyudi
muslimin emba/tribun-timur.com
Dema Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar menggelar diskusi publik terkait rancangan undang-undang yang menuai kontroversi pada kalangan mahasiswa dan masyarakat di ruang rapat senat rektorat lantai 4 kampus UIN Alauddin Makassar, Jumat (11/10/19) siang. 

"Kekerasan terhadap kepada jurnalis itu seperti Lebaran, setiap tahun ada kekerasan jurnalis dan penyelesaiannya adalah maaf-maafan," kata Syamsuddin di kantor redaksi Tribun Timur, Selasa (8/10/2019) malam.

Menurutnya, penyelesaian kekerasaan kepada jurnalis tidak pernah diselesaikan secara hukum atau undang-undang.

"Tak ada itu maaf-maafan dalam undang-undang pers karena setiap tahun ada kekerasan maka saya kuatirkan bisa menjadi pola penyelesaian kekerasan terhadap profesi jurnalis apalagi pelakunya oknum kepolisian," katanya.

Baca: Inilah Kesalahan Fatal Luna Maya ke Pacarnya Hingga Gagal Nikah, Termasuk Reino Barack & Ariel Noah

Syamsuddin Radjab menjelaskan pekerjaan jurnalis yakni menyampaikan hak warga negara terkait informasi dan hak mengetahui.

"Tugas-tugas ini hanya satu pekerjaan yang bisa menjalankan yakni jurnalis. Kalau polisi melakukan kekerasan kepada jurnalis maka itu adalah perlawanan terhadap konstitusi negara," katanya.

Hal itu sesuai dengan cita-cita reformasi, pada awal reformasi, pemerintah menghasilkan undang-undang no 9 tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum (unjuk rasa) dan undang-undang no 40 tahun 1999 tentang Pers.

Baca: Rustan Warga Kahu Bone Luka Parah Usai Berkelahi dengan Pencuri yang Masuki Kamar Putrinya

"Kekerasan kepada jurnalis itu dapat dipidana 2 tahun dan denda Rp 500 juta, jika aparat penegak hukum yang melakukan biasanya ditambah lagi," katanya.

Sebelumnya, Kabid Propam Polda Sulsel Kombes Pol Hotman C Sirait mengatakan kesulitan untuk mengidentifikasi secara pasti siapa pelaku pemukulan tiga wartawan di Makassar pada Selasa (24/9/2019) saat meliput aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Sulsel, Jl Urip Sumoharjo.

Hotman mengungkapkan, papan nama oknum aparat yang melakukan pemukulan tersebut tertutup dengan tangan kerumunan sehingga sulit menentukan secara pasti polisi yang melakukan pemukulan.

Baca: Pendaftaran CPNS Dibuka November 2019: Link Resmi BKN SSCN.BKN.go.id, Dokumen Penting, Imbauan BKN

Syamsuddin Radjab menganggap pernyataan Hotman tak berkaitan dengan tindak kekerasan kepada jurnalis.

"Itu adalah sanksi internal kepolisian, tak ada hubungannya dengan masalah kekerasan yang bisa melanggar undang-undang Pers dan KUHP (kitab undang-undang hukum pidana)," katanya.

Menurut Syamsuddin, alasan Hotman ini menyesatkan.

"Mereka bertugas ini sebagai anggota kepolisian, dan alasan ini bertentangan dengan hukum, mengidentifikasi pelaku dari unsur polisi atau TNI paling mudah, tinggal tanya siapa yang memukul wartawan tersebut. Dan kalau urusan internal biarkan mereka urus sendiri tapi penyelesaian tindak lanjut pidananya kawal di reskrim (reserse kriminal) saja melalui pendampingan teman-teman advokat," katanya.

Dengan demikian, pola penyelesaian harus melalui Undang-undang No 40 tentang Pers, Undang-undang 39 tentang HAM, Undang-undang No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik.

Baca: Kabar Buruk Ashanty Istri Anang Hermansyah Ibu Aurel Hermansyah, Idap Penyakit Autoimun, Doa Ngalir

"Ini harusnya melalui pengadilan, kita akan menguji alasan tindak kekerasan di pengadilan. Saat terjadi kekerasan mereka bertindak atas nama institusi kepolisian, mereka yang bertugas meliput di sana atas nama jurnalis," katanya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved