Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Bandingkan Reaksi Surya Paloh dengan Tanggapan Kubu AHY Seusai 'Dipermalukan' Megawati

Bandingkan Reaksi Surya Paloh dengan Tanggapan Kubu AHY Seusai 'Dipermalukan' Megawati

Editor: Ilham Arsyam
Youtube
Video viral Megawati Permalukan Surya Paloh dan AHY 

Bandingkan Reaksi Surya Paloh dengan Tanggapan Kubu AHY Seusai 'Dipermalukan' Megawati

TRIBUN-TIMUR.COM - Momen ketika Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri tak salami Agus Harimurti Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Nasdem menjadi viral di media sosial.

Terlihat Megawati tak salami AHY meski AHY sudah mengulurkan tangan.

Namun, sebelumnya AHY terlihat sudah memberi salam terlebih dulu pada pada Megawati.

Megawati Soekarnoputri melewati dan menepis uluran tangan yang disampaikan Ketua Kogasma Partai Demokrat, Agus Yudhoyono.
Megawati Soekarnoputri melewati dan menepis uluran tangan yang disampaikan Ketua Kogasma Partai Demokrat, Agus Yudhoyono. (Kompas TV)

Bukan hanya AHY, Megawati juga tak salami Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. Megawati langsung bersalaman dengan Wakil Presiden terpilih, Ma'ruf Amin.

Momen ini terjadi saat pelantikan Anggota DPR, DPD dan MPR di gedung DPR MPR Senayan Jakarta pada Selasa, 1 Oktober 2019. Momen saat Megawati tak salami AHY dan Surya Paloh ini menjadi viral di media sosial.

"Hahaha, tanggapan saya, saya ketawa aja," kata Surya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Menurut Surya, hubungannya dengan Presiden Republik Indonesia ke-5 itu berjalan dengan baik. Ia mengatakan, persahabatannya dengan Megawati sudah hampir 40 tahun.

"Oh hubungan saya dengan Bu Mega, kalau dari saya pasti baik-baik saja lah, baguslah. Mbak Mega kan udah 40 tahun saya berteman," ujarnya.

Surya mengatakan, tidak ada masalah pribadi antara dia dan Megawati.

"Dari saya tidak ada masalah personal," imbuhnya.

Sementara itu AHY tak menanggapi langsung kejadian itu.

Namun politisi-politisi kubu Demokrat menganggap hal itu bukanlah kesengajaan.

"Mungkin karena banyaknya yang mengulur tangan untuk berjabat, ada yang kelewatan. Kebetulan yang dilewati itu pejabat tinggi partai juga, sehingga jadi viral melahirkan banyak komentar," ucap Anggota Majelis Tinggi Demokrat Max Sopacua, Rabu (2/9/2019).

Menurut Max hal itu tak perlu diperdebatkan.

"Bagi Demokrat tidak merupakan sesuatu yang perlu didebatkan. Toh, waktu pemakaman almarhumah Ibu Ani Yudhoyono di TMP Kalibata, Bu Megawati hadir dan bersalaman dengan Pak SBY dan anggota keluarga yang lain," tambahnya.

 “Bisa saja fokus orang terhadap sekitarnya berkurang. Apalagi sebelum naik ke podium, itu Bu Mega sudah disalami dan menyalami banyak sekali orang,” ujar Jansen Sitindoan politisi Demokrat lainnya.

Jansen menyebut Megawati tak menampakkan gelagat tak senang dengan AHY.

"Bu Mega kan sudah sempat senyum sama AHY. Senyum hangat. Jadi semua baik baik saja."

"Apalagi itu kan hari bahagia untuk bu Mega ya, Mbak Puan jadi Ketua DPR dan kursi PDIP juga banyak sekali di Dewan. Jadi tidak mungkinlah orang yang hatinya sedang senang begitu tidak hangat ke orang. Dan beberapa waktu belakangan ini hubungan Demokrat dengan PDIP juga kan baik-baik saja. Sangat baik malahan. Jadi tidak ada masalah,” jelasnya.

PDIP Ungkap Penyebab

Ketua DPP PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno membantah hubungan Megawati Soekarnoputri dengan Surya Paloh retak.

"Tidak ada apa-apa, orang ( Megawati Soekarnoputri ) lagi jalan, dipanggil kanan-kiri. Saya juga sering," ujar Hendrawan Supratikno saat ditemui di Kompleks Parlemen, Rabu (2/10/2019).

"Jadi kemarin begini lho, di DPP juga sering kok saat saya duduk di belakang, lalu Ibu ( Megawati Soekarnoputri ) lewat, salaman, dan terus ada yang manggil, itu biasa," tuturnya.

Menurut Hendrawan Soekarnoputri, peristiwa tersebut menjadi hal yang lumrah, apalagi saat acara yang kebetulan dihadiri oleh banyak pejabat penting.

"Biasa ya, apalagi yang disalami banyak. Jadi tidak disengaja, ketika dalam komunitas yang banyak orangnya, ada yang bisa salaman dan ada yang tidak itu biasa. Ini kan dibuat seolah-olah ada rivalitas antara PDI-P dan Nasdem," tuturnya. 

Daftar Tokoh yang Pernah Berseteru dengan Megawati 

Selain Surya Paloh, berikut daftar tokoh yang pernah berseteru dengan Megawati Soekarnoputri:

1. Gusdur

Hubungan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan Megawati Soekarnoputri memberi punya kisah tersendiri, baik dari sisi kehidupan maupun kancah perpolitikan.

Dikutip dari buku Hak Gus Dur untuk Nyleneh karya E. Kosasih, Gus Dur menganggap Megawati sebagai adik.

"Seperti adik saya," kata Gus Dur, seperti ditulis dalam buku tersebut. Meski keduanya dekat dan akrab, tak jarang pula mereka bertengkar.

Salah satunya, pada momentum jelang Pemilu 1997. Saat itu, Gus Dur pergi ke banyak tempat bersama Siti Hardianti Rukmana alias Mbak Tutut.

Gus Dur membawa Tutut masuk ke kantong-kantong massa Nahdlatul Ulama seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Lampung, dan memberi angin bagi Tutut untuk menarik warga Nahdliyin agar memilih Golkar.

Megawati saat itu menyerukan kepada para pendukungnya untuk golput, tak memilih pada Pemilu 1997.

2. Susilo Bambang Yudhoyono

Megawati Soekarnoputri juga tercatat pernah memiliki hubungan tidak baik dengan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono. 

Hal itu terjadi sejak Mega dan SBY bersaing dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004. 

Dalam Pilpres itu, Mega yang merupakan calon petahana dikalahkan oleh SBY, mantan menterinya. 

Sejak saat itu, Mega tak pernah menghadiri upacara HUT Kemerdekaan RI di Istana Kepresidenan meski Mega diundang dalam kapasitasnya sebagai mantan presiden. 

Mega baru hadir dalam upacara HUT Kemerdekaan RI saat Jokowi menjadi Presiden. 

Pertemuan pertama Mega dan SBY dalam upacara HUT Kemerdekaan RI terjadi pada 17 Agustus 2017. 

Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono sempat bersalaman dan saling menyapa saat keduanya hadir di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/8/2017). Kedua tokoh tersebut hadir di istana untuk mengikuti upacara peringatan hari ulang tahun Republik Indonesia ke-72.
Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono sempat bersalaman dan saling menyapa saat keduanya hadir di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/8/2017). Kedua tokoh tersebut hadir di istana untuk mengikuti upacara peringatan hari ulang tahun Republik Indonesia ke-72. (Anung Anindito (Dokumentasi Susilo Bambang Yudhoyono))

Dikutip dari Kompas.com, momen SBY dan Megawati bersalaman sempat diabadikan oleh staf pribadi SBY, Anung Anindito.

Dalam foto yang diterima Kompas.com, SBY dan Megawati terlihat saling menatap satu sama lain saat bersalaman.

Senyum tipis terpancar dari wajah keduanya.

Sementara anak Megawati, Puan Maharani serta istri SBY, Ani Yudhoyono, tampak tersenyum lebar menyaksikan momen tersebut.

Ini adalah kali pertama bagi SBY menghadiri upacara kemerdekaan di Istana Kepresidenan setelah lengser sebagai Presiden keenam RI.

Pada HUT RI tahun 2015 dan 2016 lalu, SBY lebih memilih merayakan kemerdekaan di kampung halamannya di Pacitan, Jawa Timur.

Sementara, Megawati juga tidak pernah hadir di Istana selama 10 tahun SBY menjabat.

Namun, begitu SBY lengser dan digantikan Jokowi, Megawati tak pernah absen merayakan hari kemerdekaan di Istana.

Terakhir, pertemuan keduanya terjadi dalam suasana duka saat meninggalnya suami Megawati, Taufiq Kiemas, pada tahun 2013.

SBY ketika itu memimpin upacara penghormatan terakhir kepada Ketua MPR itu.

Mega Kembali Bertemu SBY saat Pemakaman Ani Yudhoyono

Mega kembali bertemu SBY dalam momen pemakaman istri SBY, Kristiani Herawati atau Ani Yudhoyono di Taman Makam Pahlawan (TMP) Jakarta, Minggu, 2 Juni 2019 sore. 

Dikutip dari Kompas.com, SBY dan Mega terlihat berjabat tangan. 

Kedua tokoh ini sudah lama tak bertemu.

Peristiwa jabat tangan itu, terjadi saat SBY tiba di titik pemakaman Ani Yudhoyono.

Megawati dan sejumlah pejabat yang duduk sejajar berdiri menyambut SBY yang langsung menyalami mereka.

Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) berbincang dengan Presiden Ke-5 Megawati Soekarnoputri (kanan) saat menghadiri pemakaman ibu negara Ani Yudhoyono di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama (TMP) Kalibata, Jakarta, Minggu (2/6/2019).
Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (kiri) berbincang dengan Presiden Ke-5 Megawati Soekarnoputri (kanan) saat menghadiri pemakaman ibu negara Ani Yudhoyono di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama (TMP) Kalibata, Jakarta, Minggu (2/6/2019). (ANTARA FOTO/Olhe/Lmo/nz(Olhe))

Di antaranya mantan wakil presiden Boediono, Presiden ke-3 RI BJ Habibie, dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo.

Megawati tampak mengucapkan sesuatu kepada SBY dan tersenyum.

Sementara SBY menganggukan kepala, lalu duduk di antara BJ Habibie dan Iriana Jokowi.

Tempat duduk SBY dan Megawati hanya dipisahkan Iriana.

3. Prabowo Subianto

Dalam pidato politiknya sebagai peserta konvensi capres di Istora Senayan pada Februari 2004, Prabowo menyoroti penjualan aset negara.

Ia sedang mengkritik Megawati yang menjual saham sejumlah BUMN kepada asing.

Melalui pidato berapi-api yang dihadiri 4.200 kader Golkar DKI Jakarta di Lapangan Tenis Tertutup Istoran Senayan, Prabowo menyerukan agar bangsa ini jangan terus-terusan menjual aset negara ke pihak asing agar tidak menjadi "kacung" di negeri sendiri.

"Setelah Indosat, lalu diumumkan BNI 46 akan dijual ke pihak asing. Dulu, kakek saya, almarhum Margono Djojohadikusumo, diperintahkan Bung Karno dan Bung Hatta untuk mendirikan bank milik Indonesia yang pertama dan sekarang akan dijual. Artinya, telekomunikasi dijual dan bank-bank juga dijual. Kita akan jadi kacung di negara kita sendiri," ujarnya.

Kebijakan privatisasi aset di era Megawati memang menjadi kontroversi. Megawati menjual Indosat seharga Rp 4,6 triliun kepada Tamasek Holding Company, BUMN Singapura.

Kebijakan privatisasi adalah peluru yang digunakan lawan untuk menjadikan Megawati sebagai bulan-bulanan politik. Prabowo menuding elite sebagai pihak yang bertanggung jawab atas buruknya perekonomian saat itu.

"Elite kita telah mengkhianati bangsanya sendiri. Aset dijual, elite diam saja. Padahal, kita sudah kehilangan kehormatan dan kemerdekaan kita sebagai bangsa. Kita masih tenang saja, padahal kita sudah dijajah orang asing. Saya terus terang malu. Bank-bank dijual murah, telekomunikasi kita juga dijual. Kita akan menjadi kacung di negara kita sendiri. Saya maju karena saya malu sebagai bangsa Indonesia," kata Prabowo pada 21 Februari 2004.

Prabowo gagal memenangi tiket capres dari Partai Golkar. Ia dikalahkan Wiranto yang kemudian menggandeng Salahuddin Wahid sebagai calon wakil presiden. Sementara Megawati berduet dengan Hasyim Muzadi.

Keduanya kalah oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla.

Bersatu di 2009

Tiga tahun setelah kekalahan di 2004, Prabowo akhirnya hengkang dari Golkar.

Ia memilih mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra bersama Suhardi, Fadli Zon, Ahmad Muzani, M Asrian Mirza, Amran Nasution, Halida Hatta, Tanya Alwi, Haris Bobihoe, Sufmi Dasco Ahmad, Muchdi Pr, hingga Widjono Hardjanto. Bersama dengan PDI-P yang kalah pemilu, Gerindra berdiri di kubu oposisi.

Lewat diskusi yang amat alot, karena tak ada yang bersedia menjadi calon wakil presiden, kedua partai akhirnya bersepakat mengantarkan duet Megawati-Prabowo di 2009.

Di Batu Tulis, Bogor, Megawati dan Prabowo menyepakati perjanjian yang kelak dikenal dengan Perjanjian Batu Tulis. Salah satu isinya, jika nanti pasangan Megawati-Prabowo menang, Megawati dan PDI-P akan mengusung Prabowo untuk maju sebagai calon presiden di Pilpres 2014.

Sayangnya, pasangan Megawati-Prabowo hanya meraup 26,7 persen suara dan kalah telak dengan SBY-Boediono yang mengantongi 60,8 suara. Kendati kalah di 2009, hubungan keduanya baik-baik saja. Gerindra kembali berkoalisi dengan PDI-P di luar pemerintahan. Mereka berjuang bersama di Pilgub DKI 2012.

Joko Widodo yang kala itu menjabat Wali Kota Solo diboyong ke Jakarta dan dipasangkan dengan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Mereka menang dengan 53,8 persen suara, mengalahkan petahana Fauzi Bowo.

Terbelah di pilpres

Menjelang Pilpres 2014, kepentingan politik masing-masing membuat keduanya bersimpangan jalan. Saat itu, Mega memutuskan tak maju lagi di pilpres.

Ia memilih mengusung Jokowi. Hal ini tentu saja membuat Gerindra kesal. Jokowi yang namanya ikut dibesarkan oleh Gerindra diusung oleh PDI-P bersaing dengan Prabowo dalam pilpres.

Prabowo tak banyak memberikan pernyataan politik. Kekecewaan Gerindra banyak disuarakan Fadli Zon yang selalu lugas dan tajam menyerang Megawati terkait Perjanjian Batu Tulis.

Prabowo memilih diam. Ia bahkan masih berharap bisa berduet dengan Mega.

"(Koalisi dengan PDI-P) kenapa tidak? Bangsa Indonesia butuh partai yang baik dan saya pikir PDI-P baik dan diisi oleh tokoh-tokoh yang nasionalis," kata Prabowo seusai memantau hasil quick count pileg 2014 di DPP Partai Gerindra, 9 April 2014.

Menurut Prabowo, bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, tetapi juga memiliki masalah besar.

Prabowo mengatakan, masalah-masalah yang besar itu tidak mungkin bisa diselesaikan oleh satu partai saja, sehebat dan sekuat apa pun partai itu.

"Saya sudah sering menjelaskan, masalah bangsa kita sangat besar. Gerindra ingin jadi bagian dari solusi bangsa. Oleh karena itu, dengan siapa saja yang ingin membangun bangsa ini, kami siap bekerja sama," ujarnya.

Gerindra kemudian mengusung Prabowo sebagai presiden dengan berkoalisi bersama Partai Golkar, PAN, PKS, PPP, dan PBB.

Sementara di kubu Jokowi-Kalla ada PKB, Nasdem, dan Hanura.

Seperti halnya pada Pilpres 2019, pada 2014 pun Prabowo menggugat kemenangan Jokowi. Namun, toh akhirnya Prabowo menerima kekalahannya.

4. Rahmawati Soekarnoputri

Hubungan Megawati Soekarnoputri dengan saudara kandungnya, Rahmawati Soekarnoputri juga sempat dikabarkan renggang.

Menurut Rachma, memang ada perbedaan antara dia dan Mega terkait pemahaman mengenai visi dan ideologi sang ayah, Presiden pertama dan proklamator RI, Soekarno.

Kritikan pun kerap dilontarkan Rachma terhadap kakaknya.

"Saya enggak iri. Biasa saja. Saya kira, saya mengkritik sudah lama," ucap dia.

Kritik kepada Mega, kata Rachma, sudah disampaikannya sejak Mega diproyeksikan sebagai ketua umum PDI Perjuangan.

"Ajaran Bung Karno mana mereka yang jalankan? Mereka (PDI-P di bawah Mega) liberal, federalis," kata dia.

Puncaknya, kata Rachma, terjadi saat Mega menjadi presiden RI. Dia mengkritik dan mengingatkan Mega dengan berbagai cara agar tidak mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 membawa Indonesia ke arah yang liberal.

"Ini masalah prinsipil. Ini bisa jadi pintu asing untuk mengacak-acak NKRI," kata dia.

Sebelumnya, Rachma menyatakan telah mundur dari Partai Nasdem sejak 23 Juli lalu.

Rachma beralasan pengunduran dirinya disebabkan posisinya di Dewan Pertimbangan Nasdem diabaikan oleh DPP Nasdem, termasuk oleh Ketua Umum Nasdem Surya Paloh.

"Selama menjadi (Ketua) Wantim, saya tidak digubris secara sosiologis politis maupun ideologis. Kalau suara Wantim tidak didengar, saya berpikir pada waktu itu, mungkin saya akan mengundurkan diri," ujar dia.

Rachma mengaku sudah mengirimkan surat resmi kepada DPP Nasdem ihwal alasan partai tersebut masuk dalam barisan pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Kendati demikian, dia mengatakan surat itu pun tidak dijawab oleh DPP Nasdem.

Namun saat ini, Rachmawati yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra besutan Prabowo Subianto itu, menilai hubungannya dengan Megawati (Ketua Umum PDI-P) tidak ada masalah.

Meskipun lanjut dia, selama ini antara dirinya dengan kakaknya Megawati dikenal selalu berseberangan dalam hal politik.

"Hubungnya dengan Mbak Mega (Megawati) tetap saja saudara," katanya kepada TribunSolo.com usai peresmian posko Garda Relawan Suka Prabowo (RSP) di Jalan Rajiman nomor 483, Laweyan, Kelurahan Bumi, Kecamatan Laweyan, Kota Solo, Jumat (8/2/2019).

"Nah, prinsip ya kita bisa saja berbeda," kata dia menegaskan.

Bahkan Rachmawati yang saat ini juga menjadi tokoh sentral Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi itu, menekankan, bahwa dirinya tidak hanya anak biologis Bung Karno, sapaan akrab Soekarno.

"Anak Bung Karno tidak hanya satu, saya tidak hanya anak biologis, tapi ideologis," tuturnya.

"Itu yang merasa saya punya kebanggan," terang dia.

Dia menambahkan, sebenarnya anak Bung Karno menaati konsensus keluarga yakni tidak akan berpolitik sebagai bentuk kekecewaan difusikannya Partai Nasional Indonesia (PNI) menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

"Sudah lama tidak berjalan konsensus itu dengan keluarnya Megawati dari situ," ungkap dia. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved