Tertinggi Secara Nasional, Perkawinan Usia Anak di Sulbar Jadi Perhatian KAPAL Perempuan
Direktur Institut KAPAL Perempuan, Misiyah mengatakan, Provinsi Sulawesi Barat berada di urutan tertinggi tingkat nasional.
Penulis: Nurhadi | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUN-TIMUR.COM, MAMUJU - Angka perkawinan usia anak masih jadi perhatian di Provinsi Sulawesi Barat.
Direktur Institut KAPAL Perempuan, Misiyah mengatakan, Provinsi Sulawesi Barat berada di urutan tertinggi tingkat nasional.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 menyebutkan di Sulawesi Barat nilai rata-rata perkawinan anak sebesar 37 persen.
Baca: Polres Bone Didemo Mahasiswa, Tuntut Pembunuh Randi
Hal ini diperkuat dengan pendataan keluarga terkait usia kawin pertama di Sulawesi Barat tahun 2017, bahwa untuk perempuan yang menikah dibawah usia 21 tahun mencapai 114.741 orang dan laki-laki yang menikah di bawah usia 25 tahun mencapai 94.567 orang.
Menurut Misiyah, keprihatinan tersebut harusnya menjadi keprihatinan semua pihak, sebab persoalan perkawinan anak bukan persoalan perempuan saja, tapi persoalan hak asasi manusia.
"Hak asasi untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak, keluar dari kemiskinan dan berbagai masalah yang terkait mengenai pembangunan manusia,"kata Misiyah pada dialog multipihak rivisi UU Perkawinan untuk Pencapaian SDGs Upaya Mewujukan Keadilan dan Kesetaraan Gender di Sulbar, Selasa (1/10/2019).
Baca: Habibienomics, Perbankan Syariah
Olehnya, pihaknya mendorong kepada semua pihak untuk mengimplementasi revisi Undang-undang Perkawinan dari usai perempuan 16 tahun menjadi 19 tahun.
"Hal itu penting, sehingga tidak ada lagi pelanggaran terhadap perkawinan di bawah umur,"ujarnya.
Misiyah mengungkapkan, salah satu penyebab tinggi perkawinan anak, adalah tradisi atau norma-norma yang masih menganggap anak perempuan jika tidak segera dinikahkan menjadi aib bagi keluarga.
Baca: Gaji Guru Kontrak Belum Dibayar, DPRD Mamasa Warning Disdikbud
"Menurut saya ini harus dihilangkan, jadi bukan semata-mata ekonomi, karena ekonomi itu justru menjadi dampak setelah anak menikah, dia tidak akan sekolah dan tidak mendapat pekerjaan yang layak, sehingga menjadi orang yang tidak punya pendapatan yang baik, akhirnya terjadi kemiskinan,"pungkasnya.
Ia berharap, ada upaya pencegahan yang massif dan seluas-luasnya kepada semua rumah tangga dan juga pemerintah mulai dari desa hingga nasional.
"Kita butuh aksi pencegahan yang kongkrit, karena kita sudah punya regulasi,"ucapnya.
Baca: Sapma PP Luwu Utara Bagi-bagi Bunga ke Pengendara
Ia menambahkan, salah satu penyebab lain tingginya angka pernikahan usia anak, disebabkan adanya stigma di masyarakat, "anak makin tua makin tidak laku".
"Orang tua baru menganggap anaknya perempuan yang sempurna kalau sudah menikah, nah itulah yang kerap membuat orang tua takut kalau anaknya tidak segera menikah, nanti diangap perawan tua. Ini yang harus dihapuskan dari pikiran masyarakat, tapi ini tidak mudah, karena menggubah cara pandang itu susah, lewat proses penjang, harus dibangun pendidikan kritis masyarakat sehingga tidak larut dalam budaya yang seharusnya tidak dianut,"tuturnya.
Menurutnya, terkait penanganan anak yang sudah terlanjut dinikahkan, harus diberikan kesempatan kedua untuk mendapatkan pendidikan 12 tahun meskipun sudah menikah.

"Penegakan hukum juga harus tegas, siapapun yang melanggar, baik hakim yang memberikan dispensasi tanpa ada alasan yang kuat dan bukti-bukti, maka harus diberi sanksi,"katanya.
Disela-sela materinya, Misiyah juga menyebutkan dari 95 persen angkat pernikahan yang tidak tercatat di Indonesia. Sulbar menjadi salah satu daerah penyumbang terbanyak.
169 Kasus Pernikahan Dini Terjadi di Enrekang
TRIBUNENREKANG.COM, ENREKANG- Pernikahan dini di Kabupaten Enrekang harus menjadi perhatian semua kalangan.
Pasalnya, berdasarkan data Kementrian Agama (Kemenag) Enrekang angka Pernikahan Dini tergolong tinggi.
Pada tahun 2018 lalu, Kemenag Enrekang mencatat ada 169 pasangan di bawah umur yang menikah.
Jumlah tersebut sekitar delapan persen dari angka total pernikahan yang berlangsung di Kabupaten Enrekang selama 2018 yang mencapai 1.916 pasang.
Malam Ini, Golkar Tetapkan Calon Ketua DPRD Luwu Utara
2 Tahun Sakit, Pasangan Kakek-Nenek di Bontoala Makassar Meninggal Selang 12 Jam
VIDEO: KPU Sulsel Evaluasi Fasilitas APK dan Bahan Kampanye Pemilu 2019
Hal tersebut disampaikan oleh Kasi Bimas Islam Kemenag Enrekang, Syawal Sitonda kepada TribunEnrekang.com, Senin (5/8/2019).
Menurutnya, dari total 169 pernikahan dini yang terjadi paling banyak di Kecamatan Maiwa mencapai 32 pasang dan Masalle 29 pasang.
Sementara Kecamatan paling sedikit melangsungkan pernikahan dini adalah Kecamtan Bungin 4 pasang dan Malua 5 pasang.
"Ini tergolong tinggi untuk wilayah kita, apalagi dengan melihat masyarakat Enrekang yang agamis," kata Syawal Sitonda.
Syawal menjelaskan, ada beberapa faktor sehingga pernikahan dini terjadi diantaranya adalah faktor budaya, ekonomi, Medsos dan pengawasan orangtua.
Malam Ini, Golkar Tetapkan Calon Ketua DPRD Luwu Utara
2 Tahun Sakit, Pasangan Kakek-Nenek di Bontoala Makassar Meninggal Selang 12 Jam
VIDEO: KPU Sulsel Evaluasi Fasilitas APK dan Bahan Kampanye Pemilu 2019
Olehnya itu, hal tersebut harus menjadi bahan perhatian semua kalangan, untuk bagaimana menekan fenomena tersebut.
Sudah ada beberapa langkah yang dilakukannya adalah seperti memberi bimbingan perkawinan dan bimbingan pencegahan kawin anak.
Selain itu, pihaknya juga memberikan bimbingan mandiri dan sosialisasi langsung ke masyarakat.
"Jadi semua kalangan harus ikut andil mencegah, karena memang sekarang kelihatannya anak muda saat ini terlalu bebas saat ini," ujarnya.
Berikut data angka Pernikahan dini di Enrekang tahun 2018 di setiap kecamatan:
Bungin 4
Curio 6
Maiwa 32
Baroko 11
Anggeraja 9
Cendana 8
Baraka 20
Buntu Batu 7
Alla' 15
Masalle 29
Enrekang 23
Malua 5
total 169
(tribunenrekang.com)
Laporan Wartawan TribunEnrekang.com, Muh Azis Albar
Langganan Berita Pilihan
tribun-timur.com di Whatsapp
Via Tautan Ini http://bit.ly/watribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur:
Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur:
Bareng Tribun Timur dan USAID Jalin, Dinkes Sulsel Beberkan Bahaya Pernikahan Dini
TRIBUN-TIMUR.COM,MAKASSAR - USAID Jalin, Dinas Kesehatan Sulsel dan Harian Tribun Timur rembuk bersama membahas terkait kasus kematian ibu dan anak.
Duduk bersama yang dipimpin langsung Plt Kadis Kesehatan Dr dr Bachtiar Baso ini berlangsung di Best Western, Jl Bonto Lempangan, kota Makassar, Senin (8/7/2019)
Dalam pertemuan ini, forum membedah data kematian ibu dan anak yang berlangsung sepanjang tahun 2018.
Di tahun 2018 ini, 139 ibu yang meninggal dunia jelang masa melahirkan.
Ayahnya Kalah di Pilpres 2019, Kabar Terbaru Putra Tunggal Prabowo Subianto di Luar Negeri
Andalkan Bank Sampah, Desa Banggae Takalar Optimis Juara Lomba Inovasi Desa
Plt Kepala Dinas Kesehatan Sulsel Dr dr Bahtiar Baso mengatakan angka tahun 2018 bertambah dari tahun 2017 yang hanya 115 kematian ibu karena hamil hingga melahirkan.
Melihat diagnosa dokter yang ada di pusat pelayanan kesehatan masyarakat, ibu hamil yang meninggal dunia itu rata rata masih usia muda yakni usia 20 sampai 34 tahun.
Salah satu penyebab sehingga terjadinya kasus kematian ibu di masa persalinan karena rahim calon ibu belum siap untuk melahirkan.
Pemicunya adalah nikah dini.
"Kita tidak larang menikah muda, tapi idealnya menikah itu harusnya di usia diatas 25 tahun keatas dan banyak melakukan konsultasi sebelum melakukan program kehamilan," kata dr Bachtiar.
Ia mengungkapkan ada dua pemicu kasus meninggalnya ibu muda di Sulsel, yakni hipertensi dan pendarahan.
Lylia, Hero Baru di Mobile Legends dengan Sihir Mirip Gabungan Lunox dan Nana
Legislator PKS Enrekang Minta Pemerintah Tinjau Ulang Penerapan Sistem Zonasi
Infeksi juga masuk satu pemicu kasus meninggalnya ibu hamil, namun ini tidak masuk dalam kategori besar.
Sementara itu, Kabid Kesehatan Masyarakat Dinkes Sulsel Husni mengatakan pasca melahirkan ibu hamil tidak langsung meminta untuk keluar dari rumah sakit atau klinik tempat ia bersalin.
Mengapa demikian, karena masa pasca melahirkan ibu harus mendapatkan asupan gizi agar asi yang dihasilkan bisa bergizi.
"Ya idealnya itu 4 hari baru keluar. Rata rata orang itu dua hari sudah keluar. Padahal rentan bagi bayi dan ibu jika melakukan banyak gerakan pasca melahirkan," katanya.
Masa nifas, seperti yang disebutkan usai melahirkan ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh ibu hamil untuk berkonsultasi kepada dokter atau bidan. (sal)
Data Dinkes
* Total kematian Ibu di 2018: 139 orang.
* Kematian Ibu 2017: 115
* Kematian Ibu 2016 : 156
* Penyebab kematian : Hipertensi dan pendarahan.
Laporan wartawan Tribun Timur, Saldy
Langganan Berita Pilihan
tribun-timur.com di Whatsapp
Klik Tautan Ini http://bit.ly/watribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur:
Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur: