273 Tahun PT Pos Indonesia, Abdul Rahim Pak Pos Keliling yang Masih Bisa Tersenyum
Abdul Rahim hanyalah satu cerita ‘transformasi’ Pak Pos Indonesia di era disrupsi digital. Bisnis surat pos di periode 2000-2018 mengalami penurunan
Penulis: Saldy Irawan | Editor: Thamzil Thahir
Atas nama efisiensi biaya dan efektifitas kerja, Rahim betul-betul kerja sendiri.
"Saya nyetir sendiri, buka kap sendiri, online sendiri, dan layani pelanggan sendiri, 8 jam. Istirahat salat Lohor dan makan, sudah Azar siap pulang.”
Minivan ‘tempat kerjanya’ hanya berjarak kurang lebih 10 langkah dari Masjid Al Hijrah Komplek Imigrasi.
Di kabin kerjanya ada 2 unit PC desktop. Komputer meja ini terkoneksi dengan piringan pemancar internet’ di atap mobil.
Di kabin mobil minivan nomor polisi Bandung, D 8150 ES, Rahim juga bekerja menggunakan printer, mesin hitung uang, tumpukan dokumen, mesin pemanas air, dan loudspeaker sederhana untuk memutar lagu hiburan. Bayangkan kamar kos mahasiswa, yang seukuran pos satpam.
Dari kabin belakang mobil niaga inilah dia melayani pembayaran bea pembuatan paspor, dan pengiriman dokumen perjalanan ke seluruh penjuru dunia.

Para pelanggannya adalah warga yang mengurus dokumen ‘kewarganegaraan” dan perjalanan lintas negara.
Sejatinya, calon pemilik paspor bisa membayar lewat bank, atau online payment.
Namun, karena posisinya yang tepat di area parkiran kantor imigrasi, kebanyakan konsumen memilih menggunakan jasa Pak Pos murah senyum ini.
Karena pelanggan kabanyakan yang jamaah umrah, dan masih gagap sistem bayar online, jadilah Rahim dapat banyak nasabah.
Paspor warga tak bisa terbit, sebelum menunjukkan kwitansi ‘terstempel’ Pos atau resi tervalidasi bank rujukan.
Kepada Tribun, Rahim membenarkan, dari belasan unit layanan pos keliling, dialah yang paling ‘sukses’ dan banyak tersenyum saat melayani nasabah.
“Ya boleh dibilang begitu Pak,” ujar Rahim merespon pertanyaan, apa betul ia adalah Pak Pos Mobile dengan omzet terbanyak di Makassar.
Kepala Seksi Lantaskim Kantor Imigrasi Makassar Andi Mario, mengkonfirmasikan, saban hari, kantor imigrasi klas 1 rerata menerbitkan 200-an dokumen paspor. “Kalau tak ada bukti bayar, tak terbit.” ujarnya.

Meski, unit layanan mobile pos ini, belum menyediakan pembayaran melalui mesin electronic devices capture (EDC); seperti kartu debit atau kredit, namun lebih setengah pemohon paspor rela membayar tunai di ’toko’ Pak Pos mobile. “Kebanyakan itu jamaah umrah atau TKI,” kata Rahim.