OPINI
OPINI - Sulsel Butuh Pemimpin Pemerintahan
Pemimpin pemerintahan dituntut untuk ekstra hati-hati memanfaatkan media dalam komunikasi sosialnya.
Oleh:
AM Sallatu
Koordinator Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesa (JiKTI)
Suka atau tidak suka, ternyata inisiatif, proses sampai hasil Panitia Angket DPRD Sulsel telah meledakkan bom waktu permasalahan sosial kemasyarakatan yang ada dan terpendam sejauh ini.
Media massa maupun media sosial telah bercerita banyak tentang apa sebenarnya yang terjadi di Sulsel.
Gunung Esnya telah mencuat di permukaan secara amat gamblang dan nyata, melalui fakta persidangan angket.
Nyaris tidak ada lagi yang tersembunyi, termasuk pola pikir dan perilaku para tokoh dan elite masyarakat di daerah ini.
Betapa tidak, kehidupan politik yang tercipta melalui proses demokratisasi belum mampu mendewasakan para pelaku dan pekerja politik di daerah ini.
Pemahaman tentang pembangunan yang menuntut wawasan kewilayahan yang lebih mendasar bagi Sulsel masih banyak diabaikan, karena lebih banyak dipandang sebagai pertumbuhan sektoral.
Ketimpangan sosial belum mendapat signal yang kuat untuk perbaikannya, bahkan cenderung seakan terabaikan.
Baca: Ironis, Bukan Daerah Terpencil Tapi Jenazah Warga di Takalar Ditandu Pakai Sarung 5 Kilometer
Dunia pemerintahan di pusat-pusat kewenangan (authority) dan kekuasaan (power) di daerah ini telah sangat telanjang memperlihatkan kegalauannya.
Ungkapan dan pernyataan yang bersifat childishness, dalam perspektif tokoh dan elite masyarakat, hampir tiap hari disuguhkan oleh media.
Opini yang banyak berkembang memperlihatkan kerinduan pada masa lalu tentang pernah hadirnya pemimpin-pemimpin berkarakter di daerah ini.
Inikah hasil dan capaian perkembangan dan kemajuan yang telah dibukukan selama ini dalam mencitrakan jati diri manusia Sulsel? Tentu saja pertanyaan ini sangat naïf.
Tetapi rasanya sulit terbendung dikerongkongan untuk tidak diucapkan.
Yang pasti, menyeruak seberkas penyesalan, terutama bila menelaah kualifikasi formal para tokoh dan elite yang telah dikenalkan pada masyarakat.
Pertanyaannya kemudian, di mana letak jantung semua permasalahan yang ada ini?
Sulsel dalam lintasan sejarah yang panjang, amat dipengaruhi oleh kinerja pemerintahannya sebagai pencerminan kehidupan sosial kemasyarakatannya.
Di situ pulalah akan terukur jelas keberadaan pemimpinnya.
Suatu hal yang tidak berubah, baik dalam sistem pemerintahan kerajaan maupun dalam sistem pemerintahan modern seperti sekarang ini.
Baca: Bupati Sinjai Minta Pemprov Sulsel Bisa Bersinergi Majukan Sinjai
Meskipun ia (pemimpin) bukan segala-galanya, tetapi maruah pemerintahan terletak pada diri pribadinya. Hal ini tampaknya, dan sepatutnya tidak boleh, diabaikan.
Di daerah ini, seorang pemimpin tidak bisa hanya menawarkan itikad baiknya. Dalam kehidupan ini, itikad baik sudah tidak cukup memadai untuk menuntun kehidupan masyarakat luas.
Oleh karena disamping bisa sangat mudah terukur, juga pada saat yang sama harus mampu dikuatkan dengan karakter yang mudah pula terbaca.
Bauran antara itikad baik dan karakter inilah yang mencuatkan ke pemermukaan realitas bagaimana harga diri dan rasa malu (siri’) yang melekat pada diri seorang pemimpin terbaca jelas oleh masyarakat.
Hanya dengan demikian rumusan falsafah pemerintahan kerajaaan Gowa di masa lalu yang amat absah itu bisa ditegakkan, bahwa siri’na tuma’buttaya nia ki ri pammarentana (dibaca: harga diri masyarakat terletak pada pemerintahannya).
Bagaimana pencerminan pemerintahan, melalui pemimpinnya, disitulah harga diri dan rasa malu masyarakat diayominya akan dinilai.
Seperti itulah kearifan lokal di daerah ini, yang bagaikan sebuah axioma, dan sekaligus meneguhkan peran sentral yang patut diperankan oleh seorang pemimpin.
Baca: Farmasi Unhas Latih SMAN 13 Bone Cara Isolasi dan Ekstraksi DNA
Apakah Kerajaan Gowa di masa lalu senantiasa mencerminkan hadirnya pemimpin pemerintahan yang meninggikan harga diri, mengedepankan rasa malu dan sejatinya berkarakter, melalui pemimpinnya? Ternyata tidak juga, lalu apa akibatnya?
Sejarah Gowa di penghujung Abad XV mencatat pernah hadir pemimpin pemerintahan yang semena-mena, dan karena itu kemudian dikenal sebagai Karaeng Tunipassuluka, raja yang dimakzulkan.
Hal ini memberi pelajaran bahwa masyarakat luas (tuma’buttaya) adalah tumasiri’, yang bila pemimpinnya tidak mampu menegakkan dirinya sebagai sandaran siri’nya, maka gelar Karaeng Tunipassuluka adalah pilihan mereka.
Semoga ini bukan suatu yang dirindukan pula di daerah ini. Pemerintahan, terutama melalui pemimpinnya, akan selalu dicatat oleh sejarah.
Namun berbeda dengan zaman kerajaan yang lalu, sejarah mungkin saja merupakan milik eksklusif pada kelompok tertentu.
Apalagi karena juga hanya menyeruak ke permukaan kehidupan melalui penuturan sebahagiannya.
Zaman sekarang ini pola pikir dan prilaku pemimpin pemerintahan pada suatu detik tertentu sudah bisa menyeruak pada detik berikutnya melalui media sosial.
Baca: Kasus Tower Roboh di SDN 240 Baddo-Baddo, Polres Maros: Kita Tunggu Uji Labfor
Termasuk pula pencitraan hasil settingan. Sialnya lagi karena bisa terekam dengan baik sebagai jejak digital, yang akan mudah tervalidasi serta amat sulit untuk dihapus.
Pemimpin pemerintahan dituntut untuk ekstra hati-hati memanfaatkan media dalam komunikasi sosialnya. Dituntut untuk mampu mengharmoniskan otak dan hati melalui ucapannya.
Dalam satu kesatuan, ketiganya (otak, perasaan dan mulut) ini, bagaikan hujan bagi tanaman. Dalam ungkapan Makassar sejak lama dikenal ‘je’neka annallassi je’neka tonji ammuno.
Airlah menjadi sumber penting bagi kehidupan tanaman, tetapi bila berlebih-lebihan menjadi banjir, air itu pula yang mematikan tanaman.
Begitulah sepatutnya komunikasi sosial itu disikapi oleh pemimpin pemerintahan. Seperti air bagi tanaman, tidak berlebih- lebihan menciptakan banjir pernyataan dan ungkapan.
Oleh karena itu, kerinduan akan pemimpin pemerintahan Sulsel masa lalu dan riuh rendahnya opini yang banyak berkembang bulan-bulan terakhir ini, patut menggugah nalar para tokoh dan elite masyarakat di daerah ini.
Sambil pada saat yang sama, patut memberi kilas balik bagi institusi yang berkewenangan dalam recruitment dan menghasilkan calon pemimpin lokal di daerah ini.
Baca: Fakultas Pertanian Unhas Gelar Konferensi Internasional FSSAT 2019, Hadirkan Dua Keynote Speaker
Amat perlu cermat dan arif menawarkan calon pemimpin. Seperti kalimat dalam bahasa Inggris, don’t judge the book from its cover, jangan menilai buku dari sampulnya.
Pemerintahan adalah sukma bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Sukma itulah yang diperankan oleh pemimpinnya. Makanya pemerintahan memiliki nilai yang amat tinggi.
Oleh karena memang hanyalah nilai yang menjadikan pemerintahan itu bisa hadir, terpandang dan dikenang. Sejarah Sulsel telah mencatat sederetan pemimpin pemerintahan berbasis nilai.
Di titik itulah hadir kerinduan saat ini. Bahwa Sulsel membutuhkan lagi pemimpin pemerintahan.(*)
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Senin (02/09/2019)