Tribun Wiki
TRIBUNWIKI: Mengenal Tan Malaka, Pernah Menolak Membaca Proklamasi, Ini Profilnya
nama asli Tan Malaka adalah Sutan Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis turunan ibu.
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Ina Maharani
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Nama Tan Malaka menjadi trending topik google, Jumat (17/8/2019).
Sosoknya memang tidak asing bagi masyarakat Indonesia.
Ia adalah tokoh pejuang pemikir yang sosoknya menjadi misteri tersendiri dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Namanya, beberapa kali tertulis dalam buku-buku sejarah Indonesia.
Ia terkenal cerdas, dari kepalanya bentuk Republik di negara Indonesia itu lahir.
Bahkan ia dinobatkan sebagai Bapak Republik Indonesia.
Dilansir dari Tribun Manado, bertahun-tahun sebelum Indonesia merdeka, Tan telah menulis buku Naar de Republiek Indonesia: Menuju Indonesia Merdeka.
Tan betul-betul seorang pejuang. Nyaris tak pernah merasakan kenyamanan hidup.
Ia sering kali berpindah dari satu negara ke negara lainnya, menghindar dari buruan segala orang yang memusuhi jalan pikirnya.
Itu sebanya ia sangat sulit ditemui.
Kerap kali dirinya hadir secara diam-diam dalam acara penting jelang kemerdekaan, namun menggunakan nama samaran.
Padahal, Sutan Sjahrir lebih memilih Tan Malaka yang membacakan teks proklamasi, bukan Soekarno.
Bahkan, Soekarno sendiri sempat meminta Tan Malaka untuk menjadi 'cadangan'pembaca teks proklamasi.
Sebab, Bung Karnot takut terjadi sesuatu pada dirinya atau Bung Hatta.
Sebuah permintaan yang dibalas Tan Malaka dengan sebuah kalimat yang benar-benar menunjukkan kenegarawanan dirinya.
Berikut ini kisah lengkapnya.
Kala itu Juli 1945, Sutan Sjahrir mencari Tan Malaka karena dianggap sebagai tokoh yang paling layak membacakan teks proklamasi.
Meskipun dikenal juga sebagai tokoh gerakan bawah tanah menentang Jepang, Sjahrir bukanlah sosok yang pantas, karena dia dianggap kurang begitu populer di kalangan masyarakat.
Sedangkan Sukarno-Hatta adalah kolaborator Jepang.
Rudolf Mrazek dalam bukunya, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, menceritakan bahwa berbagai upaya telah dilakukan Sjahrir untuk mencari Tan yang 20 tahun berada dalam pelarian.
Setelah beberapa kali mencari, Sjharir akhirnya berhasil bertemu dengan Tan.
Tapi upaya Sjahrir gagal, Tan merasa tidak siap untuk membacakan teks proklamasi.
Sebenarnya sangat disayangkan, ketika proklamasi dikumandangkan, tidak ada sosok Tan Malaka di sana.
Apalagi mengingat bahwa konseptor pertama Republik Indonesia adalah Tan, ini tertuang dalam salah satu opus magnum-nya, Naar de Republiek Indonesia, yang ia susun tahun 1925 saat masih di Belanda.
Buku itu selanjutnya menjadi pegangan wajib tokoh-tokoh pergerakan nasional waktu itu, termasuk juga Sukarno.
Tidak bisa hadir saat proklamasi bisa jadi menjadi penyesalan terbesar bagi tokoh sekaliber Tan Malaka.
Meski demikian, bukan berarti dia tidak mempunyai peran penting.
Beberapa literatur mengatakan, bahwa tokoh yang menggerakkan Sukarni dan rekan-rekannya, adalah Tan Malaka.
Waktu itu, 6 Agustus 1945, Tan datang ke rumah Sukarni menggunakan nama Ilyas Husain.
Beberapa tokoh pemuda juga datang. Tak hanya sekali, 14 Agustus, untuk kali kedua Tan datang ke rumah Sukarni, lagi-lagi membicarakan masalah nasib bangsa.
Meski demikian, Tan Malaka tidak bisa seenaknya keluar menampakkan diri, karena dia masih dalam status buron pemerintah militer Jepang.
Sekira tiga minggu selepas proklamasi, Sukarno menyuruh Sayuti Melik mencari Tan Malaka.
Sukarno ingin bertemu karena ia mendengar bahwa Tan tengah berada di Jakarta.
Sebagai bagian dari golongan muda, Sayuti cukup tahu di mana Tan berada. Pertemuan pun diatur sedemikian rupa.
Dalam kesaksiannya yang pernah dimuat di Sinar Harapa 1976, Sayuti mengatakan bahwa Sukarno berpesan kepada Tan untuk mengganti posisi Sukarno jika ada sesuatu terjadi dengan dirinya dan Hatta.
Amanah Sukarno ditanggapi dengan biasa oleh Tan. Itu tertulis dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mengatakan:
“saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah lama saya idamkan.”
Kemerdekaan tidak menjadikan hidup Tan merdeka, ia tetap menjadi tokoh yang dikejar-kejar, bahkan oleh negara yang dicita-citakannya sendiri.
Siapa Tan Malaka?
Dilansir dari wikipedia, nama asli Tan Malaka adalah Sutan Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis turunan ibu.
Nama lengkapnya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka.
Tanggal kelahirannya masih diperdebatkan, sedangkan tempat kelahirannya sekarang dikenal dengan nama Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat.
Ayah dan Ibunya bernama HM. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desa.
Semasa kecilnya, Tan Malaka senang mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat.
Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock.
Menurut GH Horensma, salah satu guru di sekolahnya itu, Tan Malaka adalah murid yang cerdas, meskipun kadang-kadang tidak patuh.
Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda.
Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang bertalenta.
Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya.
Namun, ia hanya menerima gelar datuk.
Gelar tersebut diterimanya dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.
Pendidikan di Belanda
Meskipun diangkat menjadi datuk, pada bulan Oktober 1913, ia meninggalkan desanya untuk belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), dengan bantuan dana oleh para engku dari desanya.
Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya dan pada tahun 1915, ia menderita pleuritis.
Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul dan meningkat setelah membaca buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seseorang sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma.
Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia mulai tertarik mempelajari paham Sosialisme dan Komunisme.
Sejak saat itu, ia sering membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin.
Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya. Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika.
Karena banyaknya pengetahuan yang ia dapat tentang Jerman, ia terobsesi menjadi salah satu angkatan perang Jerman.
Dia kemudian mendaftar ke militer Jerman, namun ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing.
Setelah beberapa waktu kemudian, ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, yakni organisasi yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia).
Ia lalu tertarik dengan tawaran Sneevliet yang mengajaknya bergabung dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV, atau Asosiasi Demokratik Sosial Guru).
Lalu pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.
Mengajar
Setelah lulus dari SDOV, ia kembali ke desanya.
Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Utara.
Ia tiba di sana pada Desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak itu berbahasa Melayu pada Januari 1920.
Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor.
Selama masa ini, ia mengamati dan memahami penderitaan serta keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatra.
Ia juga berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis untuk media massa.
Salah satu karya awalnya adalah "Tanah Orang Miskin", yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920.
Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di Sumatra Post.
Selanjutnya, Tan Malaka menjadi calon anggota Volksraad dalam pemilihan tahun 1920 mewakili kaum kiri.
Namun ia akhirnya mengundurkan diri pada 23 Februari 1921 tanpa sebab yang jelas.
Ia lalu membuka sekolah di Semarang atas bantuan Darsono, tokoh Sarekat Islam (SI) Merah.
Sekolah itu disebut Sekolah Rakyat.
Sekolah itu memiliki kurikulum seperti sekolah di Uni Sovyet, dimana setiap pagi murid-murid menyanyikan lagu Internasionale".
Tan juga pernah bertemu dengan banyak tokoh pergerakan seperti HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim.
Dalam otobiografinya, Tan menganggap bahwa SI di bawah Tjokroaminoto adalah satu-satunya partai massa terbaik yang ia ketahui.
Tapi, Tan mengkritik saat terjadi perpecahan di SI, organisasi SI tidak memiliki tujuan dan taktik sehingga terpecah.
Hidup Membujang
Hingga akhir hayatnya, Tan Malaka dikabarkan tidak penah menikah, tetapi ia mengakui pernah tiga kali jatuh cinta, yaitu ketika ia berada di Belanda, Filipina, dan Indonesia.
Di Belanda, Tan Malaka dikabarkan pernah menjalin hubungan dengan gadis Belanda bernama Fenny Struyvenberg, mahasiswi kedokteran yang kerap datang ke kosnya.
Sementara di Filipina, ia jatuh hati kepada seorang gadis bernama Carmen, puteri bekas pemberontak di Filipina dan Rektor Universitas Manila.
Sedangkan saat ia masih di Indonesia, Tan pernah jatuh cinta kepada satu-satunya siswi perempuan di sekolahnya saat itu, yakni Syarifah Nawawi.
Alasan Tan Malaka tidak menikah adalah karena perhatiannya terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.
1949 Tan meninggal di ujung bedil tentara republik di seputaran Kediri, Jawa Timur.
Dan sampai mati, Tan tetaplah Bapak Revolusi yang sunyi.
Data diri:
Nama: Tan Malaka
Lahir: 2 Juni 1897
Tempat Lahir: Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat, Hindia Belanda
Meninggal: Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 (umur 51)
Kebangsaan: Indonesia
Almamater: Rijks Kweekschool, Haarlem, Belanda
Pekerjaan: Guru dan Pendiri Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba)
Dikenal atas: Pahlawan Nasional Indonesia
Orang tua: Rasad Caniago (ayah)
Sinah Simabur (ibu)
Bibliografi
- Dari Pendjara ke Pendjara
- Parlemen atau Soviet (1920)
- SI Semarang dan Onderwijs (1921)
- Dasar Pendidikan (1921)
- Tunduk Pada Kekuasaan Tapi Tidak Tunduk Pada Kebenaran (1922)
- Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) (1924)
- Semangat Muda (1925)
- Massa Actie (1926)
- Local Actie dan National Actie (1926)
- Pari dan Nasionalisten (1927)
- Pari dan PKI (1927)
- Pari International (1927)
- Manifesto Bangkok(1927)
- Aslia Bergabung (1943)
- Muslihat (1945)
- Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
- Politik (1945)
- Manifesto Jakarta (1945)
- Thesis (1946)
- Pidato Purwokerto (1946)
- Pidato Solo (1946)
- Madilog (1948)
- Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)
- Gerpolek (1948)
- Pidato Kediri (1948)
- Pandangan Hidup (1948)
- Kuhandel di Kaliurang (1948)
- Proklamasi 17-8-45 Isi dan Pelaksanaanya (1948)
- Dari Pendjara ke Pendjara (1970)
Sumber berita: https://manado.tribunnews.com/2019/08/16/tan-malaka-bapak-republik-indonesia-pernah-diminta-bacakan-proklamasi-oleh-soekarno-tapi-menolak?page=all
Foto:Surya
Jangan Pindahkan Kerangka Tan Malaka dari Kediri