Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

OPINI - Kebohongan dan Pelacur Intelektual

Saat diserahi amanah menjadi Gubernur Andalan Sulsel, beliau menjauhkan diri memanjakan sedarahnya dalam memimpin.

Editor: Aldy
handover
Dr Hasrullah - Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin 

Oleh:
Hasrullah
Dosen Komunikasi Fisip Unhas

Intens mengawasi jalannya sebuah kepemimpinan bukan perkara mudah. Tapi harus dijalankan oleh orang-orang yang berakal agar dampak kepemimpinan tersebut tidak merusak sosial.

Mungkin lahir persepsi yang beragam dari sikap itu. Boleh negatif atau positif.

Tapi itulah fungsi yang bisa saya tangkap dari kegairahan berkontestasi wacana membahas soal otak cerdas dan keteladanan Gubernur Amiruddin.

Yang terkini, respons AM Sallatu bertema Kepemimpinan dan Pelaku Kebijakan (Tribun Timur, edisi Senin 5 Agustus 2019).

AM Sallatu menyarikan dua poin yang diulas secara tajam sebagai bahan renungan untuk kita semua seputar kepemimpinan.

Pertama, ketiadaan cerdas otak pada pucuk pimpinan menambah ketidakpastian dan ketidakberaturan.

Kedua, faktor ketidakjujuran yang dominan, akan mendorong karakter berbohong didramakan dengan telanjang. Tak peduli walau disumpah di bawah kitab suci saat dilantik.

Baca: Wisko Paskibraka Nasional Asal Mamasa akan Dapat Beasiswa dari Bupati

Menyoal ketiadaan cerdas otak, seharusnya tidak berlaku bagi pemimpin dan kepemimpinan jika merujuk kepada jenjang pendidikan (gelar akademik dan Guru Besar) yang melekat di pundaknya.

Apalagi, gelar akademik mentereng tersebut adalah magnet politik saat pemilihan.

Tidaklah salah, ketika publik berekspektasi kapasitas ilmu yang dimiliki pemimpin menggerakkan lokomotif organisasi pemerintahan searah dengan titel tersebut.

Apalagi, preseden dan bukti nyata kepemimpinan sekelas itu pernah diperankan Prof Andalan Amiruddin. Sungguh susah mencari duanya hingga kini.

Prof Amiruddin menunjukkan strong leadership baik saat memimpin Unhas maupun saat menakhodai Sulsel dua priode.

Dialah sosok pemimpin yang bisa mengejawantahkan karakter keteladanan berupa kejujuran dan ketegasan dalam memimpin. Searah dengan bobot gelar akademiknya.

Selama memimpin Unhas dan pemerintahan Sulsel, kita tidak pernah mendengar beliau menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan.

Yang ada, kesan cerdas dan peduli dengan amanah mengembangkan kampus Unhas. Lompatan berpikirnya melebihi kebijaksanaan pemikir dan intelektual sejati.

Baca: 4 Pria Ini Ekspedisi Gunung Gandang Dewata Mamasa 7 Hari Perjalanan

Di mana dia memimpin, menjadi panutan baik dalam pikiran dan tindakan.

Dalam rekruitmen pimpinan universitas, Prof andalan kita ini tidak pernah mendudukkan keluarga dekat, baik yang melalui pertalian darah atau perkawinan, sebagai pejabat struktural di lingkungan Kampus Merah.

Tapi justru karena kejujurannya itulah, sosoknya menjadi sangat disegani dan dihormati sebagai pemimpin.

Saat diserahi amanah menjadi Gubernur Andalan Sulsel, beliau menjauhkan diri memanjakan sedarahnya dalam memimpin. Semua pejabat di kantor gubernur adalah orang pilihan.

Dipilih karena dipercaya mampu ikut menggerakkan pembangunan Sulsel. Tidak terkecuali AM Sallatu yang diangkat sebagai Wakil Bapedda.

Prof Amir juga memahami keberagaman suku yang perlu mendapat tempat dalam jalannya pemerintahan.

Olehnya itu, setelah memenuhi kualifikasi, pembagian jabatan struktural juga tidak mengabaikan aspek keterwakilan semua etnis.

Pelibatan keterwakilan profesionalisme dan geopolitik itu diharapkan melahirkan semangat kebersamaan yang akan menetes dalam interaksi sosial di akar rumput.

Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar bahu membahu membangun Sulsel.

Baca: Paskibraka Gowa Diminta Ikut Perangi Sampah Plastik

Selama memimpin, integritas beliau menghindarkannya dari ‘melacurkan diri’ terhadap persekongkolan untuk menikmati kekuasaan. Sederet jejak bersih itu menjadi teladan.

Menjadi ikon konsistennya ucapan dan tindakan dalam memerintah. Itulah harga mahal yang coba diturunkan kepada murid-muridnya.

Bahwa tindakan KKN merusak citra keteladanan. Bagaimana dengan drama kebohongan yang ditampilkan pemimpin kita saat ini?

Narasi AM Sallattu menyebutnya sesuatu yang tidak terpuji. Menyoroti kebohongan pemimpin dengan sederat gelar akademik di bawah sumpah, Sallatu menukil jejak actor politik Gary Hart.

Akibat tabiat berbohong yang pernah dilakukan di depan publik, dia mengundurkan diri dari pencalonan presiden AS. Contoh terbaik lain soal kebohongan datang dari negeri Sakura.

Mantan Menteri Ekonomi Jepang, Akira Amari, mengundurkan diri hanya karena persoalan tuduhan korupsi (KKN).

Padahal, hasil investigasi menunjukkan, ternyata anak buahnya yang melakukan tindakan tercela tersebut.

Tinggi malu yang melekat pada budaya Jepang itu tidak beda dengan budaya siri’ yang menaungi tradisi Sulsel.

Baca: Dapat Remisi Kemerdekaan 14 Napi Lapas Kelas II A Palopo Bebas

Budaya malu juga dipamerkan Menteri Perdagangan dan Industri Jepang, Yuko Obuchi.

Merasa bersalah mentraktir para relawan yang membantunya menggunakan uang negara, Yuko dengan penuh kesadaran mengundurkan diri.

Bagaimana dengan budaya pemimpin terkait kebohongan dan penyalahgunaan wewenang?

Ada juga pemimpin secara etika betul-betul dan nyata telah mempraktikkan aroma KKN menjalankan pemerintahan, seperti tidak punya rasa malu.

Jangankan mundur atau melakukan hara-kiri politik, untuk meminta maaf saja, seperti yang diajarkan budaya pesse dan siri, tak kunjung diperlihatkan.

Lucunya lagi, sikap yang dipamerkan adalah cenderung membela diri untuk mempertahankan kekuasaan.

Saya teringat konten kampanye negatif yang menyeruak saat kontestasi Pilgub Sulsel 2017 lalu. Ada tudingan yang saya sendiri tidak pernah percaya kebenarannya.

Tentang menolak pemimpin pembohong. Sebagian masyarakat yang ikut menyaksikan kontestasi itu pasti tidak pernah yakin dengan kabar itu. Apalagi yang memilihnya.

Saran saya, masih ada waktu untuk membuktikan tudingan saat kampanye itu jauh dari kata benar.

Jagalah rasa malu, yang menurut Rasullah SAW simbol orang beriman. Apalah guna sederat gelar yang di baliknya tidak disempurnakan dengan kejujuran dan budaya malu. (*)

Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Jumat (16/08/2019)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved