Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

KH Maimun Zubair / Mbah Moen Meninggal Dunia di Mekkah, Keutamaan Wafat di Tanah Suci, Mati Syahid?

KH Maimun Zubair atau Mbah Moen meninggal dunia di Mekkah, keutamaan wafat di Tanah Suci, mati syahid?

Editor: Edi Sumardi
TRIBUN TIMUR
KH Maimun Zubair atau Mbah Moen meninggal dunia atau wafat di Mekkah, Arab Saudi, Selasa (6/8/2019). 

TRIBUN-TIMUR.COM - KH Maimun Zubair atau Mbah Moen meninggal dunia di Mekkah, keutamaan wafat di Tanah Suci, mati syahid?

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, allahummagh fir lahu warhamhu wa ‘aa fiha wa’ fu’anhu.

Indonesia kehilangan sosok ulama panutan, ulama kharismatik, 

Kabar duka datang dari Kiai Haji atau KH Maimun Zubair atau yang dikenal dengan nama Mbah Moen meninggal dunia atau wafat.

Beliau, KH Maimun Zubair wafat di Mekkah, Arab Saudi dan menghembuskan nafas terakhir, Selasa (6/8/2019) pukul 04.17 waktu setempat.

Baca: KH Maimun Zubair atau Mbah Moen Meninggal Dunia, Sempat Akan Hadiri Pertemuan NU Sedunia

Sosok Maimun Zubair Zubair atau Mbah Moen wafat pada usia 90 tahun.

Mbah Moen merupakan tokoh NU ( Nahdlatul Ulama ) kelahiran yang lahir di Rembang, Jawa Tengah pada 28 Oktober 1928.

Beliau merupakan Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Anwar Sarang, Rembang.

Selain itu, beliau juga menjabat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Mbah Moen juga menjabat sebagai Mustasyar di PB Nahdatul Ulama (NU).

Mbah Moen pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Rembang selama 7 tahun.

Setelah berakhirnya masa tugas, Mbah Moen mulai berkonsentrasi mengurus pondoknya yang baru berdiri selama kurang lebih 8 tahun.

Akan tetapi, tenaga dan pikiran Mbah Moen masih dibutuhkan oleh negara.

Sehingga, Mbah Moen diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah selama tiga periode.

Mbah Moen merupakan ayah dari Wakil Gubernur Jawa Tengah pada saat ini, Taj Yasin Maimoen.

Jika Wafat di Tanah Suci

Disalin dari laman KonsultasiSyariah.com melalui artikel Meninggal di Tanah Haram, Mati Syahid?, terdapat anjuran untuk mati di tempat mulia dan memakamkan jenazah di tempat mulia, yang memiliki keistimewaan, seperti di Tanah Suci Mekkah atau Madinah, Arab Saudi.

Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَمُوتَ بِالْمَدِينَةِ فَلْيَمُتْ بِهَا ؛ فَإِنِّي أَشْفَعُ لِمَنْ يَمُوتُ بِهَا

Siapa yang bisa meninggal di Madinah, silahkan meninggal di Madinah. Karena aku akan memberikan syafaat bagi orang yang meninggal di Madinah. (HR. Turmudzi 3917, dishahihkan an-Nasai dalam Sunan al-Kubro (1/602) dan al-Albani )

Apa makna bisa meninggal di Madinah?

Berikut keterangan at-Thibby,

أمر بالموت بها وليس ذلك من استطاعته ، بل هو إلى الله تعالى ، لكنه أمر بلزومها والإقامة بها بحيث لا يفارقها ، فيكون ذلك سببا لأن يموت فيها

“Mati di Madinah, itu di luar kemampuan manusia. Akan tetapi itu kembali kepada Allah. Sehingga makna hadis ini adalah perintah untuk tinggal menetap di Madinah, berusaha tidak meninggalkan kota ini. Sehingga ini menjadi sebab untuk bisa mati di Madinah.” (Tuhfatul Ahwadzi, 10/286)

Al-Munawai menukil keterangan as-Syamhudi,

وفيه بشرى للساكن بها بالموت على الإسلام لاختصاص الشفاعة بالمسلمين ، وكفي بها مزية ، فكل من مات بها فهو مبشر بذلك

Dalam hadis ini terdapat kabar gembira bagi orang yang tinggal di Madinah, mereka akan mati muslim. Karena syafaat hanya akan diberikan kepada kaum muslimin. Dan itu menjadi keistimewaan tersendiri. Karena setiap orang yang mati di Madinah, dia mendapat kabar gembira untuk itu. (Faidhul Qadir, 6/70).

Mereka Bercita-cita Wafat di Tanah Suci

Di antaranya Nabi Musa ‘alahis salam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan permintaan Musa ‘alaihis salam ketika didatangi malaikat maut,

سَأَلَ اللَّهَ أَنْ يُدْنِيَهُ مِنْ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ

Beliau memohon kepada Allah, agar kematiannya di dekatkan dengan Tanah Suci (baitul maqdis) sejauh lemparan kerikil. (HR Bukhari 1339 dan Muslim 2372)

Ibnu Batthal menjelaskan,

معنى سؤال موسى أن يدنيه من الأرض المقدسة – والله أعلم – لفضل من دُفن في الأرض المقدسة من الأنبياء والصالحين ، فاستحب مجاورتهم في الممات ، كما يستحب جيرتهم في المحيا

Makna permintaan Musa agar kematiannya di dekatkan dengan Tanah Suci adalah karena adanya keutamaan orang yang dimakamkan di Tanah Suci, seperti para nabi dan orang soleh lainnya. Sehingga dianjurkan untuk mati di dekat mereka, sebagaimana dianjurkan untuk berdampingan dengan mereka ketika hidup. (Syarh Shahih Bukhari, 3/325)

Demikian pula yang dilakukan Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu.

Beliau pernah berdoa,

اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي شَهَادَةً فِي سَبِيلِكَ ، وَاجْعَلْ مَوْتِي فِي بَلَدِ رَسُولِكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ya Allah, berikanlah aku anugrah mati syahid di jalan-Mu, dan jadikanlah kematianku di tanah Rasul-Mu shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR Bukhari 1890)

Kata an-Nawawi,

يستحب طلب الموت في بلد شريف

Dianjurkan untuk meminta mati di daerah yang mulia. (al-Majmu’, 5/106).

Umar juga memohon, agar jenazahnya dimakamkan di samping makan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.

Seperti itu pula yang dilakukan sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash dan Said bin Zaid. Diceritakan oleh Imam Malik, bahwa beliau meninggal di daerah Aqiq, lalu jenazahnya dipindah ke Madinah, dan dimakamkan di Madinah. (al-Muwatha’, 2/325 dan dishahihkan Ibnu Abdil Bar dalam al-Istidzkar)

Tidak Semua Syahid

Keterangan di atas untuk menunjukkan keutamaan meninggal di Tanah Suci.

Seperti meninggal di Tanah Haram, terutama Madinah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan, muslim yang meninggal di Madinah akan mendapat syafaat dari beliau.

Sementara apakah mereka mati syahid?

Untuk bisa disebut mati syahid, harus ada dalil karena  predikat syahid adalah predikat khusus.

Hanya bisa diberikan, jika ada dalil.

Keutamaan Wafat Ketika Ihram

Orang yang wafat dalam kondisi ihram, baik ketika haji atau umrah, memiliki keutamaan khusus.

Orang ini di hari kiamat akan dibangkitkan dalam kondisi membaca talbiyah, ‘Labbaik Allahumma labbaik…’

Karena itu, jenazahnya tidak boleh diberi wewangian dan tidak boleh ditutup kepalanya.

Dipertahankan seperti orang yang ihram.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita,

Ada orang yang ikut wukuf bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Arafah, tiba-tiba ada orang yang terpelanting  dari ontanya, jatuh, hingga lehernya patah.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan,

اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ، وَلا تَمَسُّوهُ طِيباً، وَلا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ وَلا تُحَنِّطُوهُ، فَإِنَّ اللهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مُلَبِّياً

Mandikan dia dengan air dan bidara. Jangan dikasih wewangian, dan jangan ditutupi kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya paa hari kiamat, dalam kondisi membaca talbiyah. (Bukhari 1265  dan Muslim 2948).(tribunnews.com/konsultasisyariah.com)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved